Muhammadiyah di Tengah Modernitas Baru
Dibaca: 472
Muhammadiyah di Tengah Modernitas Baru
Oleh Azaki Khoirudin (Penulis Teologi Al-Asher, dan Anggota MPK PP Muhammadiyah)
Ketika Muhammadiyah lahir tahun l912, dunia Muslim masih berada di bawah penjajahan. Belum banyak yang merdeka secara politis dari imperalisme dan kolonialisme Barat. Di tengah-tengah kondisiseperti itu Muhammadiyah terlahirdengan membawa optimisme barudan slogan “Islam berkemajoean”. Mungkin belum disebut Islam “modern” atau ”reformis” seperti yang dinisbahkan dan disematkan orang dan para pengamat pada paroh kedua abad ke-20. Dalam perjalanannya ada beberapa identitas yang disematkan organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 1912 ini. Identitas tersebut antara lain adalah Islam Modernis, Islam Puritan, Islam Reformis, Islam Moderat, Islam Progresif, dan Islam Murni. Namun yang terkenal hingga kini adalah Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Modernis.
Menurut hemat penulis, sepuluh, dua puluh, lima puluh dan seratus tahun ke depan sejarah peradaban dan umat beragama, termasuk Muhammadiyah, akan ditentukan olehbagaimanacorak paradigma, model, dan strateginya dalam merespons perubahan masyarakat. Muhammadiyah sejak kelahirannya mengidentifikasi dirinya sebagai gerakan Islam modern. Pertanyaanya, apakah sama modernitas masyarakat hari ini dengan modernitas satu abad silam? Jika jawabannya berbeda lalu, Bagaimana Muhammadiyah menghadapi modernitas baru yang dihadapi oleh ummat dan masyarakat hari ini? Lebih jauh lagi, bagaimana Muhammadiyah menghadapi proses berjalannya transformasi sosial menuju masyarakat resiko (risk society)? Bahwa masyarakat hidup di dalam ketidakpastian dan ketidakteraturan peradaban.
Dalam kaitan Muhammadiyah di tengah modernitas baru, perlu kiranya memperhatikan apa yang diuraikan Ulrich Beck dalam bukunya Risk Society: Towards a New Modernity. Beck menolak era postmodern, menurutnya modernitas tetap berlangsung, namun dalam bentuk modernitas baru. Jika Era modernitas klasik dikaitkan dengan masyarakat industrial, sedangkan modernitas baru dengan teknologinya dikaitkan dengan masyarakat beresiko (risk society). Pada konsep resiko dan managemen resiko sebagai ciri penting dari masyarakat modern. Dimana teori masyarakat beresiko meliputi perspektif cara manusia menghadapi resiko kesehatan dan lingkungan.
Bagi Beck, masyarakat modern baru adalah masyarakat refleksif. Selanjutnya, Beck menjelaskan bahwa resiko dalam masyarakat modern diproduksi oleh “sumber kekayaan”, khususnya yang diperoleh dari industri dan effek sampingnya menghasilkan bahaya (resiko). Bahkan kematian bagi masyarakat dunia secara keseluruhan sebagai hasil globalisasi, misalnya bahaya nuklir dan global warming.
Resiko masyarakat modern tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, contohnya ledakan nuklir di suatu lokasi bisa mempengaruhi banyak bangsa lain, atau ledakan nuklir bisa memiliki effek genetik yang bisa mempengaruhi generasi-generasi mendatang. Jika kemiskinan mampu menarik sebanyak mungkin resiko yang tidak menguntungkan. Sebaliknya masyarakat kaya, karena pendapatan dan pendidikan, bisa membeli keamanan untuk menjauhkan diri dari resiko. Bahkan, bangsa-bangsa kaya memperoleh keuntungan dari resiko yang mereka hasilkan, misalnya memproduksi dan menjual teknologi yang membantu mencegah resiko. Meskipun demikian, para individu atau bangsa-bangsa kaya juga tidak aman dari ancaman resiko.
Berbagai pengetahuan dan teknologi modern menunjukkan ketidakmampuan manusia menanggulangi potensi marabahaya agar memberikan dampak merusak di masa yang akan datang. Namun kenyataan yang justru terjadi adalah modernitas baru sendiri semakin menghadirkan resiko. Ide dan praksis tentang resiko justru semakin mengental dalam budaya modern. Modernitas memang telah mengurangi sebagian besar potensi resiko pada beberapa area dan bagian kehidupan. Namun modernitas juga pada waktu yang bersamaan telah mengintrodusir parameter baru yang tidak bisa dipahami secara lengkap dan luas dalam era sebelumnya (Giddens: 1991 : 3-4).
Maka pertanyaannya adalah seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Tariq bin Ziyad mengawali era ”globalisasi” sejarah Islam abad pertengahan, ”Aina al-mafarr? Al-Bahru waraakum wa al-aduwwu amamakum”. (Ke mana kita akan lari menghindar dari resikoyang nyata-nyata kita hadapi? Mampukah Muhammadiyah dengan Islam berkemajuan yang dideklarasikan sebagai Islam yang mampu survive di era globalisasi dalam ranah praksis, buka teoritis? Jawabannya adalah bagaimana Muhammadiyah mampu merespons fenomena masyarakat resiko atau modernitas baru dengan pemikiran dan gerakan yang compatible dengan zaman.
Masyarakat Resiko dan kesadaran akan adanya marabahaya (hazard) dan resiko (risk) menjadi bentuk kehirauan (concern) baru gerakan Muhammadiyah. Oleh karena itu, model gerakan Muhammadiyah harus mampu merombak institusinya agar bisa menghitung resiko-resiko yang mungkin timbul akibat aktivitas. Selain itu, Muhammadiyah yang dikenal dengan dakwah masyarakat kota yang cenderung modern harus mampu merespon masyarakat resiko sebagai efek dari perkembangan teknologi dan pengetahuan modern yang sangat anthropocentris. Dan resiko telah menjadi keniscayaan dalam formasi masyarakat modern kontemporer.
Tentu tidak perlu berdebat dan berkutat dengan isu apakah resiko tersebut nyata ada atau tidak. Tantangan ke depan yang mesti dijawab Muhammadiyah adalah bagaimana mengelola resiko agar manusia bisa meminimalisasi dampaknya terhadap kehidupan manusia baik secara individual maupun sosial di masa kini dan masa depan. Itulah Islam berkemajuan. Resiko merupakan hasil dari sebuah proses yang sistemik. Maka seluruh interaksi politik, sosial, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat modern baru harus memikirkan bagaimana mengelola resiko.
Kini Muhammadiyah memasuki babak baru dalam modernitas lanjut (late modernity). Masyarakat yang seluruh sendi kehidupannya dibangun di atas kesadaran resiko. Bila masyarakat modern awal sedemikian hirau dengan isu kekayaan dan kesejahteraan ekonomi serta mendistribusikannya secara adil, maka bagi masyarakat resiko persoalan paling mendasar dalam setiap interaksi sosial, politik, dan ekonomi adalah resiko. Isu masyarakat kelas pelan-pelan memudar dalam masyarakat resiko. Kekayaan bisa “membeli” keselamatan dan memberikan keterbebasan dari resiko (Beck, 1992:35).
Di era modernitas baru, ikatan sosial dalam masyarakat resiko menjadi semakin mencair. Solidaritas ikatan-ikatan rasional dan primordial dalam masyarakat modern awal seperti ikatan sosial berbasis kelas, ras, teritori digantikan oleh fluiditas yang jauh lebih pragmatis. Fluiditas ini bersifat lintas teritori, ras, kelas bahkan lintas generasi. Bukankah ini yang harus dijawab oleh Islam berkememajuan dengan praksis? Tantangan modernitas yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama pasti berbeda dengan modernitasabad kedua usianya.Meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, modelpemikiran dan gerakannya juga harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Paling tidak dalam hal pemikiran, Muhammadiyah memerlukan teologi baru. Jika selama ini Muhammadiyah dikenal dengan teologi Al-Maun, maka kini Muhammadiyah memerlukan pengembangan teologi Al-Ashr. Alasan utama yang mendasari pengembangan teologi Al-‘Ashr sebagai etos Muhammadiyah adalah keidentikan antara semangat Al-‘Ashr dengan semangat Islam berkemajuan. Dimensi waktu menjadi suatu yang dominan dalam keduanya. Sekarang ini kita hidup di suatu era dimana waktu menjadi sangat nisbi, terutama karena percepatan teknologi komunikasi dan transportasi. Masyarakat resiko membutuhkan waktu dan kepastian masa depan. Teologi Muhammadiyah harus berorientasi pada kualitas hidup masyarakat di masa yang akan datang.
Dari segi segi praksis-amaliah, Muhammadiyah tidak hanya fokus di pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Muhammadiyah di abad kedua, harus lebih memperhatikan resiko dan kualitas amal usahanya daripada kuantitas. Sudah cukup pendirian amal usaha pendidikan dan kesehatan, saat ini yang dibutuhkan adalah inovasi yang berkelanjutan dan kualitas. Bagaimana pendidikan Muhammadiyah dapat bersaing sekaligus bekerjasama dengan pendidikan di negara lain. Di samping itu, Gerakan amal Muhammadiyah harus menyentuh aspek lain dari kompleksitas problem yang dihadapi dihasilkan oleh modernitas baru, dengan amal usaha di pelbagai kehidupan yang lain.
Foto: Ilustarsi (sumber Humas UMM)
Tags: muhammadiyah, modernitas, berkemajuan
Arsip Berita