Euthanasia Ditinjau dari Sudut Pandang Etika
Dibaca: 150
MUHAMMADIYAH.ID, BANTUL - Seorang pasien yang sudah menderita sakit berkepanjangan, bahkan tak tertahankan, akan menyulitkan baik bagi pasien itu sendiri maupun keluarganya. Lebih-lebih kalau memperhitungkan biaya pengobatan dan perawatan yang harus ditanggung oleh keluarga. Dilema yang sama juga terjadi pada dokter yang merawatnya. Dokter harus sekuat tenaga menyembuhkan pasien sesuai dengan standar profesinya serta SOP untuk tindakan medis yang akan dilakukannya.
Apabila ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa penyakit yang diderita pasien tersebut tidak mungkin disembuhkan dengan cara apapun, serta jatuhnya kematian juga masih misterius, apa yang harus dilakukan dokter ketika keluarga pasien dengan pasrah menyarankan untuk mempercepat kematian sang pasien tersebut?
Pertanyaan inilah yang hendak dijawab oleh Siti Ismijati Jenie ketika menjadi pembicara di acara Halaqah Nasional dengan tema ‘Terminasi Hidup, Bunuh Diri dengan Bantuan Medis, dan Perawatan Paliatif’ yang diselenggarakan di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabtu (15/2) siang. Dalam acara yang diselenggarakan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ini, Siti membawakan materi tentang Euthanasia dan Physician Assissted Suiside (PAS) di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Etika dan Hukum.
Menurut Siti, euthanasia adalah suatu tindakan untuk mengakhiri hidup seseorang dengan cara yang tidak menimbulkan rasa sakit pada orang tersebut. Sedangkan PAS atau Physician Assissted Suiside adalah bunuh diri yang dibantu oleh saran-saran dari dokter termasuk berupa kontribusi pemberian obat untuk mengakhiri hidup. Tujuan dari kedua cara mempercepat kematian ini bertujuan untuk mengakhiri penderitaan yang berat dan rasa sakit yang tidak tertahankan dan berkepanjangan.
“Jika tindakan mengakhiri hidup dilakukan oleh tenaga medis, tindakan itu lazim disebut sebagai euthanasia, sedangkan jika dilakukan sendiri oleh si penderita yang dilakukan dengan bantuan medis, misalnya dokter membuatkan obat, hal itu lazim disebut PAS,” kata Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada ini.
Siti kemudian menjelaskan tentang euthanasia dan PAS dilihat dari etika kedokteran di Indonesia yang bersumber dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Dalam Kodeki pasal 10 tentang Kewajiban Dokter Terhadap Penderita disebutkan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi melindungi hidup makhluk insani.
“Ketentuan tersebut berarti bahwa segala perbuatan dan tindakan dokter bertujuan memelihara kesehatan pasien, karena itu kehidupan manusia harus dipertahankan dengan segala daya. Akan tetapi bila terbentur pada kenyataan pahit, si pasien sudah divonis takan sembuh dari penyakitnya, apa yang harus dilakukan dokter? Keadaan akan tambah dilematis bila keluarga pasien atau bahkan mungkin pasien sendiri meminta untuk euthanasia dan PAS,” tutur Siti.
Dalam Kodaki persoalan euthanasia dan PAS belum diatur secara sempurna, akan tetapi menurut Siti, harus diingat bahwa landasan idiil Kodaki adalah Pancasila, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan demikian, persoalan boleh tidaknya seorang dokter melakukan euthanasia atau PAS harus dikembalikan pada norma-norma agama sebagai derivasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam Sila Pertama.
“Menurut agama hak untuk mengakhiri kehidupan itu bukanlah hak manusia, melainkan hak istimewa Tuhan. Jadi, menurut saya dalam hal ini dokter tidak boleh melakukan euthanasia atau PAS. Lantas apa jalan keluarnya? Jalan keluarnya adalah melakukan pengobatan paliatif,” jelas Siti.
World Health Organization (WHO) memberikan pengertian bahwa perawatan paliatif (palliative care) adalah sistem perawatan terpadau yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lainnya, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang berduka.
“Jadi kesimpulan yang ingin saya sampaikan pada Halaqah Nasional ini, euthanasia dan PAS dilarang oleh norma etika yang ada di Indonesia,” pungkas Siti.
Pembahasan mengenai euthanasia akan menjadi salah satu fokus kajian dalam Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang akan diselenggarakan pada tanggal 14-17 April di Universitas Muhammadiyah Gresik. (ilham)
Tags:
Arsip Berita