Haedar Jelaskan Sejarah Penundaan Muktamar dari Masa ke Masa, Salah Satunya Akibat Orde Baru
Dibaca: 503
MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Penundaan perhelatan Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah bukan baru kali ini saja. Sebagai contoh, pada tahun 1985 akibat masalah Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan Orde Baru, Muhammadiyah menunda pelaksanaan Muktamar. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan penundaan forum tertinggi di Muhammadiyah ini disebabkan oleh kondisi darurat.
“Biar pun muktamar saat ini mundur, tujuan, agenda, dan materi yang krusial di dalam muktamar itu dapat diselesaikan dengan baik,” kata Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, saat memberi pidato Iftitah Tanwir daring pada Ahad (19/7).
Pengalaman itu menurut Haedar, seyogyanya bisa menjadi teladan, aspirasi bagi para kader dan Pimpinan Persyarikatan. Haedar bercerita saat masih bergiat sebagai aktifis organisasi otonom Ikatan Pelajar Muhammadiyah mengetahui persis dinamika penundaan Muktamar tahun 1985 yang juga secara kebetulan hendak diselenggarakan di Surakarta 1985. Sebagaimana diketahui, rencana awal Muktamar dihelat di Solo bulan Juli 2020.
Haedar melanjutkan bahwa tidak hanya ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 saja. Penundaan Muktamar pernah terjadi pula beberapa kali. Sehingga, jangan sampai ada pertanyaan mengapa perhelatan muktamar di Solo selalu ditunda. Sebab, Muktamar di Solo pada tahun 1929 nyatanya diselenggarakan tanpa penundaan.
Begitu pula pada penundaan perhelatan Muktamar tahun 1918 akibat gesekan dengan Sarekat Islam. Waktu itu Muhammadiyah menolak permintaan beberapa kalangan untuk menjadi organisasi politik. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, setelah merenung panjang, menolak permohonan tersebut. Bagi KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah harus tetap merupakan gerakan Islam. Beberapa kader yang berharap Muhammadiyah menjagi organisasi politik akhirnya menerima keputusan tersebut. Meski tetap ada yang kecewa sehingga sempat berimbas pada pelaksanaan Muktamar.
Contoh berikutnya pernah terjadi pada pelaksanaan Muktamar tahun 1937-1938 pada masa pendudukan Jepang. KH. Mas Mansur, akibat penundaan tersebut, terpilih sebagai ketua umum di luar arena Muktamar. “Tahun 1944 pernah juga ada nuansa darurat karena ada pendudukan jepang, saat itulah diangkat Ki Bagoes Hadikoesoemo menjadi Ketua Umum Darurat Muhammadiyah” lanjutnya.
Terakhir, pada tahun 1962 terjadi peristiwa pelik ketika pembubaran Masyumi dan Muhammadiyah menjadi anggota satu-satunya Masyumi. Dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Kaliurang Yogyakarta, terjadi pertentangan luar biasa. Ketika itu, Amal Usaha Muhammadiyah (disingkat AUM, berupa sekolah dan rumah sakit) sempat terbengkalai, sampai akhirnya ada ide tengahan untuk mengatasi hal tersebut.
Menurut Haedar, peristiwa-peristiwa tersebut memberi khasanah bagi Muhammadiyah untuk arif, bijak, matang dalam menghadapi situasi. Pada persoalan itu dihasilkanlah pemikiran muhammadiyah dalam bingkai Persyarikatan Muhammadiyah. Haedar berharap dengan Tanwir daring ini sebagai bagian dari proses memperkaya pikiran, rasa, dan persaudaraan untuk bersama sama satu sistem Muhammadiyah membawa organisasi ini dan peran kemajuan bagi umat bangsa dan semesta. (Syifa)
Tags:
Arsip Berita