Haedar: PTMA Perlu Membangun Culture Thinking
Dibaca: 107
MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, disrupsi bukan hanya sekadar beralih kepada revolusi industry 4.0. Di mana Teknologi Informasi (TI) menjadi bagian dari denyut hidup kita. Tapi lebih kepada bagaimana kita menghadapai era ini untuk melahirkan kemampuan diatas rata-rata atau juga kemampuan lain yang mengajak kita untuk semakin berkerasi, berinovasi dan lain sebagainya.
Hal tersebut disampaikan Haedar saat menghadiri Leadership Training angkatan 5 Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah yang diselengarakan oleh Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah pada Senin (24/2) di Jayakarta Hotel.
“Namun di era ini kita juga harus berhati-hati, karena sering kita berbelok dari ide dasar kita,” ucapnya.
Haedar menjelaskan dalam persoalan pendidikan misalnya, dalam penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah harus dituntut tetap sadar untuk tetap memiliki ideologi yang dipakai sebagai dasar untuk membangun, menciptakan dan membentuk generasi yang memiliki orientasi sebagai subyek peradaban, bukan menjadi obyeknya. Karena pendidikan itu menjadikan manusia seutuhnya, sehingga tidak boleh pendidikan itu menjadi pabrik yang hanya berorientasi memproduksi pekerja.
“Jangan menjadikan institusi pendidikan sebagai pabrik, kalau itu yang terjadi berarti kita mengorbankan proses perjalanan pendidikan nasional kita dari yang menghidupkan kecerdasan bangsa,” tuturnya.
Hal ini yang menurutnya sebagai bentuk kamuflase yang berorientasi pragmatis. Sehingga, kepada para pimpinan baik yang berada di Pendidikan Tinggi Muhammadiyah atauapun ‘Aisyiyah harus tetap menjadi pendidik, meskipun disisi lain tetap menjadi manajer atau leader (kepala). Karena itu Ia menekankan bahwa, tugas utama penyelenggara pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa.
Diharapkan dari orientasi tersebut, lembaga pendidikan Muhammadiyah bisa menghasilkan insan akademik, serta melahirkan pelaku untuk menciptakan peradaban yang berkemajuan. Maka, kesepakatan orientasi mengenai tujuan pendidikan harus disepakati bersama dan dijalankan selaras-seiring.
Merujuk kepada Francis Fukuyama, disrubsi pada mulanya merupakan sebuah kekacauan. Haedar menjelaskan, kehadiran era disrubsi tidak bisa terlepas dari adanya revolusi industry yang terjadi di Barat atau Amerika waktu itu. Yang kemudian menimbulkan gap value di masyarakat, sehingga disrubsi yang terjadi bukan hanya terkait dengan challenge. Tapi juga menjadi problem yang dihadapi oleh masyarakat.
“kita harus sadar, di era media social bisa mengurangi kemampuan kita,” tambahnya.
Terjadinya kemrosotan kemampuan yang dialami akademisi, erat kaitannya dengan pola dan barang apa yang dikonsumsi oleh akademisi. Terkait media social misalnya, Haedar mewanti-wanti betul akademisi Muhammadiyah untuk membatasi dan memilah ‘makanan’ yang dikonsumsinya, karena jika dibiarkan berterus-terusan hal ini akan menjadi problem mendasar yang berkaitan dengan kemampuan akademis.
“Muhammadiyah sebagai garda terdepan pembaharuan, maka dari perguruan tingginya harus lahir pemikiran-pemikiran besar jika umat memerlukannya. Sehingga harus mampu menghasilkan akademisi yang juga intelegensia, yang berfikirnya betul-betul memberi pencerahan. Maka thinking culture seperti ini harus dibangun,” imbuh Haedar.
Haedar meminta kepada akademisi Muhammadiyah untuk memproduksi pemikiran yang bisa membantu persyarikatan dalam menghadapi perubahan. Maka keberadaan PTMA bukan hanya berlomba dalam urusan akreditasi, meskipun urusan akreditas tersebut penting tapi keberadaan PTMA harus berkontribusi pada pengembangan persyarikatan.
PTMA juga harus memiliki corak kekhasaan masing-masing dalam pengembangan aspek ilmu pengetahuan. Maka diperlukan media artikulasi kepada akademisi untuk masing-masing bisa mengembangkan kefaikahannya dalam bidang akademik yang digeluti. Langkah ini perlu diambil untuk tetap mengairahkan suasana akademik yang memproduksi pemikiran yang genial, serta sebagai cara untuk menangkis kejumudan akademik.
Selanjutnya akademisi Muhammadiyah perlu memperkaya maroji’ atau memperkuat rujukan, penguatan rujukan menurut Haedar di lingkungan masyarakat akademik Muhammadiyah saat ini berbasis hanya pada lingkup perseorangan. Namun belum meluas pada lingkup organisasi, maka culture tersebut harus dimasifkan dan diluaskan menjadi culture PTMA.
“Bentuklah corner misalkan, yang memaksa para dosen untuk belanja pemikiran-pemikiran baru. Atau mengadakan bazzar buku. Percayalah disitu ada kenikmatan kalau kita suka ilmu,” seloroh Haedar.
Haedar berpesan kepada pemangku kebijakan yang mengurusi perguruan tinggi Muhammadiyah untuk menaikkan kelas PTMA. Kepada perguruan tinggi Muhammadiyah yang saat ini masih berada di kelas kecil, perlu dipacu lebih kuat lagi. Karena semua berawal dari yang kecil, dan semuanya sama tidak ada beda, yang membedakan adalah virus need for achivment atau gelora untuk maju.
“Selain itu, PTMA juga harus memiliki sikap entrepreneurship yang bagus. Dan itu membantu, menolong Muhammadiyah, umat dan bangsa. Karena jika swasta tidak punya daya enterprenur nanti akan tertinggal,” tutupnya. (a'n)
Tags:
Arsip Berita