Kemerdekaan, ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan
Dibaca: 1121
Oleh: Aan Ardianto
Kemerdekaan harus inklusif gender, karena kemerdekaan merupakan hasil dari usaha bersama. Bukan hanya peran dari pihak kaum pria tapi juga perempuan. Maka kemerdekaan harus dirasakan oleh semua pihak tanpa terkecuali, serta terus diusahakan untuk terwujudnya negeri yang Baldatun Toyyibatun wa Rabbun Ghofuur.
Rentang sejarah panjang lahirnya negara bangsa Indonesia, menurut Siti Noordjanah Djohantini, Ketua Umum PP ‘Aisyiyah adalah berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, yang diusahakan oleh para pahlawan-pahlawannya. Namun kebanyakan masyarakat umum lebih mengenal sosok pahlawan dari kaum pria. Padahal peran kaum perempuan juga tidak bisa dikesampingkan.
Refleksi sejarah awal pergerakan kaum Perempuan (first wave feminism) pada tahun 1800-an, disebabkan pada masa itu perempuan menganggap dirinya masih ketertinggalan dikarenakan buta huruf, miskin dan tidak memiliki keadilan. Dalam sejarah peradaban perempuan Barat, muncullah filusuf eksistensialisme, Simone de Beauvoir, seorang Perancis tersebut merancang teori feminsime melalui karyanya yang berjudul The Scond Sex (1949). Karya tersebut memicu munculnya pergerakan perempuan (feminisme) yang mengugat ketidakadilan secara terbuka.
Babak baru pergerakan perempuan yang menuntut keadilan (equality) dalam berberapa bidang menemukan kembali gairahnya. Setidaknya terdapat beberapa tipologi pergerakan feminis, mulai dari yang paling radikal seperti menuntut klaim-klaim bilogis, sampai pergerakan feminis yang menunut kesetaraan pada bidang pendidikan. Bahkan sebelum 1949, gairah perjuangan kaum perempuan sudah mendesak kaum perempuan Indonesia untuk disuarakan.
Beberapa nama seperti Siti Walidah, RA Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien dan beberapa nama yang tidak tersebut lainnya menjadi corong kebangkitan pergerakan perempuan di Indonesia. Sebagai negara yang masyarakatnya hidup berlandaskan nilai dan norma agama, pergerakan Perempuan Indonesia tidak bisa dilepaskan jauh-jauh dari tata aturan atau norma agama yang ada, terlebih organisasi pergerakan Perempuan ‘Aisyiyah (1917) yang didirikan oleh Siti Walidah.
Peran perempuan Indonesia untuk terlepas dari belengu kebodohan, kemiskinan dan dominasi kaum pria (patriaki) menemukan titik terang melalui adanya perkumupulan ‘Aisyiyah (Sopo Tresno). Siti Walidah, perempuan Jawa yang hidup dalam ketatnya budaya Jawa berhasil memotong mata rantai ketertinggalan yang mendera kaum perempuan disekitarnya. Melalui dukungan agama dan suami yang memiliki pandangan berkemajuan, Siti Walidah berhasil mengorbitkan tokoh-tokoh penting perempuan yang ikut mewarnai lembaran-lembaran sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.
Peran tokoh ‘Aisyiyah juga tercatat dalam Kongres Perempuan I Indonesia pada tahun 1928. Menurut catatan dalam surat kabar Isteri pada Mei 1929 ‘Aisyiyah tercatat menduduki nomer wahid sebagai anggota kongres, diwakili Siti Moenjiyah yang ditunjuk sebagai wakil ketua Kongres. Selain itu, ‘Aisyiyah juga mengutus Siti Hajinah dalam kongres tersebut. Juga pamitnya Jendral Sudirman ke Siti Walidah sebelum berangkat melakukan Perang Greliya, patut menjadi catatan penting peran perempuan terhadap kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh dikesampingkan.
Hadirnya ‘Aisyiyah juga memerdekakan kaum perempuan dari budaya atau etik yang tidak memiliki landasan ilmiah maupun agama yang menyebabkan kemunduran perempuan, seperti ‘Surgo nunut, neroko katut’ disingkap habis oleh budaya yang dikembangkan oleh ‘Aisyiyah yang berbasis agama dan ilmiah. Menurut alumni Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis, Chamamah Soeratno, Meski pada saat itu sudah ada tokoh bangsa dari kalangan perempuan. Namun modernitas perempuan Indonesia baru benar-benar hadir dan dirasakan saat adanya Muhammadiyah melalui ‘Aisyiyah.
Kini, ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan berhasil memantapkan dirinya dalam percaturan pergerakan nasional dan global, serta sebagai organisasi perempuan Islam tua yang tetap esksis sampai sekarang. Terlebih peran ‘Aisyiyah dalam pendidikan ditunjukan dengan rapinya manajemen pengelolaan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), sampai dengan Perguruan Tinggi ‘Aisyiyah (PTA). ‘Aisyiyah juga bergerak dalam pelayanan kesehatan, seperti klinik, rumah sakit. Serta panti sosial yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Meski demikian tugas liberasi terhadap penindasan yang menimpa kaum perempuan yang diemban oleh ‘Aisyiyah belum selesai, karena masih banyak dimensi-dimensi penindasan yang masih dirasakan oleh kaum perempuan.
Tags:
Arsip Berita