Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Jebakan Budaya Menyebabkan Ibadah di Bulan Ramadan Menjadi “Biasa” Aja

Homepage

Jebakan Budaya Menyebabkan Ibadah di Bulan Ramadan Menjadi “Biasa” Aja

Senin, 27-04-2020
Dibaca: 107

Oleh: A’an Ardianto

Ramadan tahun 1441 H jatuh bertepatan pada tanggal 24 April 2020, artinya 1 Ramadan tepat 42 hari setelah virus corona ditetapkan statusnya sebagai pandemi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada12 Maret 2020.  Sehingga umat muslim seluruh dunia melaksanakan segala bentuk ibadah Ramadan dibawah bayang-bayang virus yang masuk dalam keluarga SARS ini.

Menyikapi persebaran virus corona, banyak institusi dan otoritas agama ramai-ramai mengeluarkan fatwa atau hanya sebatas imbauan kepada jama’ahnya dalam berkegiatan ibadah, baik ibadah khusus maupun umum. Fatwa dan imbauan yang dikeluarkan merujuk kepada protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh institusi kesehatan di negara masing-masing. Fatwa dan imbaun yang dibuat semata-mata bertujuan untuk menjaga nyawa setiap umat manusia, serta menghindari perbuatan tercela yang menyebabkan ancaman bagi kesehatan.

Meskipun demikian, fatwa dan imbauan yang dikeluarkan oleh institusi dan otoritas agama tetap menimbulkan pro dan kontra, ini sudah jama’ terjadi di Indonesia dan belahan bumi lainnya.

Misalnya Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih juga telah mengeluarkan Panduan Ramadhan di Tengah Wabah Covid 19 yang mempunyai 4 targetan. Yakni kepada pribadi, keluarga, takmir masjid/DKM, dan persyarikatan. Dintara poin-poin panduan yang lain, anjuran untuk pelaksanaan salat tarawih #dirumahaja menjadi poin yang banyak ditentang oleh masyarakat.

Mereka beralasan bahwa, Ramadan akan kehilangan rasanya jika pada malam harinya tidak ada salat tarawih berjama’ah masjid, “nyenyet” orang Jawa bilang. Masjid akan sepi, tidak ada anak kecil yang perang sarung, serta masjid akan kehilangan mamang siomay yang biasanya numpang di emperan masjid untuk menunggu salat Isya sekaligus tarawih.

Serta pada Ramadan tahun ini juga diimbau kepada umat Islam yang melaksanakan puasa untuk tidak melakukan Buka Bersama (bukber), baik di rumah makan, dan masjid. Barang tentu imbauan yang kedua ini menjadikan anak-anak muda yang biasa melakukan rutinitas bukber setiap bulan Ramadan akan kelonjotan. Dan anak-anak kosan yang biasanya mengandalkan menu buka di masjid-masjid incaran juga bakal gigit jari, namun ada beberapa takmir masjid yang membagikan takjil/iftor dor to dor.

PasarRamadan yang biasa digelar oleh Pimpinan Cabang maupun Ranting Muhammadiyah juga ditiadakan. Padahal bagi para ibu-ibu penjual, pasar Ramadan tersebut berpotensi sebagai penghasilan tambahan bekal beli baju, kue-kue kering maupun basah dan amplop yang mereka sediakan untuk anak-anak kecil yang silaturahim ke rumah-rumah untuk menyemarakkan hari raya. Namun ibu-ibu tidak perlu khawatir, karena acara silaturahim atau kunjungan hari raya juga diimbau untuk ditiadakan, sehingga anggaran yang sudah di post kan untuk hari raya menjadi lebih hemat.

Hilangnya kegiatan budaya agama di sepanjang bulan Ramadan oleh sebagian muslim dianggap akan menghilangkan cita rasa bulan Ramadan. Termasuk budaya agama mudik di Indonesia. Menurut mayoritas umat muslim di Indonesia, Ramadan tahun ini menjadi kenangan pahit selama hidupnya menjadi umat muslim yang menjalankan ibadah di bulan Ramadan.

Padahal kalau melihat saudara muslim di Palestina, di sana sudah berapa tahun Ramadan dan Hari Raya Idul Fitrinya tidak ada gegap gempita seperti di Indonesia. Di sana tidak perlu kembang api atau petasan yang mewarnai langit mereka malam dan siang hari. Malam-malam mereka sudah cukup bising oleh dentuman bom, langit malam mereka sudah cukup berwarna dari luncuran roket penjajah. Pun dengan sahur mereka, tidak dibangunkan oleh drum-durm yang ditabuh keliling kampung, karena sahur mereka dibangunkan dengan misil yang diluncurkan.

Jangan berfikir mereka di sana berbuka dengan kolak, kurma, risoles, bakwan, dan teman-temannya atau menu takjil lainnya. Di sana mereka terkadang hanya berbuka dengan sepotong roti gandum yang rasanya tawar dan segelas air lalu berpuasa lagi sampai hari berikutnya. Karena sering mereka melewati sahur, bukan lewat karena ketiduran, melainkan tidak ada makanan yang bisa mereka santap untuk menu sahur. Maka bersykurlah umat muslim di Indonesia.

Padahal dari tahun-ketahun sejak perintah puasa bagi umat muslim diturunkan, tujuannya tetap sama, yakni untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, lihat Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 183. Secara substantif, tujuan taqwa tersebut harusnya mampu diinternalisasi kepada perilaku sehari-hari umat muslim. Sehingga dalam setiap perilaku yang dijalankan ada kontrol iman untuk mengendalikan nafsu.

Mengingat ketaqwaan bukan hanya simbolitas berupa baju, berjama’ah sholat tarawih di masjid di tengah wabah, supaya dianggap sebagai hamba yang paling tawakal atau hanya ingin merasakan nuansa Ramadan, atau yang paling tercela hanya ingin merasa dirinya paling bertaqwa. Ingat taqwa itu bukan keakuan, itu riya’ namanya. Ketaqwaan juga bukan untuk diwujudkan dalam kumpul-kumpul acara buka bersama di tengah wabah. Begitupun ketaqwaan bukan hanya bisa diwujudkan saling silaturahmi ke tetangga di kala suka dan di tengah wabah.

Sehingga jangan sampai ketaqwaan yang ingin diraih oleh umat muslim melalui ibadah puasa terjebak dalam nafsu yang terinstitusi ke dalam simbol dan lokalitas budaya, hal ini tentu sangat merugikan bagi muslim yang telah melaksanakan perintah puasa selama sebulan penuh. Dan jangan sampai puasa yang dijalankan hanya menghasilkan lapar dan dahaga saja, tanpa merubah kualitas umat muslim menjadi lebih baik.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website