Menjadi Umat Terbaik yang Tasyakur binni’mah
Dibaca: 511
MUHAMMADIYAH.ID , SLEMAN-Satu keutamaan manusia baik secara individu maupun kolektif yang tidak dimiliki dan juga dibebankan kepada makhluk Allah yang lain adalah tugas kekhalifahan untuk memakmurkan bumi dan membangun peradaban.
“Tetapi Jin pun diberi tugas yang sama dengan kita dalam Alquran “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat: 56),” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di depan ratusan jamaah sholat Isya’ dan Tarawih di Masjid Kampus UGM, Jumat (24/5).
Membangun peradaban artinya manusia hidup tidak sekadar hidup melangsungkan hukum sunnahtullah dalam perjuangan hidup untuk mempertahankan diri, tetapi membangun peradaban adalah mengakumulasikan seluruh potensi kemanusiaan kita untuk hidup membangun jejak-jejak kebaikan yang secara kolektif membangun kebudayaan sebagai perilaku kolektif manusia yang baik, luhur, yang akur, pada sistem kebudayaan kita ada sistem pengetahuan untuk mengolah dunia dan membangun kebaikan semesta, yang dalam alquran disebut dengan Islam Rahmatalil ‘Alamin.
Dalam alquran peradaban manusia disebut khairuh ummah, umat yang terbaik, Ali Imron 104 dan 110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Khairuh ummah menurut ibnu katsir predikat tersebut sama dengan predikat “ummatan wasathan” yang Allah sebut dalam firman-Nya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah 143).
“Biar pun ayat ini membicarakan tentang perpindahan kiblat, tetapi perpindahan kiblat itu sendiri ialah deskonstruksi, membongkar alam pikiran verbal, bahwa perihal ibadah bukan ke barat dan ke timur, tetapi membangun sebuah harokah, yakni habluminallah dan hablumninannas, sebagai manifestasi dari tauhid yang melahirkan peradaban insan yang terbaik,” lanjut Haedar.
Seorang muslim misalnya bersilaturahim, itu bukan sekadar menyambung tali persaudaraan yang sudah tersambung, tetapi silaturahim itu adalah menyambung tali persaudaraan yang terputus, betapa tidak mudahnya kita menyambung tali persaudaraan yang terputus apalagi sengaja memutus tali persaudaraan atas satu lain hal, tidak mau bicara, tidak mau ketemu, tidak mau dialog, apalagi bertukar pikiran. Di saat seperti itu hanya dengan nilai silaturahim umat muslim diajari tentang meletakkan satu bagian kecil dari membangun perabadan khairu ummah.
“Kenapa?, karena di situlah perbedaan muslim dengan yang lain, apalagi dengan makhluk Allah yang lain, kalau sama saja, untuk apa kita diberi predikat muslim, mukmin dan muttaqin, kalau perilaku kita sama saja”, tambahnya.
Bagaimana agar kita bisa meletakkan pondasi khairu ummah itu, untuk menciptakan peradaban Islam berbeda dari yang lain.
Satu, tentu harus bisa Tasyakur binni’mah. Bersyukur terhadap apa yang telah Allah berikan kepada kita. Sebagai manusia yang sebaik-baik ciptaan. Tangan bisa kita gunakan untuk menulis yang baik, mata untuk melihat yang baik, telinga untuk mendengar yang baik-baik, lisan itu juga itu harus menjaga ujaran yang tertuang dalam Alquran surat Al Hujurat 1-13.
“Cirinya manusia muslim dalam berujar termasuk dalam ujaran verbal secara lisan dan verbal secara tulisan misalnya dalam media sosial tidak boleh keras melampaui takaran, Harus tabayun kalau dapat kabar yg belum jelas, harus ukhuwah tidak boleh membikin retak. Menahan ujaran-ujaran merendahkan orang lain karena perbedaan suku, agama ataupun perbedaan pilihan politik”, jelasnya.
Qolbu kita, dalam hadist yang sangat terkenal Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).
“Rawatlah hati ini khususnya di bulan ramadhan, menjadi pusat menentukan titik kebenaran ketika kita bimbang, ragu, galau, dan chaos”, ujarnya.
Manusia ini sering dibakar hawa nafsu, hawa nafsu politik yang melebihi takaran, hawa nafsu materi. Bahkan dalam beragama pun ada hawa nafsu, sampai Rasul mengajarkan kita jangan berlebihan dalam bergama.
Suatu saat ada sahabat yang melempar Jumratul Aqabah, Rasul menegur, “jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama”. Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan.
“Kata Jalaludin Rumi, Hawa nafsu adalah ibu dari semua berhala”, lanjut Haedar.
Kita terampil berpuasa setiap tahun, tetapi ketika kita sudah mengumbar marah, mengumbar amarah, siapapun tidak ada yang bisa mencegahnya, kecuali menjadikan qolbu sebagai pusat untuk mengukur mana yang baik dan salah, mana yang baik dan buruk.
Tags:
Arsip Berita