Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Mendesain Sistem Pencegahan & Pelaporan Pelecehan Seksual di Kampus Muhammadiyah

Homepage

Mendesain Sistem Pencegahan & Pelaporan Pelecehan Seksual di Kampus Muhammadiyah

Senin, 29-06-2020
Dibaca: 220

Oleh : Syifa Rosyiana Dewi

 

Paham keagamaan Muhammadiyah sangat dekat dengan upaya proteksi dan keadilan bagi perempuan. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada awal membentuk organisasi ini pada tahun 1912, selain mengupayakan gerakan kesehatan dan pendidikan, juga mendorong pemenuhan hak-hak perempuan.

Institusi pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah di antaranya, Taman Kanan-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.

Institusi pendidikan Muhammadiyah haruslah mencontoh spirit perlindungan perempuan yang dipraktikkan KH. Ahmad Dahlan. Institusi pendidikan Muhammadiyah setidaknya harus menjadi ruang publik yang ramah terhadap perempuan.

Pentingnya Mendesain Sistem Pencegahan dan Pelaporan

Kampus Muhammadiyah punya tanggungjawab besar mendesain sistem pencegahan dan pelaporan kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Sebab, sistem semacam itu merupakan upaya proteksi hak kesehatan reproduksi dan tanggung jawab moral keislaman membangun iklim inklusif dalam kampus Muhammadiyah. Sebetulnya tidak hanya di Muhammadiyah, Pemerintah saja belum memiliki system yang jelas untuk ini.

Pada tahun 2019, muncul gerakan #NamaBaikKampus terkait dengan solidaritas terhadap korban pelecehan seksual di kampus. Berdasarkan survey yang dilakukan The JakartaPost, Tirto.id, dan Vice.id menyimpulkan kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia tidak memiliki sistem dukung untuk korban pelecehan seksual. Bahkan kalau pun ada, sistem tersebut tidak mampu menjadi kekuatan utama advokasi dan pendampingan pada kasus-kasus kekerasan seksual.

Rita Pranawati, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membenarkan pentingnya kehadiran sistem pencegahan dan pelaporan kekerasan atau pelecehan seksual, tertuatma untuk kampus Muhammadiyah. Aktivis ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah itu juga menambahkan bahwa kekerasan seksual di kampus itu lumayan banyak dan sangat tidak mudah bagi korban untuk melaporkan.

“Dari sisi korban, tidak mudah melakukan pelaporan karena stigma masyarakat, kondisi traumatis dan sering kali atas nama prioritas nama baik kampus. Keluhan-keluhan pelecehan seksual akhirnya tersimpang dan terabaikan. Sekali lagi jelas ini terjadi karena tidak adanya sistem yang mendukung korban kekerasan seksual di institusi pendidikan” ungkap Rita.

Rita mengungkapkan bahwa perspektif korban juga harus dipikirkan. Semua keputusan kampus perlu dipikirkan matang dan efek jangka panjangnya. Tidak cukup dengan sekedar memediasi kasus, tapi juga membuatnya menjadi sistem kampus itu sendiri.

Tidak dipungkiri, bahwa kampus Muhammadiyah harus menjadi teladan dalam menghadirkan nuansa keislaman. Sebiasa mungkin kampus Muhammadiyah menjadi teladan dalam menghadirkan lembaga yang nyaman bagi perkembengan dan pertumbuhan generasi teladan. Sebab, isu mengenai pelecehan dan kekerasan seksual merupakan fenomena besar yang harus dianggap serius.

Cara Mendesain Sistem Pencegahan dan Pelaporan

Rita mengatakan kampus Muhammadiyah harus menyusun standar operasional prosedur (SOP) penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual, dan sarana prasarana ruang belajar akademik yang aman dan nyaman.

Rita menjelaskan bahwa hal penting dalam SOP adalah membuat standar penanganan kasus kekerasan seksual di kampus Muhammadiyah. “Pada aspek penanganan kasus, kampus Muhammadiyah harus memiliki SOP yang jelas dan tersistem. Ada kasus-kasus yang secara kapasitas mampu diselesaikan oleh kampus. Tapi, ada juga yang karena beragam sebab, tidak bisa ditangani kampus” tegas Rita, saat diwawancarai redaksi Muhammadiyah.id, Selasa (23/6).

Apabila pelaku kekerasan atau pelecehan seksual tidak diproses serius, justru akan berkembang di luar dugaan dan menjadi semakin sulit ditangani. Terutama jika kasus itu melibatkan elit lembaga pendidikan. Dalam banyak kasus, pelaku tidak saja berasal dari mahasiswa, melainkan juga dosen. Secara tidak langsung, sistem sosial akan berlaku timpang. Korban terus menerus menerima pelecehan, sementara pelaku akan menerima pembenaran. Oleh karena itulah, dibutuhkan sistem.

Rita bahkan memberi penekanan betapa pentingnya penanganan kasus. Sebab, keberhasilan penanganan kasus bukan saja akan mencegah terjadinya kasus berikut, melainkan juga menghentikan sifat predatoris pelaku kekerasan seksual.

Rita membuat ilustrasi tambahan. Misalnya saja, seorang tenaga pendidik yang bekerja di lembaga pendidikan Muhammadiyah kemudian melakukan kekerasan seksual, tapi hanya ditindak secara kekeluargaan dan dikeluarkan dari sekolah. Ketika tenaga pendidik tersebut pindah ke daerah atau provinsi lain bisa saja masuk lagi ke institusi pendidikan Muhammadiyah lainnya karena tidak diproses pidana. Bukan tidak mungkin, kekerasan dan pelecehan seksual akan terus berlanjut.

Kampus Muhammadiyah Harus Tegas Menindak Pelaku

Kampus Muhammadiyah dalam hal ini harus tegas menindak pelaku. Rita bercerita juga tentang salah satu lembaga pendidikan favorit di Surabaya yang salah satu tenaga pendidiknya melakukan kekerasan seksual. Namun posisi korban-korban di lembaga tersebut takut melapor sehingga terjadi kekerasan seksual dari generasi ke generasi. Hal ini justru sangat berbahaya. Kembali lagi bahwa kampus Muhammadiyah perlu tegas pada pelaku kekerasan seksual.

Jika kampus tidak mampu menangani kasus, maka ada baiknya dilimpahkan pada pihak ketiga. Pelaporan pada aparat berwajib merupakan solusi, terutama jika berkaitan dengan muatan pidana.

“Jadi harus bisa memilah mana ranah yang kekeluargaan mana yang pidana. Kalau sudah pidana ya harus berbesar hati menyerahkan itu pada proses hukum,” kata Rita.

Rita menjelaskan SOP lainnya yakni, aturan bahwa dosen atau mahasiswa tidak boleh dibiarkan di ruangan tertutup berdua saja. Harus ada yang menemani, misal saat ujian, saat konsultasi, saat bimbingan, dan lainnya. Sebab, potensi pelecehan seksual seringkali dimulai dari aktivitas yang tampak lazim dan biasa. Apalagi dengan teknologi komunikasi seperti saat ini, obrolan via gawai pun tidak mungkin tidak menjadi perantara kekerasan seksual.

Desain Ruangan Kampus

Kampus harus punya desain ruangan-ruangan yang mendukung pencegahan pelecehan seksual. Rita menegaskan betapa berbahaya ruangan-ruangan tertutup, padahal sering dipergunakan untuk kepentingan konsultasi dosen dan mahasiswa.

Ruangan pejabat kampus pun harus seperti itu sehingga menghindari adanya niatan atau kejadian kekerasan seksual yang tidak diinginkan. Terutama kalau relasi tidak setara antara dosen dengan mahasiswa yang sejak awal sangat timpang. Lebih baik ruangan dibuat terbuka.

Seleksi Kesadaran Anti Kekerasan

Poin menarik, Rita mengajukan model perekrutan dosen yang mendukung anti kekerasan seksual. Seleksi awal penerimaan tenaga pengajar juga harus mempertimbangkan seberapa besar dosen bersangkutan mendukung pencegahan kekerasan seksual.

Rita mengatakan bahwa model perekrutan selektif sangat biasa di luar negeri. “Kalau di luar negeri itu sebenarnya ada Child Friendly Certificate (lulus sertifikat untuk bekerja dengan anak). Itu jadi cara. Tapi menurut saya kode etik itu yang harus ditegakkan. Ini institusi Islam,” jelas Rita.

Rita kembali menegaskan supaya kampus Muhammadiyah yang punya banyak instiusi pendidikan, harus punya SOP penanganan kasus-kasus sensitif. Termasuk dalam menangani masalahnya kalau tidak mampu ya harus melibatkan pihak kepolisian. Itu kan sebenarnya tidak hanya kasus kekerasan seksual. Misalnya kasus bunuh diri, harusnya sekolah langsung lapor polisi tapi itu dibereskan sendiri.

Perlu Pendidikan Seksualitas

Tidak kalah penting dengan upaya pencegahan adalah membentuk kesadaran bersama. Misalnya perlu ada edukasi kepada mahasiswa mengenai pendidikan seksualitas. Bagaimana mereka sensitif dan peka pada bentuk-bentuk awal kekerasan seksual. Misalnya seperti saat dosen atau lawan jenis seusia memegang tangan mereka. Hingga pada tindakan pindana berupa menyentuh kemaluan, memotret tubuh mahasiswi, mengajak melakukan perbuatan mesum, dan lain sebagainya. Ini sudah termasuk pidana berat.

“Kita harus menyediakan sarana edukasi, bagi diri sendiri dan orang lain, menyangkut SDM, sarana prasarana dan lainnya. Kalau hari ini ada UU ITE, Perlindungan Anak, dan UU yang lain untuk melindungi para korban kekerasan seksual harus dimaksimalkan” kata Rita.

Kampus Mendukung Pemulihan

Rita mengatakan kampus juga harus mendukung proses pemulihan korban. Sebab, tak mudah menjadi korban kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Butuh waktu panjang untuk menerima menjadi korban. Hanya orang yang menjadi korban atau keluarga yang merasakan dampak buruk perlakuan kekerasan. Apalagi mereka sudah terlanjur dihujat dan diperkukan tidak adil secara gender. Itu akan semakin berat. Ada baiknya kampus tidak menganggap ini remeh temeh. 

Kampus harus mendukung pemulihan korban. Apalagi korban merupakan konsumen layanan pendidikan. Dia merupakan warga kampus yang punya hak didampingi. Kampus harus menjamin situasi dan kondisi agar mendukung proses pemulihan. “Harus ada iklim dan suasana yang mendukung bagi para korban kekerasan,” ungkap Rita.

Bukan Sekedar Bangga Akreditasi

Semestinya perbaikan mutu perguruaan tinggi Islam adalah mentransformasikan nilai-nilai keadilan sosial untuk menciptakan ruang publik yang aman bagi perempuan. Institusi pendidikan Muhammadiyah seharusnya dapat menjaga marwah itu dan menjadi percontohan dalam memberikan jaminan dan proteksi atas lingkungan akademik yang Islami dan humanis.

Pengembangan mutu yang dilakukan oleh kampus Muhammadiyah harus diiringi dengan sistem sosial yang diimplementasikan dari penerapan etika Islam yang melindungi kehidupan lingkungan kampus.


Tags: Pelecehan Seksual, Muhammadiyah, Pencegahan, Kampus
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: opini



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website