Hari Anak Nasional, Komisioner KPAI: Perlindungan Bagi Anak Bukan Sekadar Retorika Merawat
Dibaca: 489
MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Momentum Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh setiap tanggal 23 Juli dinilai Rita Pranawati Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mengevaluasi Negara dalam memenuhi hak anak dan komitmen untuk pemenuhan yang ditandai dari hadirnya peraturan daerah, adanya struktur kelembagaan pelaksana, hingga anggaran dan program yang memenuhi 31 kluster hak anak.
Dosen FISIP UHAMKA ini juga mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis, masih banyak terjadi di Indonesia. Data Kementerian Sosial pada tahun 2013 menyebutkan, prevalensi kekerasan anak antara usia 13-17 tahun yaitu kekerasan fisik pada anak laki-laki 1 dari 4 anak dan 1 dari 7 pada anak perempuan; kekerasan psikologis anak laki-laki 1 dari 8 anak dan anak perempuan 1:9; kekerasan seksual untuk anak laki-laki sebanyak 1:12 dan 1:19 untuk anak perempuan.
“Pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak baik anak sebagai korban maupun pelaku diawali dari pendidikan keluarga,” ungkap Rita ketika dihubungi pada Ahad (23/7).
Keluarga, lanjut Rita merupakan tempat anak pertama kali mendapatkan pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan. Fakta Survei Nasional KPAI 2015 tentang Pengasuhan Berkualitas dengan angka 1-5 menunjukkan kualitas indeks ketahanan keluarga RI masih perlu ditingkatkan.
Selain itu, Pemerintah daerah (Pemda) juga memiliki peran yang sangat penting pada perlindungan anak sebagaimana disebutkan dalam UU Perlindungan Anak. UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP No 18/ 2016 tentang Perangkat Daerah menguatkan bahwa urusan perlindungan anak menjadi urusan wajib daerah.
“Saat ini sudah mulai bermunculan dinas teknis untuk perlindungan anak, tapi sebagian besar masih mencari bentuk dari sebelumnya yang berupa badan.,” jelas Rita.
Rita menilai kebijakan perlindungan anak di pusat belum semuanya dapat diserap dengan baik oleh Pemda. Padahal, Pemda adalah ujung tombak perlindungan anak di daerah dan short cut penanganan pertama kasus perlindungan anak ada di desa dan kecamatan. Belum lagi minimnya kesadaran Pemda untuk mendirikan lembaga pengawas dalam hal ini Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), membuat situasi perlindungan anak masih belum lengkap.
Anggaran dan program perlindungan anak di daerah saat ini masih jauh dari kata memadai. Dari pengawasan kebijakan anggaran di 9 provinsi pada 2015, KPAI menemukan bahwa anggaran non-pemenuhan kebutuhan dasar untuk perlindungan anak hanya 1-2% dari keseluruhan APBD.
“Jumlah anggaran yang terbatas tersebut digunakan untuk pemenuhan non-kebutuhan dasar, seperti program pencegahan, penanganan, serta pengawasan tentu masih sangat kurang,” ungkap Rita.
Apalagi upaya pencegahan harus diupayakan lebih masif. Anggaran dan program yang memadai serta tepat sasaran dan tepat guna sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan perlindungan anak. Perubahan dari badan menjadi dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di berbagai daerah diharapkan menjadi angin segar agar program dan pembiayaan perlindungan anak akan lebih baik dengan tetap melakukan monitoring dan evaluasi.
Pada akhirnya, perlindungan anak membutuhkan kerja bersama. Perlindungan anak bukan sekadar retorika merawat dan membesarkan buah hati. Namun, semua laku kebangsaan menyiapkan generasi kuat, kukuh, dan tanggung jawab demi masa depan cerah.
“Semoga sistem perlindungan anak ini dapat segera diwujudkan pada setiap tingkatan pemerintahan. Selamat Hari Anak Nasional,” pungkas Rita. (adam)
Tags:
Arsip Berita