Menjaga Kesakinahan Keluarga di Masa Covid-19
Dibaca: 104
MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Pandemi Covid-19 selain menyebkan permasalahan ekonomi dan sosial tetapi permasalahan keluarga seperti dimungkinkanya adanya kekerasan dalam rumah tangga atau yang lebih akrab KDRT bahkan bisa berujung perceraian rumah tangga.
Hal itulah yang menjadi konsen Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah melalui penyampian Diskusi Online bertemakan “Menjaga Kesakinahan Keluarga Masa Covid-19”, pada Kamis (16/4).
Elli Nur Hayati, Dekan Fakultas Psikologi UAD yang menjadi pemateri membenarkan pandemi Covid-19 bisa menyebabkan KDRT hingga terjadinya perceraian. Kejadian ini telah terjadi dibanyak negara yang mengalami pandemi Covid-19 dari pemberitaan internasional.
Terutama pemberitaan yang pertama kali datang dari daerah asal wabah ini yaitu Wuhan, China. Ternyata terungkap setelah Pandemi Covid-19 mereda, banyak pelaporan menyeruak mengenai pengaduan untuk cerai dalam rumah tangga.
“Ternyata berita ini diikuti secara konsisten diikuti oleh negara-negara lain yang terkena dampak pandemi,” kata Elli.
Kenapa KDRT bisa terjadi? Elli yang juga Anggota Layanan Dukungan Psikologis (LDP) MCCC PP Muhammadiyah mejelaskan, adanya situasi Pandemi Covid-19 hingga diberlakukannya Lockdown dengan beralihnya pekerjaan dari kantor menjadi di rumah menjadi faktor awal penyebab KDRT.
Beralihnya pekerjaan dari kantor ke rumah ini mengakibatkan perubahan relasi intim (dekat) maupun relasi di masyarakat mengakibatkan stresshold yaitu perubahan terteror, misalnya dengan berbagai pemberitaan yang ada.
Belum lagi masalah pendapatan yang berkurang atau lebih-lebih suami kehilangan pekerjaan misalnya menjadi keretakan awal rumah tangga. Selain itu adalah faktor situasi di rumah berubah karena kondisi keluarga bertemu menjadi satu di rumah dalam waktu yang lama, dimana biasanya hanya 8-10 jam.
“Nah ini tiba-tiba 24 jam bertemu di rumah. Jadi kombinanasi antara masa transisi penyesuaian diri dari situasi itulah yang menjebabkan stressfull dalam rumah tangga,” jelas Elli.
Lebih spesifik Elli menjelaskan situasi itu bisa meningkatkan risiko bagi perempuan sehingga mengalami kekerasan.
Pertama adalah faktor risiko, dalam situasi Pandemi Covid-19 faktor risiko perempuan mengalami kekerasan telah bertambah. Jadi kalau situasai biasa faktor risikonya adalah perempuan mengalami KDRT karena faktor sosial budanyanya yang memang patriarki sehngga kekerasan dari pasangan terhadap istri ditolerir.
Faktor risiko kedua adalah pasangan memiliki riwayat kekerasan. Hal ini memungkinkan laki-laki melakukan kekerasan itu kepada pasanganya. Faktor risiko ketiga adalah alkohol karena alkohol bisa meningkatkan perilaku agresif pada laki-laki.
Keempat faktor risikonya adalah cara dia sendiri yang maskulin artinya apa biasa berantem, biasa mengekspresikan kekerasan berantem diluar sana ketika dirumah pun membawa tradisi kekerasan.
“Dalam situasi wabah Covid-19 ini faktor risikonya bertambah dengan stress adaptasi yang baru dan stress kehilangan pekerjaan. Nah bagi laki-laki kan kehilangan pekerjaan itu big deal (hal yang besra),” ulas Elli dalam materinya.
Menjaga Kesakinahan Keluarga
Bagaimana agar KDRT itu tidak terjadi. Sesuai prinsip agama Islam membangun dan menciptakan keluarga sakinah, yaitu dengan bersama pasangan di dalam keluarga. Kemitraan itu menyangkut mengenai bagaimana berkomunikasi, negosiasi, saling member dukungan, saling menghormati dan punya tanggung jawab bersama.
Hal-hal semacam itu sifatnya adalah setara tetapi begitu di dalam satu relasi (keluarga) ada pola relasi dimana salah satu menggunakan kontrol. Misalnya, pembatasan jam keluar berlebihan, kontrol ekonomi yang represif, tidak menghargai dan menggunakan kata-kata yang tidak menyenangkan. Bisa memicu terjadinya ketidaksetaraan dalam keluarga.
“Solusi masalah KDRT adalah bahwa keluarga harus berprinsip pada kesetaraan dalam relasi pasutri (pasangan suami- istri), saya kira setara itu lebih hermonis, lebih menyenangkan mengurus rumah jauh lebih fun (menyenangkan) dalam berkeluarga,” katanya.
Selain berprinspip kesetaraan. Perlunya pendampingan keduanya saat terjadinya KDRT, misalnya dalam satu kasus KDRT baik pelaku ataupun korban harus sama-sama mendapatkan pendampingan. Hal tersebut kata Elli yang tidak diterapkan di Indonesia. Padahal UU KDRT kita yang di tetapkan 2004 itu ada salah satu pasal yang menyebutkan bahwa ‘Laki-laki perilaku kekerasan bila dianggap perlu boleh dirujukkan di lembaga konseling’.
“Nah, mestinya wajib dilakukan, laki-laki yang melakukan kekerasan mestinya wajib didampingi untuk mendapatkan konseling perubahan perilakunya. Karena sebenarnya pelaku kekerasan itu memerlukan konseling juga, membantu mengelola kemarahan, lalu membantu mereka bisa berkomunikasi secara efektif. Sehingga tidak menggunakan komunikasi dengan memakai kekerasan,” kata Elli menjelaskan.
Selanjutnya kata Elli, perlunya untuk sering konsultasi kesejahteraan keluarga kepada lembaga atau layanan konsultasi. Hal ini efektif ketika ada permasalahan rumah tangga segera dapat dikonsultasikan.
“Nah, dimasa wabah Covid-19 jika tidak dimungkinkan bertemu bisa konsultasi seputar rumah tangga lewat telepon dan online. Cara ini juga bisa dilakukan apabila mengalami kekerasan sehingga bisa segera dikonsultasikan dan diselesaikan,” pesan Elli mengakhiri diskusinya. (Andi)
Tags:
Arsip Berita