Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Hak Perempuan dan Anak dalam Perkawinan

Homepage

Hak Perempuan dan Anak dalam Perkawinan

Selasa, 25-08-2020
Dibaca: 77

MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA -- Majelis Hukum dan HAM  Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Bekerjasama dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHAMKA menyelenggarakan Seminar Nasional bertemakan Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak dalam Perkawinan, Senin (24/8). Kegiatan ini terselenggara dalam rangka memahami situasi perkawinan dan konflik perkawinan yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak perempuan dan anak.

Perlu diketahui bahwasannya hak perempuan dan anak seringkali terabaikan ketika ikatan keluarga harus berakhir. Seharusnya hak-hak perempuan dan anak tetap harus dipenuhi walaupun perkawinannya akan berakhir. Memulai perkawinan dengan cara yang baik, kalau pun terpaksa memilih perceraian sebagai jalan keluar terakhir juga harus dilakukan dengan cara yang baik. 

Acara yang diselenggarakan melalui zoom meeting ini dibuka oleh ibu Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan, M.Ag, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa Posbakum ‘Aisyiyah memiliki tugas untuk mensosialisasikan peraturan perundangan terkait perkawinan agar perempuan dan anak terlindungi hak-haknya.

Dekan FKIP UHAMKA, Dr. Desvian Bandarsyah, M.Pd menyampaikan pidato kuncinya bahwa keluarga merupakan pilar pembangunan bangsa. Harapan besar kepada keluarga agar menjadi penopang kehidupan bangsa.

“Keluarga merupakan situasi dimana individu ada dan mengada. Keluarga diharapkan menjadi keluarga Sakinah, saling menjaga, saling mendukung, saling mengedepankan keterbukaan untuk menjadi keluarga Sakinah. Seringkali keluarga lebih dilihat sebagai sebuah etntitas target grup dalam kebijakan negara. Padahal seharusnya pendekatan pembangunan keluarga harus melihat inner dan perkembangan keluarga, bukan hanya fisik target grup keluarga. Keluarga menjadi ketahanan suatua masyarakat dan bangsa,” jelas Desvian.

Desvian mengatakan data BAPPENAS menunjukkan bahwa perceraian meningkat 3% setiap tahun. Peningkatan tersebut bermakna bahwa kesadaran hukum perempuan meningkat untuk memastikan hak-haknya dalam perkawinan. Pada sisi yang lain, adanya kebutuhan bimbingan perkawinan bagi pasangan muda agar menjadi bekal menjalani kehidupan keluarga. Dengan bekal tersebut diharapkan perceraian dapat diminimalisir.

Pembicara pertama Dr. Fal. Arovah WIndiani, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum UMJ menyatakan bahwa perkawinan itu saling meminta. Seharusnya perkawinan adalah sah sesuai agamanya dan resmi dicatatkan kepada negara sesuai agamanya.

“Perkawinan yang sah bermakna melindungi hak perempuan dan anak. Cerai gugat berdampak pada hak nafkah yaitu nafkah muth’ah, nafkah iddah, dan hadhonah. Hal ini seringkali membuat laki-laki menggantungkan perkawinan terhadap perempuan,” ungkapnya.  

Pada kenyataan, Kata Arovah, Laki-laki menunggu istri yang mengajukan agar bebas dari hak nafkah nuth’ah, nafkah, iddah, dan hadhonah. Situasi tersebut banyak dialami perempuan, padahal seharusnya laki-laki menyadari hak-hak perempuan yang harus dipenuhi ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri relasinya sebagai sebuah tanggung jawab. Bukan justru mereka meninggalkan tanggung jawabnya.

Perlindungan anak seharusnya tidak terpengaruh dengan  situasi perkawinan orang tuanya, demikian penjelasan Rita Pranawati, MA.,  Wakil Ketua KPAI. Anak sampai kapanpun memiliki ikatan dengan orang tuanya walaupun perkawinan orang tuanya berakhir.

“Mantan suami atau istri memang ada, tetapi mantan anak dan orang tua tidak ada. Semua orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi hak akses, hak pengasuhan, sekaligus hak nafkah kepada anak walaupun ikatan perkawinan dengan pasangan telah berakhir,” jelas Rita.

Rita menegaskan bahwa jika orang rebutan hak asuh, sesungguhnya semua pihak memiliki kewajiban asuh. "Kedua orang tua harus sama-sama bekerja sama dalam mengasuh dan mendidik anak walaupun mereka sudah mengakhir hubungan," tegas Rita. 

Sementara Khusniyati Masykuroh, M.Pd, dosen program studi PAUD UHAMKA menyebutkan bahwa banyak sekali dampak perceraian pada kondisi anak. Mulai dari tumbuh kembang anak yang terhambat, ekspresi remaja yang agresif, hingga sulit beradaptasi diri.

“Seharusnya orang tua memikirkan soal bagaimana nasib anak dalam relasi perkawinan. Karena sesungguhnya, anak adalah investasi akhirat orang tua,” pungkas Khusniyati.  (Syifa) 

 


Tags: Hak Anak, perempuan, Perkawinan, Tuntunan, Rumah Tangga, Keluarga
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: nasional



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website