Busyro: Persoalan Sosial Masyarakat di Indonesia Tidak Bisa Hanya Dilihat dengan Kacamata Akademik
Dibaca: 163
MUHAMMADIYAH.ID, SLEMAN — Sebagai pilar demokrasi, civil society atau yang diwakili oleh Civil Society Organization (CSO) harusnya berada pada posisi yang lebih dekat dengan State (Negara)dan perannya harus lebih besar dalam mengatur Negaraketimbang Private Sector (PS) investor atau pemodal. Namun pada nyatanya, posisi CSO mampu digeser oleh PS yang berkelindan dengan Negaradan mengalahkan posisi dan peran CSO.
Dalam segi tiga timpang ini, menunjukkanperselingkuhanoligarki politik dan oligarki kapital Fakta tersebut menjadikan Indonesia sebagai laboratorium penelitian yang lengkap dalam persoalan ketimpangan, hukum, korupsi, dsb. Karena distabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami banyak gangguan.
Hal tersebut disampaikan Busyro Muqodas, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam acara diskusi publik yang digelar di aula kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta pada Jumat (8/11).
Busyro juga mengatakan, dalam persoalan sosial masyarakat di Indonesia tidak bisa dilihat hanya memakai kacamata akademik dengan teoritis deduktif. Melainkan teori-teori deduktif harus di chalange dengan teori induktif yang berbasis pada ralitas dan fenomena atau indkiator dan data. Dosen Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini menyoroti kelambatan research-research yang dialami oleh lembaga atau institusi pendidikan, baik negeri mapun swasta di Indonesia dalam ilmu sosial humaniora.
Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka fakta bahwa, perselingkuhan yang dilakukan oleh negara dan pemodal melahirkan persoalan yang kompleks dalam ketatanegaraan, politik dalam arti luas, hukum, ekonomi, lingkungan, proyek-proyek pembangunan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Karena kebijakan publik di kontrol untuk kepentingan sepihak, terutama kepentingan pemiliki modal.
“Banyak kebijakan ditentukan oleh dua bundaran tersebut yaitu state dan PS. Bundaran CSO yang kecil dan jauh dengan bundaran state, menggambarkan masyarakat sipil itu tidak dalam kenegaraan dan posisi ketatanegaraan yang seharusnya,” ungkap Busyro.
Padahal, sebagai negara modern yang berprinsip pada The Role of Law, idealnya adalah memiliki dua pilar yaitu demokrasi dan human rights. Yang didalam demokrasi juga memiliki dua pilar lagi yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat (social control) dan keseimbangan (balances). Prinsip The Role of Law disebutkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) ’45 pasal 1 ayat 3 bab 1, dan di ayat sebelumnya pada ayat 1 menyebutkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ayat 2 menyebut kedaulatan di tangan rakyat.
“Prinsip the role of law berdasarkan prinsip konstitusionalisme yang pemahamannya keseluruhan merujuk kepada UUD 45, itu meniscayakan bahwa masyarakat sipil sebagai kekuatan demokrasi harusnya posisinya tidak di gambarkan sebgai bulatan kecil dan jauh dari state, bukan malah PS sangat besar dan dekat dengan state.” Urai Busyro
Selain distabilitas sosial terganggu, perselingkuhan antara negara dan pemodal juga menimbulkan kegaduhan dalam percaturan politik Indonesia. Salah satunya adalah tumor politik yang sering disebut sebagai politik transaksional. Jika dibiarkan tumor tersebut akan semakin cepat menjalar ke seluruh tubuh negara-bangsa. Politik transaksional sekarang ini bukan hanya terjadi pada level elite pusat atau daerah, tetapi sudah sampai kepada perilaku politik di desa-desa.
“Jadi virginitas atau kegadisan moral masyarakat yang semula tidak mengenal zona nyaman itu diserang dengan money politik. Jika terjadi terus-terusan, bisa dipastikan masyarakat akan kehilangan kegadisan moral politiknya. Maka, Pemilihan Umum (Pemilu) yang jujur dan bersih dari suap terhadap pemilih adalah pemilu yang bisa menegakkan demokrasi ekonomi, hukum, hak asasi manusia (HAM) dan menjaga martabat CSO,” tutup Busyro. (a’n)
Tags:
Arsip Berita