Keadaban Dunia Digital, Era Post-Truth, dan Ancamannya
Dibaca: 245
MUHAMMADIYAH.ID, BANTUL – Bicara beragama yang mencerahkan khususnya dalam membangun keadaban tentu memiliki kaitan dengan nilai-nilai fundamental Islam yang menjadi fondasi dari nilai keadaban yang dalam bahasa normatif kita tentang akhlak. Tetapi akhlak yang kemudian di elaborasi atau dikontruksi menjadi etika individual dan etika sosial dalam kehidupan masyarakat itulah yang disebut keadaban.
Hal ini disinggung Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam Pengajian Ramadhan 1440 H Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY di Amphitorium, Kampus Utama Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang mengusung tema “Keadaban Dunia Digital Muhammadiyah”
Dalam paparan materinya “Beragama yang Mencerahkan di Era Digital” itu, Haedar mengupas akar epistemologi bagaimana dunia digital itu lahir.
Bicara dunia digital adalah dunia masyarakat modern yang kehidupan sehari-harinya disebut sebagai every the live itu dipengaruhi dan menggunakan instrumen yang paling dominan yakni teknologi digital yang serba mesin sejak internet bahkan mutahir tentang fenomena artificial intelligence(baca: kecerdasan buatan) dan berbagai perangkat yang di bangun di atas sistem numerik yang menjadi alat kita berkomunikasi lewat teknologi informasi bahkan melahirkan media sosial yang kita pakai sehari-hari dimana kita sekarang berinteraksi lewat facebook, twitter, instagram dan whattapps yang paling mudah.
“Bahkan penggunaan digital itu bukan hanya alat bagi kita, tetapi sudah menjadi kebutuhan yang melekat dengan manusia modern yang kita semua bahkan sudah masuk dalam tahap “kranjingan”, persis seperti pengguna narkoba, yang kalau tidak menggunakan itu ada sesuatu yang hilang,” ucap Haedar.
Dunia digital, lanjut Haedar, merupakan dunia baru bagi kita dan masyarakat yang ada di belahan negara lain. Ketika orang menyebut globalisasi sebagai hadirnya era 3.0, dan kini sudah masuk bicara era industri 4.0 dan sebagainya, sebenarnya banyak hal positifnya karena lewat dunia kita dengan perangkat-perangkat teknologi digital itu dapat semakin mudah berkomunikasi dalam tempo yang sangat cepat dan singat, mungkin tidak akan pernah mengenal waktu bahkan melampaui ruang.
Bahkan kata Haedar, dunia digital telah menjadi impersonal sehingga dalam relasi kita dengan orang lain bahkan untuk menumpahkan amarahnya dengan kebencian, dendam, dan asrikulasi lain nyaris tidak ada sekat berbeda ketika kita berhubungan langsung antara personal.
“Kita tidak lagi menjadi masyarakat personal tetapi impersonal. Nah ini dunia baru bagi kita semua, “kata Haedar.
Namun tanpa disadari juga banyak hal positif yang didapat dari dunia digital, misalnya lebih gampang mencari informasi melalui google, tetapi harus tetap kritis apalagi daya kritis sekarang menjadi lemah karena serba sudah ada.
Ancaman Dunia Digital terhadap Kemanusiaan
Kendati banyak hal positif lewat dunia digital, singgung Haedar, ada banyak pula ancaman terhadap dunia kemanusiaan kita. Apa ancaman dunia digital terhadap kemanusiaan itu? Pertama, ada yang disebut oleh Jean Baudrilladr sebagai fenomena simulacra atau simulacrum, yaitu dunia khayal kemudian dikontruksi lewat dunia digital yang imaji (khayal, fiktif atau fiksi) itu seolah menjadi realitas.
“Apalagi dengan permainan teknologi seolah bisa menyambung berita yang terpenggal-penggal dan tidak ada hubungannya itu kemudian dihubung-hubungkan seolah berhubungan. Orang tidak lagi kritis kenapa itu terjadi, tetapi dunia imaji yang seperti itu sekarang bertebaran setiap detik lalu menciptakan kontruksi itu sesuatu yang benar,” sebut Haedar.
Sehingga manusia menjadi kehilangan kalau dalam istilah Kiai Dahlan adalah kehilangan ‘akal suci’ nya, yaitu akal qolbu syalim, akal yang mencerahkan yang di dalamnya selalu ada dialog di dalam akal itu tentang baik-benar, baik-buruk, pantas dan tidak pantas lalu diambil mana yang lebih baik.
Itu menjadi lemah (luruh) atau tumpul daya akalnya. Atau kalau meminjam istilah Immanuel Kant itu, sebagai hilangnya ‘sapere aude’, yaitu manusia yang berakal murni lalu menjadi akil baligh, dan setelah dia aqil baligh itu manusia menjadi dewasa termasuk dewasa dalam berfikir dan ada keberanian untuk berfikir, mengelaborasi dan mengekspresikan akal pikirannya lalu melahirkan pikiran-pikiran cerdas. Bahkan melahirkan ilmu pengetahuan.
“Nah ditengah dunia simulacra, manusia menjadi tumpul daya ‘sapare aude’ nya. Lalu menusia menjadi kembali ke masa kekanak-kanakan,” jelas Haedar.
Hal lain dari ketergantungan digital sebut Haedar, mulai adanya kecemasan tentang hidup masa depan, bahkan tentang kematian lalu dia mencoba mencari apa yang disebut oleh Sigmund Freud sebagai ‘self defense mechanism’ (mekanisme pertahanan diri), orang kehilangan kedewasaanya lalu dia kembali menjadi childish (kekanak-kanakan), dan dia menjadi larut di situ.
Kedua,adalah fenomena yang disebut oleh Travis sebagai ‘post truth’ (dunia pasca kebenaran). Hal ini menrut Haedar juga sangat akrab di dunia akademisi, dan semakin populer.
Apa yang disebut post truth itu, Haedar menyebutkan manusia sekarang lewat media sosial dan interaksi melalui digital mempercayai kebenaran dan sampai pada keyakinan kebeneran itu, tetapi bukan dari pencarian, terutama pencarian akal pikiran dan pergumulan tentang data, dan tentang fakta.
“Tetapi mereka menerima kebenaran sebagai hasil dari apa yang disebut keyakinan dan imajinasi atau semacam prasangka-prasangka personal, yang diproduksi menjadi masif. Hal itu yang lama kelamaan orang menerima sebagai kebenaran,”sebut Haedar.
Kata Haedar, mengubah alam pikiran dari post truth ini tidak lah mudah. Ini yang sebagian sosiolog disebut sebagai masyarakat yang dulu rasional termasuk para akademisi dan ilmuan (sosial atau eksakta) yang biasa dia yakin dengan angka-angka, numerik, fakta, data dan objektifitas (kualitatif atau kuantitatif). Itu tidak lagi hirau.
“Fenomena ini melahirkan apa yang disebut seperti rational irrationality (irasionalitas rasional), masyarakat yang rasional tetapi menjadi irrasional,” sebut Haedar. (Andi)
Tags:
Arsip Berita