Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Amil Amil Millenial: Rumit, Bukan Berarti Sulit

Homepage

Amil Amil Millenial: Rumit, Bukan Berarti Sulit

Senin, 02-03-2020
Dibaca: 113

Oleh: Irvan Shaifullah
 
Modernisme yang terjadi, telah mempengaruhi gerakan-gerakan Filantropi Islam untuk melakukan transformasi sesuai dengan perubahan masyarakat. Selain praktek Filantropi secara tradisional, bentuk-bentuk Filantropi baru mulai berkembang di masyarakat perkotaan. Dan itu dinisiasi dan digerakkan oleh anak anak millenial. Bentuk itu diantaranya adalah dengan adanya komite dan organisasi baru yang khusus bergerak dalam bidang Filantropi, adanya mekanisme transparansi dan akuntabilitas dalam bidang keuangan dan manajemen. Institusi Filantropi itu bisa kita lihat antara lain baitul maal, yayasan wakaf dan badan amil zakat.
 
Filantropi dan cita cita pemberdayaan LAZ
 
Kata Filantropi sendiri berasal dari kata philanthropy berasal daribahasa Yunani, yaitu phillen yang berarti mencintai (to love) dan anthropos yang berarti manusia (human kind), sehingga kata philanthropy dimaknai sebagai ungkapan cinta kasih kepada sesama manusia. Istilah ini dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kedermawanan, cinta kasih, kasih sayang dan kesetiakawanan. Konsep kedermawanan dibatasi sebagai perpindahan sumber daya secara suka rela untuk tujuan sedekah sosial dan kemasyarakatan terdiri atas dua bentuk utama yaitu pendayagunaan dan hibah sosial. Dalam wacana Islam, konsep Filantropi Islam adalah zakat, wakaf, infaq dan sodaqoh.
 
Di Muhammadiyah misalnya, Lazismuadalah lembaga zakat tingkat nasional yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendayagunaan secara produktif dana zakat, infaq, wakaf dan dana kedermawanan lainnya baik dari perseorangan, lembaga, perusahaan dan instansi lainnya. Secara nasional, didirikan oleh PP. Muhammadiyah pada tahun 2002, selanjutnya dikukuhkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional melalui SK No. 457/21 November 2002.
 
Dengan telah berlakunya Undang-undang Zakat nomor 23 tahun 2011, Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2014, dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 333 tahun 2015. LAZISMU sebagai lembaga amil zakat nasional telah dikukuhkan kembali melalui SK Menteri Agama Republik Indonesia nomor 730 tahun 2016.
 
Latar belakang berdirinya LAZISMU terdiri atas dua faktor. Pertama, fakta Indonesia yang berselimut dengan kemiskinan yang masih meluas, kebodohan dan indeks pembangunan manusia yang sangat rendah. Semuanya berakibat dan sekaligus disebabkan tatanan keadilan sosial yang lemah.  Kedua, zakat diyakini mampu memberikan sumbangsih dalam mendorong keadilan sosial, pembangunan manusia dan mampu mengentaskan kemiskinan. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi zakat, infaq dan wakaf yang terbilang cukup tinggi. Namun, potensi yang ada belum dapat dikelola dan didayagunakan secara maksimal sehingga tidak memberi dampak yang signifikan bagi penyelesaian persoalan yang ada. Tapi dengan sangat yakin, saya katakan bahwa tidak ada yang tidak mungkin, dengan izin Allah cita cita itu akan sampai juga. Apalagi Muhammadiyah sudah memiliki banyak sekali tools maupun stakeholder dalam mencapai tujuan itu. Dengan usianya yang sudah 108 tahun, dan juga peranan dalam dunia sosial, kesehatan, pendidikan yang tidak diragukan lagi. Cita cita pemberdayaan ZIS akan sangat mungkin dicapai dengan kerja sama serta bantuan dari berbagai pihak. Utamanya dikalangan internal sendiri. Hal kecil contohnya, bisa ditunjukkan dengan menyalurkan dan mempercayakan pembayaran ZIS seluruh warga Muhammadiyah ke Lazismu.
 
Rumit bukan berarti sulit
 
Perkembangan yang terbaru, zakat, infak dan sedekah diposisikan sebagai instrumen keuangan yang bersifat luas. Lembaga zakat, infak dan sedekah mau tidak mau harus bertransformasi menjadi lembaga keuangan syariah yang dikelola secara profesional. Pada masa lalu, lembaga amil harus membangun banyak outlet, agar bisa melayani banyak muzaki dan mustahik yang tersebar di seluruh Nusantara. Setiap outlet memerlukan tenaga amil yang memadai. Yang kuat mengalahkan yang lemah.
 
Namun di era revolusi industry 4.0, fenomena itu telah mengubah banyak hal. Kehadiran internet membuat dunia bergeser dan mengalami disrupsi. Istilah Revolusi Industri 4.0 muncul sejak 2011 dalam sebuah diskusi di Hannover Fair, Kota Jerman untuk menggambarkan realitas revolusi industri keempat yang dapat menciptakan perubahan luar biasa dan cepat dalam bidang teknologi global, yang saling terhubung serta saling menguntungkan sebagaimana dipaparkan Klaus Schwab, seorang pengamat ekonomi Jerman dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution (2016).
 
Revolusi industri telah mengubah hidup dan cara kerja manusia, sehingga kita perlu menyadari teknologi dan digitalisasi akan merevolusi segalanya. Sekarang, menunaikan dan menyalurkan zakat, infak atau sedekah secara fisik: dari tangan ke tangan, sudah jarang dilakukan, kecuali di masjid masjid dan lembaga pendidikan.  Transaksi dari rekening ke rekening atau dari akun ke akun melalui platform digital sudah banyak berkembang memudahkan orang untuk saling tolong menolong, terkhusus dalam bidang filantropi. Salah satu platform filantropi kenamaan, bahkan pendapatan setahun sudah menyamai pendapat LAZ yang sudah bergerak hampir kurang lebih 20 tahun. Euforia filantropi yang sangat menggembirakan tentunya.
 
Hari ini kita dapat menyaksikan dan menjadi bukti bersama. Bahwa penghimpunan melalui platform crowdfunding sudah mengalahkan cara penghimpunan donasi konvensional. Satu aplikasi mengalahkan jaringan outlet pelayanan yang begitu banyak. Memang begitulah yang terjadi, realitasnya teknologi digital mengubah semua sendi kehidupan manusia. Tidak terkecuali juga untuk zakat, infak dan sedekah.
 
Ada dua pendekatan sebenarnya dalam mengadaptasi perubahan yakni problem solving approach yang menekankan bahwa perubahan hanya dilakukan apabila ada masalahyang mengancam kelangsungan hidup atau menghambat aktualisasi diri. Dan yang kedua dengan pendekatan developmental approach yang menekankan bahwa setiap individu atau lembaga perlu berkembang terus menerus walaupun tidak ada ancaman. Setiap lembaga perlu mengantisipasi setiap perkembangan dengan melakukan perubahan-perubahan, sehingga mengurangi kemungkinan timbulnya masalah, atau memperkecil dampak masalah yang mungkin timbul. Kita bisa memulainya dengan pendekatan kedua, dengan terus mengembangkan cara cara baru untuk fundraising dan pemberdayaan program yang belum disentuh sama sekali oleh pemerintah.
 
Saat seekor anak elang dilatih untuk terbang, ia di biarkan saja oleh induknya dengan cara menjatuhkannya dari ketinggian dan membiarkan mereka tidak makan secara sengaja. Bagi kita manusia, perlakuan itu adalah tindakan paling tega yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya yang belum bisa apa apa. Tapi kita mengenal dan tidak ragu bagaimana jiwa seekor elang dan kemampuan adaptasinya untuk terus survive dan bertahan di alam. Puncak rantai makanan dalam ekosistem. Kuat, berani, dan tidak pernah putus asa apalagi sampai menyerah.
 
Sebagai seorang Amil yang memiliki tugas (tidak hanya) sebagai 'pemungut zakat' tapi juga pendistribusian dan pendayagunaan, kita dituntut untuk terus mencoba mencoba dan mencoba, survive, adaptasi terhadap keadaan dan pantang menyerah. Sebab untuk mencapai pada titik tertentu, seseorang memang harus banyak ditempa oleh keadaan, harus banyak dibenturkan oleh masalah, bahkan kegagalan sekalipun. Meminjam istilah puthut EA saat ditanya tentang dunia tulis menulis yang disebut rumit bukan berarti sulit. Maka sebagai seorang Amil, saya juga berpendapat bahwa kalau ada yang mengatakan tugas Amil dan lembaga zakat kedepan akan semakin mudah, maka itu omong kosong. Tapi omong kosong juga kalau ada yang bilang menjadi Amil dan bekerja di LAZ itu sulit. Menjadi Amil itu  hanya rumit, rumit itu bukan sulit.
 
Penulis: Irvan Shaifullah (Manajer Lazismu Lamongan)
 

Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website