Meneladani Ibu Guru Siti dari SD Muhammadiyah Filial
Dibaca: 182
MUHAMMADIYAH.ID, PALEMBANG— Jika diantara kita pernah membaca kisah perjuangan guru dan murid dalam novel yang ditulis oleh Andrea Hirata dengan judul Laskar Pelangi, yang mengambil setting kisah tahun 1970-an di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Gantong, Bangka Belitung. Kisah tersebut hampir serupa dengan yang dialami oleh Siti Komariyah (29) yang terjadi di SD Muhammadiyah 4 Filial.
Kisah heroik ini terjadi di Sumatera Selatan, tepatnya di SD Muhammadiyah 4 Filial Desa Saluran, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin. Siti Komariyah disana menjadi satu-satunya guru yang mengajar di sekolah tersebut mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Setiap hari Bu Guru Siti selalu disibukkan dengan kegiatan mengajar, murid-muridnya ada yang berlarian, serius menyimak, ada juga yang bertingkah hanya untuk sekedar ingin menarik perhatian Ibu Siti.
Sebagai satu-satunya guru di SD Muhammadiyah 4 Filial, Bu Guru Siti memiliki cara unik dalam menyampaikan mata pelajaran. Sebanyak 25 murid yang berasal dari kelas 1 sampai 6, dikumpulkan dalam satu ruang kelas yang kemudian di bagi per-kelompok sesuai dengan tingkat kelas. Murid kelas 1 dikumpulkan di sisi paling kiri, berurutan sampai sisi yang paling kanan di tempati murid kelas 6.
Sebenarnya Bu Guru Siti tidak benar-benar sendiri, terkadang jika ia kwalahan megajar murid-muridnya dia akan meminta bantuan Dika Aryanto (39), suaminya yang sebenarnya bukan seorang guru melainkan berprofesi sebagai petani. Karena bukan sebagai seorang guru, Dika terkadang juga terkendala untuk memahami mata pelajaran yang akan disampaikan. Alhasil Dika juga bertanya kepada sanga istri.
“Berkat dukungan dia, saya masih bertahan hingga saat ini," tutur Siti.
Dalam pembagian tugas, jika Bu Guru Siti kewalahan untuk mengurusi semua murid-muridnya maka suami terrcinta akan diminta untuk mengajar dari kelas 1 dan 2, sementara Siti mengajar kelas 3 sampai kelas 6. Kolaborasi keduanya terjadinya dimulai sekitar tiga tahun yang lalu, di awal Siti mengajar pada tahun 2014 masih ada dua guru lain yang saling membantu. Namun mereka tidak bisa melanjutkan lagi, karena persoalan gaji yang didapatkan.
Sebenarnya Siti juga sempat mengalami hal serupa, namun ia tetap bertahan dengan gaji yang hanya sebesar Rp 500.000 tiap bulan. Dengan jumlah gaji sekian, Siti mengaku lebih banyak digunakan untuk membeli atau melengkapi peralatan mengajar dari pada masuk untuk keperluan pribadi. Meski demikian Ia beserta suami tetap merasa bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk mengajar anak-anak di dusunnya.
Semua yang dilakukannya bukan semata untuk mengejar materi dunia, melainkan ikhlas mengabdi dan usaha mencerdaskan anak-anak didiknya. Semangat Siti bertambah tatkala melihat perjuangan anak didiknya yang harus mengarungi sungai untuk sampai ke sekolah. Maka, selain suami tercinta adalah anak didiknya yang terus menguatkan Siti untuk setia mengajar di SD Muhammadiyah 4 Filial.
Bu Guru Siti akan merasa bersalah apabila perjuangan yang dilakukan muridnya untuk sampai ke sekolah, lalu dia tidak datang atau berhalangan untuk mengajar. Konsistensi semangat yang dilakukan Siti bertujuan untuk memajukan wilayahnya, menurutnya kemajuan akan dicapai melalui pendidikan. Sehingga ia bertekad untuk mengantar anak didiknya bisa sekolah sampai tingkat menengah.
Desa tersebut juga belum teraliri listrik. SD Muhammadiyah 4 Filial sendiri memiliki luas bangunan 6 kali 3 meter, dengan dinding terbuat dari batu bata merah yang tidak dilapisi semen. Sementara lantai hanya dilapisi semen dan di beberapa bagian telah retak, untuk bagian atap terbuat dari seng yang mulai berkarat. Sejak dibangun secara swadaya oleh masyarakat desa Saluran yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan pekebun pada 2002, sampai sekarang SD Muhammadiyah 4 Filial belum pernah mengalami renovasi.
Meskipun demikian, sejak April 2019 sudah ada beberapa bantuan dari komunitas literasi yang membantu Bu Guru Siti dalam pengembangan pendidikan di sana.
Tags:
Arsip Berita