Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Pengalaman Menulis Haedar Nashir (Bagian 1)

Homepage

Pengalaman Menulis Haedar Nashir (Bagian 1)

Senin, 27-04-2020
Dibaca: 127

Oleh: Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir

Saya sering ditanya. Bagaimana masih menulis di tengah kesibukan mengurus Muhammadiyah? Biasa saja sebenarnya. Mengurus Muhammadiyah kan bareng-bareng. Berat, tapi menggembirakan. Malah para pimpinan di Ranting dan jama'ah akar-rumput lebih berat mengurus Muhammadiyah. Ibu-ibu Aisyiyah juga luar biasa geraknya sampai ke bawah. Giat sekali.

Baik. Menulis itu soal kebiasaan. Dari biasa menjadi bisa, terus terbiasa. Malah bisa kecanduan. Apalagi bila sudah menyatu dengan diri sendiri, jadi panggilan hati. Kata orang Jerman, "beruf" atau "der beruf". Artinya profesi atau perbuatan yang dijiwai dengan hati dan rasa senang.  Tentu, ada sedikit talenta. Tapi kalau dibiasakan, ya akhirnya bisa.

Harap dimaklumi, kata "bisa" di sini artinya dapat atau mampu. Bukan bisa bermakna "racun". Wah, nanti menulis kata yang salah bisa kena sasaran "amar ma'ruf nahi munkar". Menulis dan menyatukan kalimat "amar ma'ruf nahi munkar" seperti itu pun bisa salah lagi. Tidak sesuai tata bahasa Arab dan Indonesia. Maklum, orang Muhammadiyah kan super serius dan lebih kuat  bayani-nya. Satu kata pun bisa jadi masalah. Malah tidak jadi menulis!

Kembali ke laptop. Sulitkah menulis? Ya, sulit.  Tidak ada pekerjaan yang mudah. Ngobrol yang kelihatan gampang, bagi sebagian orang terasa susah. Yang mudah itu yang suka menggampangkan urusan. Atau seperti sebagian wakil rakyat yang mudah  tidur atau bolos sidang. Mungkin itu mudah, dibayar lagi. Ohya,  tidak baik bicarakan orang, apalagi di bulan Ramadhan. Maksud saya, yang ngantukkan dan suka bolos  itu wakil rakyat di galaksi yang jauh di sana.

Menulis itu awalnya sulit. Kata temannya Ucil, "gagal maning, gagal maning". Penuh perjuangan. Namun karena sudah terbiasa menulis, sekarang jadi tidak terlalu berat. Sekarang, kalau tidak menulis terasa ada yang hilang. Kadang di rumah suka disentil, karena terlalu asyik, seolah lupa sekitar. Pas lagi berpikir fokus suatu ide atau topik, ditanya tidak menjawab. Tapi dimaklumi. Ya menulis,  dinikmati saja, seperti rekreasi.

Tapi untuk menjadi terbiasa menulis dan hasil tulisannya kuat,  tentu proses pergumulannya sangat panjang. Sekarang pun masih harus tetap belajar. Apalagi saat ini banyak penulis produktif yang menulis dengan sangat menarik. Lebih-lebih para penulis muda. Kalau merasa diri bisa, tidak akan maju. Bisa mandeg.

Saya mulai menulis sejak mahasiswa. Awal merantau di Yogya. Waktu di Bandung, masih di SMA, menulis kalau untuk tugas. Meski di SMA jurusan IPA, senang coret-coret soal sosial. Ketika di Yogya itulah kebiasaan menulis itu tumbuh. Karena merantau mungkin, waktunya kan luang dan ada tantangan. Masih ingat pertama tiba di Kota Gudeg, saat itu  hari Selasa 9 September 1979. Tentu di antara anda yang muda atau generasi milenial banyak yang belum lahir. Bayangkan saja.

Waktu itu awal kuliah, saya mulai belajar menulis untuk media massa. Ternyata tidak mudah, tapi terus dicoba. Sering dengan tulisan tangan dulu. Maklum belum punya mesin ketik. Setelah dipandang jadi, mengetik tulisan di sekretariat organisasi, di kantor PW Ikatan Pelajar Mauhammadiyah Jl Kauman Yogyakarta. Kebetulan  oleh Mas Ismail Siregar diajak aktif di IPM DIY. Saat di Bandung sempat jadi Ketua IPM Cabang Cibeunying.

Baru setelah punya mesin tik sendiri mulailah  menulis lebih intens. Mesin tiknya merek Brother, dibeli dari uang beasiswa Supersemar. Wah, senang saat itu punya mesin tik hasil beasiswa, seperti petani dapat cangkul dari Pak Lurah. Ada rasa bangga dan percaya diri. Mesin tik bersejarah itu sekarang saya simpan di lemari perpustakaan,  sebagai kenangan terindah.

Menjadi penulis ternyata harus gigih. Satu dua sampai berkali-kali gagal jadi tulisan utuh, tapi jadi juga. Dimulai  menulis opini ringan-ringan untuk rubrik mahasiswa di media massa Yogya dan Ibukota. Wah awalnya sering ditolak. Tapi terus mencoba, berkali-kali, sering berganti tema. Akhirnya satu dua mulai ada yang dimuat. Girang sekali, seperti Neil Amstrong sukses turun di Bulan. Apalagi ada rekan-rekan mahasiswa lain tahu dan kasih selamat, bangga dirilah....tapi tidak congkak. Sejak itu jadi ketagihan menulis. Lumayan juga waktu itu, bisa nambah uang saku, jadi lebih mandiri. Dapat uang dari beasiswa plus menulis, bahagia sekali. Tapi tetap harus berjuang keras dalam hidup, serta sukses kuliah.

Jadi anak rantau itu belajar "survival of the fittest" istilah Herbert Spencer setelah membaca karya Charles Darwin, On the Origin of Species. Semangatnya mengikuti pepatah. Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.  Senang yang positif dan bermakna tentu saja. Jadi, mencobalah menulis. Jangan banyak berteori. Praktikkan saja. Lama kelamaan juga terbiasa!

Peleman, Sabtu sore (hari kedua Ramadhan 1441),  25 April 2020


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website