Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Antara Akidah dan Politik dalam Amar Makruf Nahi Munkar

Homepage

Antara Akidah dan Politik dalam Amar Makruf Nahi Munkar

Rabu, 08-04-2020
Dibaca: 1500

Sepanjang hayat dan perjuangannya di Makkah dan Madinah, Nabi melakukan dakwah amar makruf nahi munkar. Sebuah hadits populer mengabarkan bahwa amar makruf nahi munkar ibarat kewajiban menyelamatkan kapal besar di tengah terjangan ombak. Supaya bahtera selamat dan tidak menjadi binasa, maka para penumpang di geladak tidak boleh membiarkan perusak kapal.
 
Amar makruf nahi munkar memang perintah Allah. Term amar makruf nahi munkar diulang sembilan kali pada lima surat dengan ragam konteks dan derivasinya, yaitu dalam Qs. Ali Imran: 110 dan 114, Al-A’raf: 157, At-Taubah: 67, 71, dan 112, Al- Hajj: 103, serta Luqman: 17. Ajaran ini juga terdapat dalam Taurat dan Injil sebagaimana diungkap Qs. Al-A’raf: 157, yang menyatakan bahwa di antara ciri kerasulan Nabi akhir zaman adalah mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari munkar.
 
Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab menyatakan bahwa makruf adalah semua kebaikan yang dikenal oleh jiwa dan membuat hati manusia menjadi tentram. Sebaliknya, mungkar adalah segala keburukan yang dikenal oleh jiwa dan membuat hati tidak nyaman. Menurut Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an, makruf adalah semua perintah Allah yang mengarah kepada kebenaran sesuai anjuran syariat, dan munkar adalah semua larangan Allah yang membawa pada jalan yang bertentangan dengan syariat.
 
Tujuan syariat adalah untuk membangun kehidupan manusia yang berlandaskan ‘makruf’ atau kebaikan-kebaikan yang sesuai kebutuhan watak manusia, dan sebaliknya juga membersihkan ‘munkar’ yang tidak sesuai kecenderungan nurani.
 
Guru besar Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Chirzin menyatakan bahwa amar makruf bermakna mengajak kepada kebaikan dan membuka jalan menuju kepadanya, sehingga kebaikan itu menjadi kuat dan bermanfaat. Pendekatan amar makruf nahi munkar: (1) mengajak manusia meniti jalan kebenaran dengan dakwah sesuai kondisi manusia, (2) mengajak kaum cendekiawan untuk berdialog dengan bijak, (3) mengajak masyarakat awam dengan memberi nasihat yang baik, (4) mengajak pemeluk agama lain berdebat dengan logika dan retorika yang tepat (Qs. 3: 125).
 
Karena amar makruf nahi munkar merupakan bagian dari dakwah, maka pelaksanaannya harus berpulang pada prinsip dakwah dalam surat An-Nahl ayat 125: bil-hikmah, walmauidhatul hasanah, wa-jadilhum billati hiya ahsan. Melakukan amar makruf nahi munkar harus dengan cara yang makruf, bijaksana, lemah lembut, cerdas atau rasional, dan edukatif. Makna dakwah itu sangat demokratis, yakni menyeru, mengajak, dan menjamu. Diperlukan juga qaulan sadida atau ujaran tegas, tetapi tidak sembarangan menghakimi, harus melihat objeknya.
 
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menceritakan, suatu ketika Umar bin Khattab memanjat dinding rumah seseorang untuk melihat terjadinya kemungkaran. Pemilik rumah melakukan protes, “Wahai Umar, jika aku bermaksiat kepada Allah dari satu sisi, maka ketahuilah bahwa engkau telah bermaksiat kepada-Nya dari tiga sisi. (1) Allah memerintahkan untuk tidak berbuat tajassus atau memata-matai (Qs. Al-Hujurat: 12); (2) Allah memerintahkan untuk memasuki rumah melalui pintu (Qs. Al-Baqarah: 189); dan (3) Allah memerintahkan untuk mengucapkan salam saat hendak memasuki rumah orang lain (Qs. An-Nur: 27).” Umar pun menyesal dan meminta maaf.
 
Melakukan amar makruf nahi munkar dengan cara mungkar justru menjadikan tujuan dakwah tidak tercapai. Mencegah kemungkaran tidak boleh menimbulkan kemungkaran baru. Langkah untuk mencegah kemungkaran harus dilakukan dengan elegan. Ada porsi tugas individu dan porsi pemerintah atau negara. Amar makruf nahi munkar perlu dilakukan dengan adil dan proporsional. Tidak boleh pilih kasih dan menggunakan standar ganda, baik terhadap orang yang didukung atau sepaham, maupun terhadap lawan atau orang yang dibenci.
 
Dalam arti lain, jangan ada politisasi dalam beramar-makruf dan ber-nahi munkar. Apalagi di dunia politik praktis, yang setiap pihak memiliki kepentingan. Jangan sampai satu pihak dianggap harus dinahi-munkar, sementara pihak lain dianggap bebas dari nahi-munkar. Padahal politik itu sering wilayah abu-abu. Jangan karena senang, kemudian dianggap sesuai dengan ajaran Islam atau perjuangan umat Islam, sementara yang lain dianggap tidak sesuai dan harus dinahimunkari. Sikap jujur dan adil mutlak diperlukan dalam amar makruf nahi munkar.
 
Abu al-Lais al-Samarkandi dalam Tanbih Al-Ghafilin menjelaskan bahwa untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, didahului oleh lima syarat. Pertama, memiliki ilmu terhadap perkara tersebut. Kedua, dilandasi niat yang tulus mencari ridha Allah. Ketiga, memiliki jiwa kasih sayang, santun, dan tidak arogan. Keempat, sabar dalam menyampaikan kebenaran. Kelima, mampu memberi contoh teladan yang baik, sehingga bisa menjadi panutan.
 
Amar makruf nahi munkar dilakukan terhadap hal yang telah disepakati. Kewajiban dan larangan yang masih diperselisihkan bukanlah termasuk objek amar makruf nahi munkar. “Makruf itu sesuatu yang bisa diterima sebagai kebenaran, walaupun itu tidak mutlak. Penafsiran kita terhadap agama itu tidak tunggal, dan itu diizinkan. Aliran kalam, fikih, mazhab itu beragam. Bisa jadi ada kelompok yang menganggap itu makruf atau mungkar, kita tidak bisa menyatakan sebaliknya. Kita tidak setuju dan punya pikiran sendiri itu boleh, tetapi tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengikuti ukuran kita. Memaksakan ukuran tunggal itu menjadikan kita menjadi Khawarij, itulah yang mengkotakkan kita,” tutur Al Yasa Abubakar, guru besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Ukuran kebenaran itu adalah Al-Qur’an yang sifatnya qat’iy, tetapi tafsir terhadap Al-Qur’an bersifat relatif.
 
Qs An-Nisa :59 menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” Taat kepada Allah itu representasinya Al-Qur’an, Rasul itu representasinya Sunnah. Ulil Amri sering dipersonifikasikan sebagai orang: penguasa, khalifah, raja. “Dalam konteks sekarang, ulil amri bisa kita maknai sebagai sistem yang kita sepakati bersama. Bughat itu bukan melawan personal penguasa, tetapi melawan dan menyalahi sistem bersama, karena bisa jadi penguasa pun melawan sistem yang telah disepakati. Siapa yang bisa menilai menyalahi sistem atau bukan? Pengadilan,” ujar Al Yasa.
 
Menurut Al Yasa, ulil amri berwujud sistem yang kita sepakati, yaitu UUD 1945. “Jika salah, perbaiki. Jika kita tidak setuju, kita ubah dengan cara-cara yang sah. Dulu kita pakai UUD 1945, lalu berubah UUD RIS, lalu UUD 1945 Dekrit, lalu UUD 1945 reformasi atau amandemen. Jika sudah disepakati, itulah sistem kita,” ungkapnya. Amar makruf nahi munkar yang dilakukan Muhammadiyah berada dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, hasil konsensus segenap elemen bangsa.
 
NKRI memiliki sistem aturan bersama, maka amar makruf nahi munkar dilakukan dengan kesadaran kita sebagai bagian dari negara yang memiliki seperangkat aturan bersama.
 
“Karena kita berada dalam sistem, maka amar makruf nahi mungkar harus dilakukan dalam kerangka sistem. Jika saya melihat ada orang yang melawan arus di jalan, sebagai ilmuwan, maka saya akan tulis itu. Saya tidak bisa berdiri di tengah jalan memantau dan menyuruh mobil yang melawan arus untuk balik. Saya bisa menelepon polisi, saya bisa juga menyampaikan ini melalui ceramah,” kata tokoh Muhammadiyah Aceh ini. Amar makruf nahi mungkar dilakukan sesuai peran dan posisi.
 
Demikian halnya amar makruf Muhammadiyah terhadap negara, sesuai dengan posisi dan porsinya. Karenanya, ketika Muhammadiyah mengajak dan mendorong publik menyelesaikan masalah melalui jalur hukum atau sistem, maka merupakan wujud amar makruf nahi munkar. Justru menjadi salah atau keliru manakala melakukan gerakan non-konstitusional atau di luar jalan hukum. Nanti yang berlaku rebutan kepentingan dan jalan masingmasing ala hukum rimba, kemudian terjadi konflik dan anarki yang bertentangan dengan sistem bernegara dan menimbulkan fasad fil-ardl.
 
Tentang pentingnya memahami konteks, Prof Al Yasa mencontohkan perselisihan antara Ali dan Muawiyah. “Itu situasi politik, bukan situasi teologis. Membawa masalah teologis ke urusan politik (maupun sebaliknya) itu tidak pas. Dalam konteks Indonesia pun harus dibedakan, antara amar makruf politik dan amar makruf teologis.” Kalau amar makruf politik, maka menggunakan ukuran standar konstitusi Indonesia. Sementara jika amar makruf wilayah akidah, barulah menggunakan ukuran Al-Qur’an dan Hadits, yang dalam Muhammadiyah harus dipahami dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani, agar cara pandangnya menyeluruh dan tidak bias. (ribas)
 
Sumber: Majalah SM No 13 Tahun 2019
 

Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website