Empat Proyek Amalan Muhammadiyah Menurut A. Mukti Ali
Dibaca: 339
MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Abdul Mukti Ali memiliki nama kecil Sedjono, mantan Mentri Agama Republik Indonesia pada periode Kabinet Pembangunan II, juga terkenal sebagai tokoh yang memiliki gagasan pembaharuan dalam dunia Islam. Kaitannya dengan Muhammadiyah, Mukti Ali merumuskan beberapa persoalan penting tentang interpretasi amalan Muhammadiyah.
Hal ini disampaikannya pada 11 Mei 1958, dalam acara Halal bi Halal Pemuda Muhammadiyah Jakarta. Menurutnya, sebelum menginterpretasi amalan Muhammadiyah harus dimulai dengan pemetaan faktor-faktor berdirinya Muhammadiyah. Mukti Ali merumuskan, setidaknya ada lima faktor terkait berdirinya Muhammadiyah. Antara lain,Indonesia dan India, Indonesia dan Arab, Muhammad Abduh dan Golongan Salafiyah, penetrasi Bangsa Eropa, dan kegiatan Missi Katolik dan Protestan.
Setelah melakukan klasifikasi, Mukti Ali kemudian menyimpulkannya menjadi empat proyek amalan-amalan Muhammadiyah. Meliputi purifikasi ajaran Islam dari pengaruh ajaran luar Islam, melakukan reformulasi doktrin ajaran Islam menggunakan alam pikiran modern, pembaharuan di bidang pendidikan dan mempertahankan Islam dari pengaruh/serangan luar.
Dalam penjelasannya tentang purifikasi, Mukti Ali menganggap Muhammadiyah tidak serta-merta menolak perilaku-perilaku Tahayul, Bid’ah dan Churafat. Melainkan ajaran tersebut ditafsir ulang dan diberi interpretasi baru. Dalam soal tasawuf misalnya, Muhammadiyah sering memakai buku karangan Hamka yang memberikan pandangan baru dalam dunia tasawuf. Tidak langsung menolak dan mengiyakan, melainkan berangkat dari nilai-nilai dan paradigma untuk menyusun sebuah argument.
Selain itu, Mukti Ali menganggap kemunduran yang dialami umat Islam karena semakin jauh dengan ajaran yang asli dan sederhana yang mudah dimengerti oleh khalayak. Menurutnya, kerumitan khalayak dalam memahami Islam juga ditimbulkan karena banyaknya aliran yang mengatasnamakan Islam dan menyalah-gunakan pemahamannya. Sehingga Islam berpenampilan seolah-olah hanya sebagai system fiqih yang simpang-siur dan geocompliceerd.
Sedangkan dalam reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan, terlebih sekolah, di Indonesia masa itu terbagi menjadi dua kutub. Untuk pendidikan di sekolah Belanda hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang sekuler, sementara di pesantren materi pendidikan yang disampaikan hanya persoalan agama saja. Ahmad Dahlan melihat ini sebagai suatu yang tidak boleh dibiarkan, karena kedua aspek tersebut harus disatukan.
Kedua perbedaan yang ada akan menimbulkan jurang perbedaan yang lebar, mulai dari cara berfikir, berpakaian, bicara, dan aktivitas social lainnya. Hadirnya Muhammadiyah juga untuk menyempitkan, bahkan menghilangkan jurang pembeda antara dua kelompok ini. Sehingga Ahmad Dahlan menginisiasi untuk memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda, dan secara mandiri Muhammadiyah mendirikan sekolahan/pesantren yang mengajarkan ilmu umum dan agama secara bersama.
Amalan selanjutnya yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah untuk mempertahakan Islam dari serangan luar. Langkah strategis yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah dengan menerjemahkan sebanyak-banyaknya majalah yang diproduksi oleh pihak luar pada tahun 1930-1940 an. Karena di tahun-tahun tersebut banyak ilmuan atau cendikiawan yang berlatarbelakang pendidikan Barat/Belanda mengkritik dan mencemooh ajaran dan aqidah Islam.
Selain serangan dari para kaum cendikia, Islam juga mengalami serangan dari Missing dan Zending. Kegiatan yang mereka lakukan banyak meresahkan keimanan dan aqidah umat Islam waktu. Terlebih kelompok Missing dan Zending mendapat angina segar dari peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia-Belanda yang banyak menguntungkan mereka. (a’n)
Tags:
Arsip Berita