Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Keagungan Nilai Islam Jangan Disalahartikan

Homepage

Keagungan Nilai Islam Jangan Disalahartikan

Jum'at, 23-02-2018
Dibaca: 499

MUHAMMADIYAH. OR. ID,  QUEENSLAND- Islam  pada dasarnya mengajarkan umatnya untuk menyebarkan kedamaian dan keselamatan. Namun, belakangan ini seperti dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, nilai-nilai luhur Islam kadang menjadi bias pemahaman, dan kemudian menjadi keliru dalam aktualisasinya, salah satunya seperti kalimat agung "Allahu Akbar" yang sering dipekikkan tidak pada tempatnya. 
 
“Allahu akbar adalah kalimat toyyibah, kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau alat untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok,” tegas Haedar di Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di The University of Queensland (UQISA), Rabu (21/2).
 
Terkait hal ini,  Haedar ingin menunjukkan bahwa Muslim yang baik adalah Muslim yang berilmu dan berkontribusi  positif bagi masyarakat, bukan mereka yang sedikit-sedikit meneriakkan “Allahu Akbar” untuk sesuatu yang sebenarnya sangat politis dan bukannya religius. 
 
Terlepas dari hal itu, Haedar juga menyampaikan bahwa paham radikal atau ekstrem bukan hanya berada di lingkungan umat beragama atau karena paham agama tertentu, apalagi hanya ditujukan pada Islam dan umat Islam. 
 
"Tetapi radikalisme itu universal karena ideologi non agama seperti komumisma, liberalisme, sekularisme, nasionalisme, dan lainnya.  Radikalisme juga sering tumbuh berkaitan dengan pandangan serta situasi politik dan ekonomi tertentu yang memicu orang untuk bertindak radikal," jelas Haedar. 
 
Pandangan radikal atau ekstrem juga sering karena adanya bias pemahaman, radikal tidak hanya pada agama, namun juga bisa disebabkan faktor sosial, ekonomi, dan lainnya.
 
Fenomena ini pula yang menurutnya membuat posisi Muhammadiyah, NU, dan mayoritas Muslim Indonesia yang moderat menjadi sangat penting serta perlu memperkuat posisi Muslim moderat di masyarakat. 
 
Muhammadiyah sendiri justru menawarkan pendekatan moderasi dalam berhadapan dengan kelompok radikal, bukan deradikalisasi. 
 
Deradikalisasi, kata Haedar, adalah berusaha mengubah pihak radikal dengan cara yang juga radikal. Ia merasa pendekatan ini kurang pas, terutama untuk jangka panjang, karenanya Muhammadiyah mengedepankan moderasi. 
 
"Kelompok radikal biasanya mereaksi pihak lain yang sama radikalnya. Misalnya, ada kelompok yang ngotot menolak LGBT sementara di ujung spektrum yang lain ada kelompok yang tak kalah radikalnya dalam mendorong pengakuan hak LGBT," ujar Haedar.
 
Aspek krusial lain yang dilihat Muhammadiyah adalah penegakan hukum. Masyarakat akan terus memantau bagaimana aparat, sebagai representasi negara, memperlakukan pihak-pihak yang dipersepsi melakukan hal yang sama. 
 
Kelompok moderat seperti Muhammadiyah dan NU sangat penting dalam membendung pertumbuhan radikalisme. Bila negara secara tidak langsung ikut berkontribusi “menumbuhkan” kelompok radikal dengan kebijakannya yang tidak adil, maka peran yang diemban kelompok moderat menjadi makin berat. 
 
Padahal, di saat yang sama, Muhammadiyah, NU, dan kelompok moderat lain juga harus bekerja keras membangun agar umat Islam maju dan mapan baik di ranah politik, ekonomi, pendidikan, bisnis, budaya dan lainnya. 
 
“Umat Islam yang moderat ini takkan bisa menjalankan perannya dengan baik dalam menjaga stabilitas di masyarakat bila dirinya sendiri terbelakang,” pungkas Haedar. (adam

Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website