Haedar: Relasi Islam dan Indonesia dalam Pandangan Muhammadiyah Sudah Selesai
Dibaca: 561
MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Muhammadiyah sejak Muktamar 2015 lalu di Makassar telah menetapkan bahwa Negara pancasila sebagai daarul ahdi wa syahadah, Negara sebagai hasil konsensus nasional, Negara sebagai tempat berkiprah, karennya sebagai bangsa tidak boleh keluar dari kesepakatan tersebut akan tetapi harus tetap dirawat, dijaga dan diikat.
Maka secara normatif relasi antara keislaman dan keindonesiaan bagi Muhammadiyah sudah selesai tidak ada lagi persoalan yang harus dibicarakan. Hal itu disampaikan Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam pengajian bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta yang mengangkat tema Islam dan Indonesia: Mencari Format dan Strategi Baru, Jumat (4/8) di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah Menteng Jakarta Pusat.
“Indonesia yang Negara pancasila sejalan dengan Islam, serta umat islam telah berkiprah menghasilkan pancasila, maka Indonesia dapat kita posisikan sebagai Darussalam, sebagai Negara yang damai dan tempat menyemai benih–benih Islam. Itu yang saya sebut bahwa relasi Islam dan Indonesia dalam pandangan Muhammadiyah sudah selesai,” ucap Haedar.
Meski begitu dalam konteks dinamika politik dan kehidupan kebangsaan Haedar menyebut selalu ada dialektika dan pasang surut bahkan problematika, yang karenanya Muhammadiyah kembali berhadapan dengan realita sosiologis, yang menjadikan keislaman dan keindonesiaan seakan tidak pernah selesai.
Diantara penyebabnya adalah karena di tubuh umat islam masih banyak yang memiliki pemikiran berbeda dari arus kebanyakan, di satu sisi memiliki pemahaman kanan, di sisi lain bahkan berpaham kiri. “Selain itu umat Islam sebagai golongan mayoritas sampai saat ini masih merasa belum ada “baju” yang pas dalam berpolitik sehingga menimbulkan permasalahan yang tidak mudah diselesaikan,” terang Haedar.
Terakhir penyebab lainnya adalah strategi perjuangan untuk melahirkan format kekuasaan yang sejalan dengan aspirasi mayoritas islam, seperti melahirkan tokoh santri menjadi presiden misalnya atau pemimpin pemerintahan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak mudah dilakukan.
“Ketika opsi pertama tidak memungkinkan maka opsi kedua, yang penting mereka muslim yang menjadi pucuk pimpinan pemerintahan. Nah hal ini pun sudah mulai bermasalah dalam dinamika politik demokrasi liberal apalagi paska amandemen yang menyatakan bahwa islam dan non-islam tidak ada bedanya, siapapun berhak menjadi presiden,” ungkap Haedar.
Maka dengan kecenderungan tersebut Indonesia kedepan dalam satu sisi ada integrasi antara keislaman dan keindonesiaan yang relatif pas namun di sisi lain bagaimana agar Indonesia tetap terjaga, tegak diatas nilai-nilai kebangsaan seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa yang bebas dari tarikan paham ekstrim. (raipan)
Tags:
Arsip Berita