Kisah KH. Ahmad Dahlan Pergi Haji yang Kedua dan Kyai Wal ‘Ashri
Dibaca: 12519
Oleh: Sukriyanto AR (Ketua LSBO PP Muhammadiyah)
Pada sekitar tahun 1866 di daerah Kasultanan Ngayogyakarta dibangun 17 pabrik gula. Pemerintah kolonial juga membangun berbagai fasilitas untuk kepentingan orang-orang Belanda yang bekerja dan bertugas memimpin operasional pabrik-pabrik gula itu. Pemerintah VOC lalu membangun perumahan, rumah sakit dan poliklinik dan juga gereja di sekitar pabrik dan di kota Yogyakarta. Untuk keperluan tempat tinggal orang-orang Belanda yang ada di kota, yang menjadi koordinatornya, dibangun komplek perumahan untuk orang-orang Belanda yang tertata apik yang kemu¬dian dikenal kita sebagai daerah Kotabaru.
Di wilayah Kotabaru dan sekitarnya itu, pemerintah kolonial Belanda kemudian membangunkan Rumah Sakit (hospital) Bethesda (Protestan, diresmikan 20 Mei 1899), Rumah Sakit Panti Rapih (Katholik, diresmikan 22 Februari 1927), gereja Katholik di Jalan Abu Bakar Ali, gereja Protestan di dekat Masjid Syuhada dan stadion Kridosono untuk berolah raga.
Mulai tahun 1873 di Jawa dibangun jalur kereta api dan tahun 1895-1905 dibangun juga jalur kereta api Semarang - Magelang - Yogyakarta oleh pemborong Ho Tjong An, yang menyebabkan lancarnya transportasi Semarang - Magelang - Yogyakarta. Orang-orang Belanda, khususnya para pendeta Katholik dan Protestan setiap saat bisa hilir mudik Semarang - Magelang - Yogyakarta dengan menggunakan kereta api.
Dalam perkembangannya, para pastor dan pendeta yang seharusnya hanya membimbing orang-orang Belanda dan keluarganya yang bertugas di pabrik gula itu, juga melaksanakan kegiatan missioner dan zending (Christening Politic) kepada kaum pribumi. Akibatnya, banyak warga pribumi yang berubah keyakinannya menjadi pemeluk Kristen dan Katholik. Hal itu sangat meresahkan Sultan Hamengkubuwono VII.
Melihat hal itu, HB VII sebagai Sultan Ngayogyakarta, sebagai pemimpin dan penguasa Kerajaan Islam, sekaligus sebagai Sayidin Panotogomo dan Khalifatullah, merasa ada yang tidak beres. Sultan HB VII khawatir kalau penduduk pribumi semakin banyak berubah agamanya menjadi Katholik dan Protestan. Maka, kemudian Sultan HB VII memanggil R. Ngabehi KH A Dahlan, seorang abdi dalem muda yang alim, kritis dan cerdas untuk diajak bertukar pikiran menyikapi perilaku para pendeta itu. Sehubungan dengan itu KHA Dahlan diminta pergi (diperintah, ditugaskan) haji dan berkonsultasi dengan para ulama di Makkah bagaimana menyikapi dan menanggulangi Christening Politic itu dengan cara yang baik.
Maka, pada tahun 1903 KHA Dahlan berangkat menunaikan ibadah haji yang kedua, melaksanakan tugas Sultan HB VII, sekaligus mencari informasi dan bertukar pikiran para ulama di Makkah, untuk mencari cara menanggulangi pemurtadan itu. Beliau bahkan diperkenankan mengajak putranya, Siraj Dahlan, dan tinggal di Makkah selama kira-kira 18 bulan.
Di Makkah, oleh kemenakannya KH Bakir (yang berusia 16 tahun lebih muda), KHA Dahlan dipertemukan dengan para ulama di Makkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabuwi, dan lain-lain, termasuk Syekh Muhammad Rasyid Ridha (murid Syeikh Muhammad Abduh) yang kebetulan waktu itu juga tengah menjalankan ibadah haji.
Dari pertemuan itu KHA Dahlan memperoleh informasi tentang perkembangan dunia Islam, juga memperoleh buku-buku dan majalah seperti At Tauhid (Muhammad Abduh), Kanz Al Ulum, Dairah Al Ma’arif (Farid Wajdi), Fi Al Bid’ah (Ibn Taimiyah), Tawasul wal Wasilah (Ibn Taimiyah), Al Islam wa An Nasraniyah (Muhammad Abduh), Izhar al Haq, Matan Al Hikam (Ibn Athailah), Al Manar, kitab Tafsir Juz Amma (Muhammad Abduh) dan kitab-kitab lain. (Lihat Buku M. Yusron Asrafi, KHA Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya, hlm. 37-38).
Ketika pulang ke Indonesia (sekitar 1904-1905), KHA Dahlan mengajarkan buku-buku dari Mesir itu, termasuk tafsir Al Qur’an. Dari 37 surat yang terdapat dalam Juz Amma itu, kata KRH Hadjid, hanya Surat Al ‘Ashr yang selalu dibaca dan diulang-ulang. KHA Dahlan melakukan hal itu karena terinspirasi oleh penjelasan Muhammad Abduh, yang mengutip pendapat Imam Syafii, yang menyatakan: “Seandainya Allah tidak menurunkan surat-surat yang lain dan hanya menurunkan Wal ‘Ashri saja, sudah cukup”.
Pendapat Imam Syafii itu juga dikutip oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Karena itu, oleh KHA Dahlan, surat itu selalu direnungkan dan dicari rahasianya, setelah itu diajarkan dan dididikkan kepada murid-murid¬nya. Menurut Kyai Djazuli (dari Grabag Purworejo dan guru Madrasah Muallimin tahun 1926 sampai 1954), diajarkan selama 8 bulan, agar selalu mengamalkannya. Menurut KRH Hadjid, selama 7 bulan lebih. Karena sering mengulang-ulang itu, di Pekalongan KHA Dahlan dijuluki ‘Kyai Wal ‘Ashri”. Sehingga, dulu, di semua lembaga pendidikan (Muhammadiyah) jika selesai pelajaran selalu ditutup/diakhiri dengan membaca surat Wal ‘Ashri.
Tujuan KHA Dahlan mengajarkan dan mendidikan surat itu agar murid-muridnya selalu disiplin (menepati waktu) dan bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Sumber: (Bagian Dari Buku Kisah Inspiratif Para Pemimpin Muhammadiyah, ditulis oleh Sukriyanto AR; buku dalam proses terbit)
Foto: Ilustrasi
Tags: muhammadiyah, kh. ahmad dahlan, haji, wal asyri
Arsip Berita