Mau Musyawarah? Belajarlah ke Muhammadiyah
Dibaca: 142
Oleh: Ilham Ibrahim
Negara sesungguhnya telah berutang budi pada Muhammadiyah. Lebih dari satu abad Muhammadiyah telah memberi untuk negeri tanpa harap kembali. Mempelopori pendidikan modern, membangun pelayanan kesehatan, mencerahkan kehidupan beragama. Namun faktor utama yang menjadikan Muhammadiyah dikenal sebagai pergerakan Islam yang paling tahan banting dalam sejarah bukanlah karena melubernya kegiatan amal usaha melainkan elegannya budaya musyawarah di Muhammadiyah.
Ada banyak pergerakan yang memiliki kekuatan politik dan kesiapan finansial namun berakhir punah. Apalagi jika pergerakkan tersebut hasil perselingkuhan antara birokrat dan korporat yang sarat dengan intrik dan kepentingan pribadi. Kunci kesuksesan budaya musyawarah di tubuh Muhammadiyah karena sejak dini ditanamkan dalam sanubari kader persyarikatan agar jangan sampai mencari kehidupan di Muhammadiyah. Maksudnya, menghapus kepentingan-kepentingan personal yang mengabaikan kemaslahatan komunal.
Praktik bermusyawarah yang selama ini dijalankan Muhammadiyah begitu luar biasa. Bagaimana tidak, dengan melimpahnya tanah wakaf, banyaknya amal usaha, dan jumlah pengikutnya yang tersebar sampai pelosok-pelosok tanah air, semestinya dalam setiap ajang rapat kebijakan organisasi terjadi konflik dan tarik ulur kepentingan. Anda mungkin akan kecewa mendapati rapat kebijakan Muhammadiyah justru berjalan tanpa lempar kursi, adu mulut sumpah serapah dan meninggalkan ruang sidang. Apa yang ditunjukkan Muhammadiyah ini justru sebaliknya: musyawarah benar-benar hidup dan terawat di sini.
Contoh paling aktual betapa elegannya cara Muhammadiyah bermusyawarah ditunjukkan ketika sidang Tanwir Muhammadiyah-Aisyiyah ke secara daring dengan tema Hadapi Covid-19 dan Dampaknya: Beri Solusi untuk Negeri. Sidang Tanwir merupakan perhelatan ajang rapat kebijakan organisasi tertinggi setelah Muktamar. Sidang tersebut dihadiri oleh segenap Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis, Lembaga, Biro PP Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se Indonesia, Pimpinan Pusat Aisyiyah, Pimpinan Ortom Tingkat Pusat, dan Pimpinan Wilayah Aisyiyah se Indonesia. Mereka yang hadir akan berunding dan berembuk untuk mencari jalan keluar bersama.
Pembahasan dalam sidang Tanwir mengupas ihwal langkah-langkah strategis pergerakan organisasi. Sebagai forum evaluasi terhadap pelaksanaan keputusan Muktamar dan membahas berbagai agenda penting persyarikatan, pelaksanaan Tanwir tentu begitu seksi untuk menyempilkan kepentingan-kepentingan pribadi. Singkatnya, Tanwir merupakan kegiatan yang menggiurkan baik secara politik, sosial maupun ekonomi.
Dalam Tanwir kemarin, isu yang diangkat mengenai pelaksanaan Muktamar di tengah Pandemi Covid-19. Dalam musyawarah akbar secara daring tersebut terbelah menjadi dua kelompok besar: satu menginginkan pelaksanaan Muktamar jatuh pada tahun 2021; dan sisi lain mengusulkan Muktamar dihelat tahun 2022.
Silang pendapat di antara kedua kelompok ini memang terjadi tapi tak kita temukan adu mulut yang dibumbui kata-kata kotor atau “baper” karena keputusan resmi organisasi tak sesuai kehendaknya. Pandangan yang mereka tawarkan dikuatkan dengan data ilmu pengetahuan bukan dengan retorika kosong khas kaum sofis. Perbedaan disikapi dengan santai sebagai ikhtiar mencari kemaslahatan bersama. Meski akhirnya ketukan palu dimenangkan kelompok “Muktamar 2022, namun kelompok yang berseberangan tak merasa dikalahkan.
Semangat Kebersamaan
Sidang Tanwir kemarin, sekali lagi, menegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern benar-benar dewasa dalam ruang musyawarah. Selama sidang Tanwir berlangsung, semangat kebersamaan dan kekeluargaan begitu terasa tanpa ada sedikitpun hawa persaingan dan kompetisi. Perbedaan pendapat dalam forum adalah sebuah kewajaran, namun saling menerima dan memahami adalah suatu keharusan. Orang lebih mengedepankan egoismenya ketimbang kebesaran hati untuk berdialog demi mencapai kesepakatan bersama tidak akan mendapat tempat yang terhormat di Muhammadiyah.
Pembentukan Majelis Tarjih yang secara resmi berdiri pada tahun 1928, misalnya, mencerminkan bangkitnya satu bentuk musyawarah. Majelis ini dirancang menjadi sebuah lembaga yang untuk mengakomodasi konflik dan perbedaan pendapat dalam persoalan keagamaan. Langkah Majelis Tarjih dengan jalan ijtihad jama’iseperti ini pada masanya dianggap metode paling berkemajuan karena produk fatwanya tidak mungkin hasil monopoli diri sendiri dan mustahil terpapar bias persona. Sebelumnya masyarakat meminta fatwa pada seorang kyai, mufti dan tokoh masyarakat.
Dengan demikian tidak salah jika kunci kekuatan Muhammadiyah yang telah berdiri sejak tahun 1912 terletak pada elegannya cara mereka bermusyawarah. Melimpahnya amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah tidak lain karena dalam proses musyawarah persyarikatan selalu mengedepankan etika bukan prasangka dan mendahulukan kebaikan komunal bukan personal. Muhammadiyah telah belajar dari berbagai pergerakan bahwa keributan dan segala konflik yang terjadi hanya akan menghasilkan kerugian.
Kehidupan musyawarah di tubuh Muhammadiyah tidak lagi hanya sebatas angan-angan teoritik. Muhammadiyah telah mengaplikasikannya sejak lama dalam bentuk praktik yang elegan, bermartabat, dan jernih. Jadi, tak perlu malu belajar cara bermusyawarah pada Muhammadiyah, mereka benar-benar ahlinya!
Tags:
Arsip Berita