Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Hukum Wanita Hamil dan Menyusui Pada Bulan Ramadhan

Homepage

Hukum Wanita Hamil dan Menyusui Pada Bulan Ramadhan

Selasa, 22-05-2018
Dibaca: 324

Wanita hamil atau wanita menyusui apabila tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, karena khawatir terhadap bayinya, apakah harus membayar fidyah saja, atau membayar fidyah dan mengqadla puasa sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan? Marilah kita simak labih dahulu firman Allah yang ada hubungannya dengan pertanyaan saudara, agar lebih jelas. Adapun firman Allah yang dimaksud adalah yang tertuang dalam surat al Baqarah ayat 184 yang berbunyi sebagai berikut:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

 

Artinya:“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.

Menurut sebagian ulama, ayat tersebut berkenaan dengan orang tua baik laki-laki maupun wanita, dan berkenaan dengan orang sakit yang tidak kuat berpuasa. Ibnu ‘Abbas pernah berkata: Orang tua diberi rukhshah (keringanan) untuk berpuasa, dan memberi makan seorang miskin setiap hari, tanpa mengqadla puasa. (Ditakhrijkan oleh ad Daru Quthniy dari Ibnu ’Abbas, dan sanadnya shahih).

Al Bukhariy meriwayatkan dari ‘Atha’ bahwa ia pernah mendengar Ibnu ‘Abbas membaca:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.

Kemudia ia berkata bahwa ayat ini berkenaan dengan orang tua yang tiada lagi mampu berpuasa, maka ia wajib memberi makan setiap hari kepada seorang miskin. (Al Bukhariy, III, Bab at Tafsir).

Adapun wanita hamil dan wanita menyusui, apabila mengkhawatirkan bagi dirinya dan anaknya, maka ia boleh berbuka sebab hukumnya sama dengan orang yang sakit. Al Hasan al Bishriy pernah ditanya tentang wanita hamil dan menyusui, apabila ia mengkhawatirkan terhadap dirinya dan anaknya. Ia menjawab: kehamilan adalah lebih berat dari pada sakit, maka ia boleh berbuka dan wajib mengqadla. (Ash Shabuniy, I: 209).

Para ulama berbeda pendapat apakah wajib mengqadla beserta membayar fidyah atau mengqadla saja. Asy Syafi’iy dan Ahmad berpendapat wajib mengqadla dan membayar fidyah, jika mengkhawatirkan terhadap kesehatan anaknya saja. Jika mengkhawatirkan terhadap kesehatan dirinya saja, atau terhadap kesehatan dirinya dan anaknya, maka ia hanya wajib mengqadla saja. Sebab wanita hamil dan wanita menyusui tercakup dalam ayat tersebut yakni:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.

Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita hamil dan wanita menyusui hukumnya sama dengan orang sakit, sebagaimana dikatakan oleh al Hasan al Bishriy, bahwa kehamilan itu lebih parah dari pada sakit. Maka ia wajib mengqadla saja.

Adapun orang tua, tidak mungkin mampu mengqadla, maka ia diperbolehkan berbuka dan menggantinya dengan fidyah, sebab tidak mungkin lagi datang kemampuan untuk berpuasa pada hari-hari lainnya.

Adapun wanita hamil dan wanita menyusui termasuk orang yang berudzur berat, maka keduanya wajib membayar fidyah saja.

Seandainya wajib mengqadla dan membayar fidyah, maka berarti menggabungkan dua pengganti; dan yang demikian itu tidak boleh. Sebab mengqadla adalah pengganti puasa dan fidyah juga pengganti puasa, maka tidaklah mungkin mengumpulkan keduanya, sebab yang wajib hanyalah satu. (Al Qurthubiy, II: 269).

Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa wanita hamil dan wanita menyusui hanya wajib membayar fidyah saja sebagaimana orang yang tidak mampu berpuasa.

Sumber: Suara Muhammadiyah No. 17 tahun ke-87/2002


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website