Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Tidak Ada Libur untuk Kebaikan

Homepage

Tidak Ada Libur untuk Kebaikan

Selasa, 19-05-2020
Dibaca: 171

Oleh : Irvan Shaifullah (PDPM Lamongan
 
Tepat 2 Mei 2020 kemarin, Pemuda Muhammadiyah secara khusus merayakan miladnya yang ke 88 sejak diinisiasi pada kongres Muhammadiyah ke-21, tahun 1932 di Makassar. Yang kemudian secara khusus mendapatkan mandat penuh dari Muhammadiyah untuk menjadi Muhammadiyah Bagian pemuda. Dan akhirnya secara resmi, tepat tanggal 26 Dzulhijjah 1350 H bertepatan dengan 2 Mei 1932, akhirnya nama Pemuda Muhammadiyah disahkan dan menjadi salah satu ortom Muhammadiyah yang berhak mengatur urusan ‘dapurnya’ sendiri. 
 
Sejatinya refleksi milad organisasi besar seperti Pemuda Muhammadiyah tentunya diselenggarakan secara besar besaran dan menarik. Sayangnya, situasi pandemi Covid 19 memaksa kita semua berpikir dua kali dan menunda semua gegap gempita peringatan milad pemuda muhammadiyah yang ke 88. Sebagai gantinya, Pemuda Muhammadiyah memfasilitasi kader seluruh indonesia untuk merayakan bersama melalui teleconference yang dipandu oleh ketum dan sekum PP Pemuda Muhammadiyah.
 
Juga tak kalah penting, sebagai organisasi yang mengabdikan dirinya kepada masyarakat, Pemuda Muhammadiyah diintruksikan untuk terlibat aktif menginisiasi, mempelopori dan membantu masyarakat bersama MCCC di wilayahnya masing masing. Dari mulai kegiatan yang bersifat preventif sampai kepada gerakan yang bersifat kuratif, sebab banyak juga kader pemuda muhammadiyah yang berprofesi sebagai dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain. 
 
Shifthing atau Stand Still ?
 
Tema besar yang diusung dalam milad ke 88 ini agaknya memang sangat tepat untuk merefleksikan sekaligus menggerakkan potensi besar pemuda Muhammadiyah untuk terlibat aktif dalam penanganangan pandemi covid-19. Kekuatan dan prinsip dasar Pemuda Muhammadiyah dalam berfastabiqul khairat menjadi semangat pembaharuan dalam rangka meneguhkan solidaritas, menebar kebaikan dan mencerahkan semesta. 
 
Apalagi saat ini kita menghadapi dua arus besar perubahan yang sering kali membuat kita lupa dan terlena. Pertama arus disrupsi yang sudah berlangsung sekian lama dan tahun tahun ini mengalami puncaknya, kedua pandemi covid-19 yang kita tidak tahu kapan selesai dan berakhir dengan sempurna. 
 
Kita bisa meng-analogikan dua perubahan diatas seperti saat kita naik gunung. Saat berangkat, karena sudah hobi dan berpengalaman, kita hafal betul jalan yang biasa kita lewati untuk mencapai puncak. Dijalan itu kita membayangkan sungai dengan air yang jernih, pemandangan kota dari puincak gunung, flora fauna baru, juga pengalaman yang fantantis. Dan benar memang kita benar benar sampai puncak dan mendapatkan pemandangan dan pengalaman itu semua.
 
Sayangnya saat mau turun, tiba tiba jalan yang biasa kita lewati saat berangkat naik tadi mengalami kerusakan parah akibat longsor, tanah bergerak, pohon tumbang dan sebagainya. Yang itu tidak bisa dilewati sama sekali sebagaimana saat kita berangkat. Sedangkan waktu sudah akan petang, makanan dan bekal sudah habis saat perjalanan mendaki.
 
Tentu pilihan untuk menunggu bantuan juga akan sulit. Jalan satu satunya adalah membuka jalan baru, menemukan pola baru, menyusun startegi baru, dan menentuka arah gerak baru. Jika tidak, pilihannya kita bisa hidup dengan mengandalkan makanan yang ada dan menunggu bantuan. Tapi itu sangat tidak pasti dan sangat berbahaya. Bisa bisa kita ditemukan dalam keadaan sudah tidak hidup lagi, gara gara kita tidak bergerak, kita shifting dan memilih untuk berdiam diri dan menangisi keadaan.
 
Tahun tahun ini sebagaimana analogi diatas, kita sebagai bangsa mengalami lompatan lompatan yang sangat mengagumkan, perubahan industri dan infrastuktur serta digitalisasi kehidupan mencapai puncaknya. Sayangnya, saat akan menikmati keadaan tersebut, saat kita akan masuk ke dalam bulan ramadhan, pandemi covid-19 hadir dan menyerang siapa saja tanpa kelihatan dan terlacak jejaknya.
 
Bayangkan, seperti dikatakan Prof Renald Kasali dalam bukunya The Great Shifting bahwa sebuah bangsa akan ‘dipaksa’ bermigrasi besar besaran dan tak kembali. Bukan karena tak rindu pulang, melainkan segalanya telah berubah. Kita bisa memilih : shifthing atau stand still, bergerak atau diam ditempat menangisi perpindahan besar besaran yang terjadi didepan mata. 
 
Dua perubahan yang sedang kita hadapi diatas, mau tidak mau akan mengubah seluruh sendi kehidupan kita. Dari mulai politik, cara beragama, sosial ekonomi, komunikasi, pola kerja dan semuanya. Kita tinggal memilih, mau bergerak atau diam dan menangisi keadaan.
 
Meneguhkan solidaritas, menebar kebaikan
 
Tiga pokok tema besar ini tentu tak main main saat dipilih sebagai tema besar milad pemuda muhammadiyah ke 88 ini. Tentu harapan besarnya, dengan tema tersebut pemuda muhammadiyah akan memulai sebuah langkah dan inovasi baru untuk bersama sama keluar dari situasi pandemi dan adaptif serta berperan aktif dalam perubahan perubahan yang terjadi karena disrupsi dari berbagai lini. 
 
Sebagaimana dikutip dari pernyataan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto atau yang akrab di sapa dengan Cak Nanto dalam pers rilisnya di website muhammadiyah.id (30/4). Spirit tema milad pemuda muhammadiyah kali ini sesuai dengan kondisi umat di seluruh dunia yang sedang mengalami cobaan akibat pandemi covid-19.
 
Cak Nanto menggarisbawahi bahwa wajib bagi seluruh kader Pemuda Muhammadiyah untuk bersatu padu, saling bahu membahu meneguhkan solidaritas kepada sesama tanpa membedakan suku agama dan ras. Menebar kebaikan kepada siapa saja tanpa memandang golongan maupun status sosial, dalam rangka mencerahkan semesta sebagaimana misi islam berkemajuan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. 
 
Dengan spirit milad itu, tentu kita tahu bersama bahwa Pemuda Muhammadiyah memilih untuk shifting, ber-fastabiqul khairat untuk bergerak bersama, melakukan dan mengembangkan strategi serta pola bersama untuk keluar bersama sama dari masa krisis pandemi covid -19 yang merubah banyak sekali kondisi sosial ekonomi di masyarakat. 
Lantas kira-kira bagaimana penerjemahan tema milad tersebut secara teknis? Itu menjadi pertanyaan yang tidak kalah serius. Yang segera harus terjawab. Mengingat peran pemuda muhammadiyah sangat ditunggu tunggu di masyarakat. 
 
The Dance and New Normal
 
Beberapa waktu lalu, kalau kita mencermati dan membaca artikel yang ditulis oleh Tomas Pueyo yang berjudul Coronavirus : The Hammer and the dance tentang What the next 18 Months can look like, if leaders buy us time. Disana kita akan menemukan kurva dan data berbagai macam tentang tindakan berbagai negara, bagaimana situasinya, apa pilihannya, bagaimana kondisi terburuk layanan kesehatan, dampak sosial ekonominya bagaimana dan juga berbagai hal. Selain uraian data, dalam artikel tersebut juga dikalsifikasikan dua periodesasi penanganan covid-19.
 
The hammer, palu alat itu mengilustrasikan tentang paksaan dari pemimpin untuk segera bertindak ke semua orang dan memaksa menerapakan berbagai upaya termasuk sosial distancing untuk mencegah terjadinya penularan virus covid-19 dalam waktu hitungan minggu. Setelah fase itu selesai, maka akan disebut sebagai fase tarian, atau the dance. Jika kita melaksanakan fase hammer dengan serius. Maka kita akan dapat mengendalikan dan kita akan mendapatkan kondisi yang lebih baik untuk mengatasinya. Termasuk mempersiapkan waktu lebih panjang dengan bersikap norma untuk menjaga agar virus ini tetap terkontrol sampai ada vaksin.
 
Dan inilah yang kita sebut dengan new normal atau kenormalan baru. Kita hidup berdampingan dan tetap melaksanakan aktifitas sosial ekonomi dengan tetap memperhatikan protokol dan anjuran kesehatan sambil melakukan upaya jangka panjang untuk pengembangan obat maupun vaksin. 
 
Dalam periodeisasi itu, kita bisa melakukan berbagai upaya diantaranya adalah pertama, normalisasi yang dulu tidak normal. Digitalisasi di berbagai lini mengharuskan kita untuk bersikap adaptif dan relevan dan merespon perubahan. Kalau dulu kajian yang bersifat online dll seakan akan tidak normal maka itu kita bisa jadi anggap normal di situasi seperti ini. Kalau dulu, seseorang harus bertemu dan tatap muka saat rapat, maka di tengah new normal ini kita bisa jadi menganggap itu normal dan kemudian hari bisa jadi menjadi kebiasaan baru walau pendemi covid 19 ini selesai. Termasuk kebiasaan memakai masker dan mencuci tangan. 
 
Kedua, time series. Pola data dan startegi penangangan yang bersifat panjang dengan skala prioritas yang berdasarkan pada penggabungan hitung menghitung masa depan dengan data data korelasi di masa lalu. Istilah, Time series ini diterapkan oleh Matthew Fountain Maury saat pertengahan abad ke 19, dan digunakan untuk menganilisis dan menyusun sebuah kesimpulan yang mampu membaca grafik dan angin dan cuaca.
 
Termasuk juga digunakan oleh Robert Malthus (1826) dalam Essay on Population untuk mengungkapkan data tentang kelangkaan pangan di masa depan. Kesimpulannya, manusia harus melakukan revolusi kebutuhan pangan, jika tidak dunia akan dilanda kelaparan. 
 
Poin kedua ini senada dengan seruan untuk kembali menanam tanaman tanaman  yang dapat tumbuh di pekarangan rumah dan itu bisa jadi konsumsi kita di masa pandemi. Jika sewaktu waktu bahan pokok semacam beras langka dan mahal, kita bisa beralih ke bahan pangan lain semacam jagung dll. Dan pemuda muhammadiyah dapat melakukan dan mensosialisasikan itu masyarakat, tentunya dengan data dan kebutuhan di lapangan. Termasuk tentang edukasi lingkungan serta sosialisasi ZIS untuk ketahanan pangan. 
 
Ketiga, hal yang bisa dilakukan adalah Shifting ke desa atau cabang dan ranting. Fenomena ini bukan mendukung mudik atau mendukung perpindahan manusia dari kota ke desa. Bukan seperti itu, walau memang diakui atau tidak sudah banyak dan lazim terjadi di daerah kita masing. Banyak orang perantauan pulang ke desa karena pekerjaanya di rantauan harus gulung tikar.
 
Yang perlu diubah adalah paradigma fungsi desa dari fungsinya sebagai basis ekonomi biasa menjadi basis ekonomi produktif tanpa merusak budaya dan citra lokal. Dan pengelolaan BUMDES ini akan sangat menentukan kita dapat menciptakan iklim ekonomi baru ini atau tidak. Kalau di cabang ranting biasa disebut sebagai dana iuran warga peryarikatan. Contoh pengelolaan yang dapat menjelaskan ini adalah Prukades (Produk Unggulan Kawasan Perdesaan) jambu klutuk di desa Sukorejo, Kendal. Lahan produksi jambu kluthuk ini mencapai 671 hektar. Kuncinya adalah kerjasama dan pemuda muhammadiyah bisa menginisiasi  dan mempelopori itu. 
 
Tidak ada kata libur untuk kebaikan
 
Sebagaimana judul dari tulisan refleksi milad pemuda muhammadiyah ke 88 kali ini, bahwa keberhasilan tak pernah bersifat final, meminjam istilah Prof Renald. Tugas kita bersama sebagai kader pemuda muhammadiyah adalah Keep yourself relevant.  Untuk bertahan seseorang harus terus menerus adaptif dan relevan. Maka tidak salah jika motto pemuda muhammadiyah adalah fastabiqul khoirot, berlomba lomba dalam kebaikan. Tidak ada libur untuk hal hal baik. Mari mulai melakukan apa saja yang kita bisa untuk berbagi dan membantu sesama. Sedih, iri dan dengki adalah kemewahan di tengah pandemi covid-19. 

Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website