Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Lawatan ke Sumbar, Haedar Resmikan Gedung Hingga Beri Kuliah Umum

Homepage

Lawatan ke Sumbar, Haedar Resmikan Gedung Hingga Beri Kuliah Umum

Sabtu, 07-09-2019
Dibaca: 201

MUHAMMADIYAH. ID, BUKITTINGGI – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, pada Jum'at (6/9) lawatan ke Sumatra Barat (Sumbar), diantaranya menghadiri peresmian gedung kampus III Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat (UMSB), Launching SM Corner Bukit Tinggi, memberikan kuliah umum di program pasca sarjana IAIN Bukit Tinggi,  dan kuliah umum di Yayasan Thawalib Padang Panjang. 
 
Ketika menyampaikan Kuliah Umum di Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi Haedar menyampaikan kuliah bertajuk “Politik Islam dalam Konstelasi Politik Nasional dan Global”. 
 
Haedar menjelaskan bahwa umat Islam tidak bisa menutup diri menghadapi pergulatan politik terutama perkembangan dunia yang berubah seperti sekarang ini. Terutama dengan perkembangan Tiongkok yang menjadi salah satu kekuatan adidaya.
 
“Jika umat Islam masuk pada orientasi politik yang miopik soal asing dan aseng tanpa melihat konstelasi dunia, maka akan berada pada suatu posisi yang semakin termarginalkan di Tengah gelombang geopolitik,” tutur Haedar di Bukittinggi, Jum’at (6/9).
 
Di hadapan para mahasiswa dan dosen Pasca Sarjana IAIN Bukittinggi, Haedar mengungkapkan, dalam konteks politik Islam dunia pasca The Arab Spring, dunia Islam belum juga mengalami konsolidasi. 
 
“Bahkan antar negara Islam, sekarang kan relasinya, misal antara Arab Saudi dengan Qatar dan Iran itu punya tingkat ketegangan yang tinggi,” tuturnya. Mesir mengalami turbulensi politik sedemikian rupa. Begitu juga nasib Palestina, Pakistan serta OKI yang tidak berdaya untuk merekatkan dunia Islam.
 
“Di tengah situasi seperti itu, Suriah babak belur yang kita tidak tau kapan berakhirnya,” tutur Haedar. Saat itu juga ada perang antara Iraq dan Iran. “Muncul juga hantu baru bernama ISIS, dan ini sangat problematik,” imbuhnya. Ketika semua tokoh maupun analis politik percaya bahwa ISIS adalah buatan, tetapi anehnya ada pihak yang menerima ideologinya bahkan disetujui.
 
Oleh karena itu, kata Haedar, mau berbuat apa politik dunia Islam. “Perubahan-perubahan dunia dan terjadinya konstruksi politik – ekonomi jangan pernah kita anggap biasa. Persis seperti kita membayangkan ketika terjadi konflik di tubuh republik ini karena politik dan lain sebagainya, padahal harganya terlalu mahal,” ungkapnya mengingatkan.
 
Haedar memberi contoh Soviet yang pernah berjaya saja pecah berkeping-keping. Begitu juga Yugoslavia menjadi perhatian bersama. “Gesekan dan dinamika politik apapun jangan mengorbankan Indonesia sebagai negara besar, dengan kemajemukannya, dengan tatanannya yang telah kita bangun,” ungkapnya.
 
Politik Islam, tutur Haedar, masih dalam proses ideologisasi yang lebih banyak masuk dalam berbagai perangkap politis dan belum beranjak pada agenda strategis untuk kemajuan yang spektakuler serta bagi kemajuan Islam itu sendiri.
 
Haedar menyebutkan terdapat tiga aliran dalam politik Islam yaitu Islamis Integralistik, liberal sekular, dan moderat. “Menyatukan tiga perspektif ini, di Indonesia saja tidak gampang,” tandasnya.
 
Indonesia, kata Haedar, jika menurut Muhammadiyah juga merupakan bentuk dari aktualisasi keislaman yakni darul hadi wa syahadah. “Hasil kesepakatan dan itu sejalan dengan Islam, karena Pancasila sebagai dasar negara juga sejalan dengan Islam,” kata Haedar.
 
Politik merupakan sebagai bagian dari muamalah duniawiyah. Sebagai bagian dari muamalah itu, politik harus dilihat dari dimensi kemajuan. Oleh karena itu politik harus ada value (nilai).
 
Dalam konteks realitas kehidupan kebangsaan, di Indonesia biarpun muslim mayoritas partai politik yang berlatar belakang Islam belum bisa berbuat banyak. “Kalau pola politik kita saling eksklusif sampai kapanpun konstruksi kemenangan akan tetap menjadi problem,” tutur Haedar.
 
Sementara dalam konteks umat, masih menurut Haedar, perlu penguatan ekonomi. 
 
“Muslim Indonesia selama dhuafa mustadzafin secara ekonomi menjadi kelompok besar yang lemah sementara kekuatan ekonomi – politik dikuasai kelompok kecil,” kata Haedar.
 
 Perlu perjuangan yang berat bagaimana mengangkat derajat ekonomi umat ini.
 
Selain itu, lanjut Haedar, adalah penguatan sumberdaya manusia melalui pendidikan. Juga Haedar mengingatkan agar menaruh pergumulan politik dalam proporsinya. “Agar umat Islam tidak terpecah belah oleh ritus politik lima tahunan, karena itu sesuatu yang biasa dan jangan sampai satu sama lain saling menghancurkan, malah harus sebaliknya dengan culture saling mendukung yang harus menjadi budaya baru terutama bagi bagi anak-anak muda,” pungkasnya.

Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website