Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Siti Hajinah: Perempuan Pendobrak dari Muhammadiyah

Homepage

Siti Hajinah: Perempuan Pendobrak dari Muhammadiyah

Rabu, 22-04-2020
Dibaca: 92

Oleh: Afandi Satya Kurniawan

Dampak dari politik etis, awal abad 20 dipenuhi dengan berbagai usaha gerakan pembebasan oleh kaum terdidik, baik dalam bentuk kesadaran politik maupun sosial. Lahir pada masa tersebut, Muhammadiyah tidak muncul hanya sebagai sebuah gerakan dakwah di sebalik mimbar, tetapi jauh melampaui jaman dan peran yang mesti pada masanya. Menjaga jarak dari politik, Muhammadiyah menjadikan inti ajaran Islam sebagai basis perlawanan terhadap kemiskinan, eksploitasi manusia, takhayul dalam kesehatan, hingga perlawanan terhadap bias dogma patriarki yang menghalangi para perempuan untuk maju.

Melalui organisasi sayap ‘Aisyiyah, Siti Hajinah adalah satu di antara sekian nama yang memimpin Muhammadiyah melawan kepercayaan mapan di masyarakat bahwa surga ditentukan oleh para lelaki dan peran perempuan hanya boleh sebatas di sumur, dapur dan kasur.

Lahir di Kauman Yogyakarta pada 1906, Siti Hajinah tumbuh dalam kurun waktu geliat pergerakan perempuan di seantero negeri. G.A Ohorella, dkk dalam Peranan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan Nasional (1992) menyebut konsentrasi pergerakan wanita antara awal abad 19 hingga tahun 1927 baru sebatas perjuangan emansipasi sosial, sementara fokus politik bermula dari tahun setelahnya.

Pada masa tersebut, tercatat sejumlah usaha pergerakan perempuan antara lain sekolah rintisan R.A Kartini tahun 1903 di Jepara, Keutamaan Istri di Bandung tahun 1904, surat kabar Putri Hindia oleh R.A Tjokroadikusumo pada 1909, surat kabar Sunting Melayu oleh Rohana Kudus di Padang pada 1912 dan yang serupa di Jawa Timur, Jakarta, hingga Medan yang semuanya menyuarakan berbagai hal dari sudut pandang perempuan.

Sebagai putri seorang pengusaha batik terkenal H. Muhammad Narju, pendidikan Siti Hajinah terjamin dengan baik. Setelah belajar di Hollandsche Indlandsche School (HIS) Yogya, ia meneruskannya di Fur Huischouds School (Sekolah Kepandaian Putri). Berkat kecerdasannya itu pula, Hajinah diminta mengajar di beberapa sekolah seperti MULO Negeri Ngupasan, Neutrale MULO di Gondolayu dan MULO Negeri di Magelang.

Keberanian Muhammad Narju untuk menyekolahkan Hajinah di sekolah modern kendati dikecam oleh masyarakat setempat sebagai hal yang ‘tidak Islami’ tidak lain karena dorongan Khatib Amin Masjid Gedhe Kauman, Kiai Ahmad Dahlan agar anak-anak gadis disekolahkan di sekolah Belanda.

Menurut Junus Anies dalam Nyai A. Dahlan Ibu Muhammadiyah dan Aisiyah Pelopor Pergerakan Indonesia (1968), sementara mempelajari ilmu modern di sekolah Belanda, para gadis tersebut tetap dibina dan dididik dengan materi pelajaran agama Islam melalui perkumpulan pengajian perempuan Sapa Tresna, yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal organisasi ’Aisyiyah.

Berjuang Bersama ‘Aisyiyah

Jika Sukaptinah memilih jalur perjuangan perempuan melalui garis politik, maka Siti Hajinah menggarap perempuan dari sisi paling mendasar, yaitu ketahanan sosial. Yunan Yusuf dalam Ensiklopedi Muhammadiyah (2005) menyebut berdirinya ‘Aisyiyah pada 19 Mei 1917 di Yogyakarta, mendorong kaum perempuan untuk bergerak dalam berbagai bidang. Dari mengajar pengetahuan rumah tangga (parenting) hingga kepandaian keputrian yang diasaskan dari ajaran Islam.

Bersama generasi pertama ‘Aisyiyah seperti Siti Bariyah, Siti Munjiah, dan Siti Walidah, Siti Hajinah merupakan salah satu tokoh yang diandalkan ‘Aisyiyah karena kecerdasannya.

Lasa HS dalam Naskah Ensiklopedi Muhammadiyah (2002) mencatat pada 1930 Siti Hajinah dikirim berkeliling Indonesia agar membawa misi ‘Aisyiyah, di Sumatera, Kalimantan, Makassar, Gorontalo, Manado, pedalaman Senkang, Sulawesi hingga Manado, Ambon karena kemampuan retorika, pembacaan budaya setempat hingga kemampuan berbahasa Belandanya yang cukup baik.

Pendidikan perempuan adalah hal utama yang disasar oleh Hajinah. Karena itu pada masanya menjabat sebagai pimpinan ‘Aisyiyah sejak 1927, Hajinah menyasar berbagai program strategis pembangunan Sumber Daya Manusia.

Mu’arif dan Hajar dalam Srikandi-Srikandi ‘Aisyiyah (2004) menguraikan gerak yang dituju Hajinah mulai dari pendirian surat kabar Suara ‘Aisyiyah yang tetap bertahan hingga hari ini, pendirian percetakan, pendirian perpustakaan (bibliotheek) bagi perempuan, penyediaan buku-buku bagi perempuan, Leesgezelschap (forum retorika), pengembangan TK Busthanul Athfal, pendirian dan pemeliharaan wakaf, mendorong pemberdayaan masjid dan mushola sebagai tempat ibadah sekaligus tempat kegiatan pendidikan perempuan hingga gerakan pemberantasan buta huruf yang dijadikan sebagai program nasional ‘Aisyiyah.

Terus Berjuang untuk Perempuan Indonesia

Siti Hajinah meyakini bahwa perempuan sesuai kodratnya tetap mampu berjalan dan mengambil peran seiring dengan para lelaki untuk berkiprah dalam banyak hal di luar sana. Tak cukup berjuang membimbing para perempuan ‘Aisyiyah pada kesadaran berorganisasi, Siti Hajinah juga bergabung sebagai pimpinan dalam organisasi perempuan lintas ormas Islam yaitu Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI).

Sebagai respon diadakannya Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 di Jakarta, dirancanglah Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada 22 Desember 1928. Chusnul Hajati dalam Aktivitas ‘Aisyiyah dalam Meningkatkan Peranan Sosial Wanita di Indonesia (1985) menyebut keikutsertaan ‘Aisyiyah baik sebagai salah satu inisiator dan peserta adalah wujud dari sikap aktif memperjuangkan cita-cita pergerakan perempuan Indonesia.

Dari 12 rangkaian pidato Kongres Perempuan Indonesia Pertama yang diikuti oleh sekira 1.000 orang perwakilan dari seluruh Indonesia, ‘Aisyiyah dari 12 seri pidato mendapatkan dua kesempatan yang digunakan oleh Siti Munjiah dengan pidato berjudul “Derajat Perempuan” dan pidato “Persatuan Manusia” oleh Siti Hajinah. Kelak, hasil dari perumusan Kongres ini adalah organisasi perkumpulan perempuan yang sekaran kita kenal sebagai KOWANI.

Selain mengusulkan agar ‘Aisyiyah mendirikan biro penerangan perkawinan di setiap cabang dan ranting pada 1954 sebagai program ketahan keluarga, di bawah lingkungan Direktoran Urusan Agama Departemen Agama Siti Hajinah tercatat mengawalinya melalui Badan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang terbentuk atas perhatian ‘Aisyiyah pada masyarakat terhadap kebahagiaan keluarga dengan mendirikan biro konsultasi pada 1939.

Menginjak usia 80 tahun, Siti Hajinah wafat pada Ahad 27 April 1991 di RSU PKU Muhammadiyah dan kemudian dimakamkan di Pakuncen, Wirobrajan, Yogyakarta.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website