Bagaimana Kehujjahan Hadist-Hadist Puasa Sembilan dan Sepuluh Hari Zulhijah
Dibaca: 4470
Terdahulu telah disebutkan hadis salah seorang isteri Nabi saw riwayat Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi tentang Nabi saw melakukan puasa sembilan hari Zulhijjah dan juga hadis Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi saw antara lain puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah. Teks hadis terakhir ini adalah
Artinya: Diriwayatkan dari Hafsah, ia berkata: Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh.
Dalam Putusan Munas Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 (yang belum ditanfiz oleh PP) tentang puasa tathawwu‘ ditegaskan bahwa puasa tathawwu‘ ke-8 adalah puasa tanggal 1 s/d 8 Zulhijjah. Disebut puasa tanggal 1 s/d 8 Zulhijjah adalah karena puasa tanggal 9 (hari Arafah) sudah disebutkan tersendiri.
Dalil yang digunakan dalam putusan tersebut adalah hadis Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi SAW dimana salah satunya adalah puasa sepuluh hari bulan Zulhijah itu. Pertanyaannya, apakah hadis-hadis ini dapat dijadikan hujjah? Pertanyaan ini muncul karena adanya hadis dari ‘Aisyah yang menyanggah puasa tersebut sebagai berkut:
Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw puasa pada sepuluh hari (pertama bulan Zulhijjah). [HR. Muslim].
Untuk itu kita perlu menyelidiki sanad hadis Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi saw seperti tersebut di atas dan sanad hadis beliau puasa sembilan hari Zulhijjah. Selain dari an-Nasa’i, hadis Hafsah ini diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ibn Hibban, Abu Ya‘la, dan ath-Thabrani. Yang paling pendek dari sanad kelima rawi (mukharrij) ini adalah sanad Ahmad sebagai berikut: Hafsah – Hunaidah – al-Hurr – ‘Amr Ibn Qais – Abu Ishaq – Hasyim Ibn al-Qasim – Imam Ahmad. Jalur sanad dari semua ahli hadis untuk hadis ini sama sampai kepada Hasyim Ibn al-Qasim (Abu an-Nadlr). Dari beliau baru terjadi percabangan menuju kepada para ahli hadis tersebut. Semua rawi ini, kecuali Abu Ishak, adalah terpercaya.
Informasi biografis tentang Abu Ishaq ini tidak banyak terungkap dalam kitab-kitab rijal hadis. Hanya disebutkan bahwa namanya adalah Abu Ishaq al-Asyja‘i berasal dari Kufah. Ia meriwayatkan hadis dari ‘Amr Ibn Qais, dan murid yang meriwayatkan hadisnya adalah Hasyim Ibn al-Qasim yang sering dipanggil Abu an-Nadlr, seorang ahli hadis terpercaya. Hadis-hadis Abu Ishaq hanya diriwayatkan oleh Hasyim ini. Ibn Hajar (w. 852/1449) menilainya maqbul, sebuah kategori ta’dil paling rendah.Tetapi tidak begitu jelas apa alasannya ia dinilai karena keterangan biografis Ibn Hajar sendiri tentangnya tidak memadai. Adz-Dzahabi (w. 748/1347) memasukkannya ke dalam bukunya al-Mughni fi adl-Dlu‘afa’, akan tetapi kurang jelas kategorinya. Dalam buku ini adz-Dzahabi memasukkan berbagai kategori rawi termasuk rawi terpercaya yang sedikit longgar dalam seleksi hadis. Mungkin atas dasar ini kemudian al-Albani menyatakan hadis ini daif. Ibn Hibban meriwayatkan hadis Abu Ishaq ini dalam Shahihnya, yang berarti menurutnya Abu Ishak adalah rawi yang hadisnya sahih. Begitu pula al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadis ini sahih memenuhi kriteria al-Bukhari dan Muslim.
Hadis ini mempunyai kesamaan makna dengan hadis salah seorang isteri Nabi saw yang menerangkan beliau melakukan puasa sembilan hari bulan Zulhijjah. Sanad terpendek hadis salah seorang isteri Nabi saw ini seorang isteri Nabi saw – isteri Hunaidah – Hunaidah – al-Hurr – Abu ‘Awanah. Hingga Abu ‘Awanah ini jalur periwayatan hadis ini semuanya sama. Dari Abu ‘Awanah kemudian baru terjadi percabangan menuju masing-masing ahli hadis. Pada dasarnya semua rawi dalam sanad hadis ini adalah terpercaya. Hanya saja ada rawi yang mubham dan majhul. Rawi mubham itu adalah salah seorang isteri Nabi saw. Siapa yang dimaksud dengan isteri Nabi ini. Bila dihubungkan dengan hadis terdahulu, kiranya dapat diduga bahwa salah seorang isteri Nabi saw ini adalah Hafsah (w. 41/661), putri Umar Ibn al-Khattab.
Adapun isteri Hunaidah memang majhul, yaitu tidak dikenal sama sekali identitas dirinya.Tidak ada satupun sumber biografis yang dilacak sejauh ini menyebutkan identitasnya. Namun penjelasan lain dapat diberikan. Hunaidah sendiri dinilai oleh para biografer ahli hadis sebagai rawi terpercaya. Nama lengkapnya adalah Hunaidah Ibn Khalid al-Khuza‘i, terbilang ke dalam kelompok tabiin. Tetapi ada beberapa biografer yang menyatakannya sebagai Sahabat. Ia banyak bergaul dengan Sahabat dan meriwayatkan hadis dari beberapa di antara mereka. Ia pernah bertemu Ali Ibn Abi Talib dan ikut bersamanya melaksanakan suatu hukuman hadd (dengan cambuk) terhadap seseorang pelaku kejahatan. Ia mula-mula di Madinah kemudian pindah ke Kufah. Ibunya adalah bekas budak Umar Ibn al-Khattab. Oleh karena itu Hunaidah tentulah dekat dengan keluarga Umar, termasuk anaknya Hafsah. Dengan begitu, meskipun isterinya majhul, namun antara Hunaidah dan Hafsah tidak ada keterputusan karena keduanya muasir (sezaman) dan mengingat hubungan keluarga mereka yang dekat tentu Hunaidah banyak mengetahui riwayat yang bersumber kepada Hafsah. Oleh karena itu ada alasan untuk menerima hadis ini.
Mengenai sanggahan ‘Aisyah, seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang dikutip di atas, para komentator (pensyarah) hadis menjelaskan sebagai beikut. An-Nawawi (w. 676/1278) dalam Syarh Shahih Muslimmenegaskan, “Hadis ‘Aisyah ‘Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melakukan puasa sepuluh” takwilnya adalah puasa sembilan hari sejak hari pertama bulan Zulhijjah. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa puasa sembilan itu makruh, melainkan sangat disunatkan terutama pada hari yang ke-9, yaitu hari Arafah. Terdahulu telah diterangkan hadis-hadis yang menunjukkan keutamaannya, dan dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih utama dari hari-hari ini, maksudnya sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah. Pernyataan ‘Aisyah bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah puasa sepuluh hari takwilnya adalah bahwa ia tidak melihatnya melakukannya pada waktu sakit atau waktu dalam perjalanan atau lainnya. Atau bisa juga ditakwil bahwa tidak melihatnya itu tidak berarti bahwa beliau dalam kenyataannya tidak melakukannya. Takwil ini ditunjukkan oleh hadis Hunaidah dari salah seorang isteri Nabi saw [VIII: 71-72].
Dalam al-Majmu‘ an-Nawawi menegaskan bahwa ‘Aisyah ia tidak melihat Nabi saw melakukan puasa sepuluh itu tidak berarti bahwa beliau tidak melakukannya dalam kenyataan. Beliau kadang-kadang berada bersama ‘Aisyah pada salah satu dari sembilan hari Zulhijjah dan pada isterinya yang lain pada hari-hari sisanya. Atau dapat juga ditakwil bahwa beliau melakukan puasa sepuluh itu pada tahun tertentu dan tidak melakukannya pada tahun yang lain karena sakit atau dalam perjalanan atau karena alasan lain. Demikianlah jamak (kompromi) dilakukan terhadap hadis-hadis ini [VI: 414].
Ibnu Hajar (w. 852/1449), pensyarah terbesar Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa hadis ini [maksudnya hadis al-Bukhari tentang tiada hari yang amal salih lebih afdal untuk dikerjakan pada hari itu dari pada hari yang sepuluh ini] menjadi dalil atas keutamaan puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah karena puasa itu termasuk dalam amal salih. Tidak ada pertentangan dengan hadis ‘Aisyah karena ada kemungkinan beliau pada waktu tertentu tidak melakukannya karena khawatir dianggap wajib oleh umatnya [II: 460].
Imam az-Zarkasyi (w. 794/1392) menyatakan bahwa hadis ‘Aisyah itu bisa diartikan bahwa ‘Aisyah tidak tahu bahwa beliau melakukan puasa sepuluh karena beliau membagi hari-harinya di antara isteri-isteri beliau. Ada kemungkinan beliau puasa tidak pada hari-hari bersama ‘Aisyah [Al-Ijabah, 173]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223), dalam al-Kafi, menegaskan, “Disunatkan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih disukai oleh Allah dari hari-hari sepuluh ini” [I: 362].
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadis tentang puasa sepuluh/sembilan Zulhijjah dapat diterima dan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah tersebut masyru'(disyariatkan).
Sumber : http://www.fatwatarjih.com/2011/06/puasa-arafah-menutup-dosa-puasa-ketika.html?m=1
Foto: Ilustrasi
Tags:
Arsip Berita