Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Etika Paham Keagamaan Muhammadiyah

Homepage

Etika Paham Keagamaan Muhammadiyah

Rabu, 26-08-2020
Dibaca: 453

Oleh: Robby Karman

Apakah sebetulnya “paham keagamaan Muhammadiyah” itu? Mengapa penting bagi seorang yang aktif dalam Muhammadiyah untuk “patuh” terhadap keputusan organisasi? Ini tentu adalah persoalan yang sudah sangat klise. Namun tetap perlu ditegaskan secara terus menerus mengingat ada saja yang salah memahami hal ini. Apalagi bagi seorang kader Muhammadiyah yang tumbuh dan terdidik dalam lingkungan Muhammadiyah. Mereka seharusnya sudah tidak lagi bingung tentang paham keagamaan bagi Muhammadiyah. Jika kita pernah belajar Kemuhammadiyahan saat bersekolah atau kuliah, kita pasti akan memahami bahwa Muhammadiyah punya visi khas mengenai paham keagamaan. Itu yang menjadi ciri karakter dan identitas Muhammadiyah. Terlebih jika kita terlibat aktif sebagai kader dalam organisasi otonom Muhammadiyah. Seharusnya tidak lagi sekedar “paham” melainkan sudah menginternalisasikannya.

Saya akan memberikan dua ilustrasi. Pertama, seseorang yang baru aktif di Muhammadiyah dan menganggap organisasi sebagai ruang eksistensi alternatif. Orang ini kemudian mengatakan, “Muhammadiyah bukanlah agama, Muhammadiyah hanyalah ormas, soal pemahaman agama ya suka-suka saya. Saya aktif di Muhammadiyah karena saya perlu wadah saja untuk berorganisasi, dan saya memilih Muhammadiyah. Soal pemahaman keagamaan saya tidak ikut Muhammadiyah.” Kedua, seorang yang telah lama terdidik dalam lingkungan Muhammadiyah (misalnya pernah bersekolah yang cukup lama) dan bahkan bekerja atau menjadi pimpinan pada Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) berkata, “Saya aktif di Muhamadiyah tapi tidak ikut paham keagamaan Muhammadiyah.” Bagi saya, orang pada ilustrasi pertama masih bisa dimaklumi, sedangkan yang kedua justru tidak saya mengerti.

Persoalan Mendasar

Muhammadiyah secara etimologis merujuk pada siapa saja yang menjadi “pengikut Nabi Muhammad.” Maka dalam pengertian ini setiap muslim sudah pasti “Muhammadiyah.” Jika anda adalah jamaah Muhammadiyah dalam pengertian etimologis, maka itu sudah benar. Karena kita yakin bahwa akidah Islam yang berporos pada Iman kepada Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw dapat menyelamatkan kita di dunia dan akhirat.

Berdasarkan pengertian etimologis, nama Muhammadiyah merujuk pada organisasi Islam yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijjah 1330 H./ 12 November 1912 M di Kauman Yogyakarta. Jika kita memutuskan untuk menjadi kader Muhammadiyah dalam pengertian terminologis, yakni menjadi kader organisasi Muhammadiyah, tentu konsekuensinya tidak sama dengan kita menjadi Muhammadiyah secara etimologis. Ada ideologi dan paham agama yang mesti ditaati dalam rangka tertib organisasi. Tidak ada paksaan untuk menaati ideologi dan paham agama yang dianut Muhammadiyah, sebagaimana tidak ada paksaan menjadi kader Muhammadiyah. Namun jika kita sudah menjadi kader Muhammadiyah, maka kita “dipaksa” untuk mengindahkan aturan-aturan organisasi.

Ideologi dan paham keagamaan Muhammadiyah tidak mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Muhammadiyah adalah gerakan Islam. Namun jika dalam produk-produk pemikiran keagamaan Muhammadiyah tampak berbeda (misalnya penentuan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal) maka itu adalah bagian dari keragamaan cara memahami nash kitab suci dan hadits.

Paham Agama Menurut Muhammadiyah

Apa itu “paham agama Muhammadiyah”? Istilah “paham agama” sendiri punya perbedaan konotasi antara masa lalu dan masa kini. Istilah “paham agama Muhammadiyah” kini lebih dikenal sebagai pemahaman agama atau tafsir Muhammadiyah atas sebuah persoalan agama.

Secara organisatoris, Muhammadiyah punya bagian khusus yang bertugas mengkaji perihal isu-isu keagamaan yakni Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT). Kita bisa menemukan pandangan Muhammadiyah terhadap isu-isu keIslaman tertentu dari buku-buku seperti Himpunan Putusan Tarjih dan Tanya Jawab Agama yang menghimpun fatwa-fatwa tarjih dan wacana pemikiran keagamaan Muhammadiyah. Semua produk pemikiran keagamaan Muhammadiyah terdokumentasi dengan baik.

Jadi apakah paham agama Muhammadiyah itu? Dalam rumusan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) poin tiga dijelaskan bahwa “Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al Qur’an yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw dan Sunnah Rasulullah Saw berupa penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al Qur’an yang diberikan oleh Rasulullah SAW dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.”

Ada tiga kata kunciepistemologi paham keagamaan Muhammadiyahyang kita dapati dari poin ketiga MKCHM tersebutyakni, “Al Qur’an”, “as-Sunnah”dan “Akal Pikiran.”Jadi jika kita ditanya bagaimana “paham agama Muhammadiyah”, kita menjawab “Muhammadiyah memahami agama berdasarkan Al Quran dan As Sunnah dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan ajaran Islam.”Artinya Muhammadiyah tidak mengabaikan akal pikiran, namun Muhammadiyah juga tidak mempertuhankan akal. Bagi Muhammadiyah akal pikiran adalah alat yang bisa dipakai untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah. Harmonisasi antara Al Quran, As Sunnah dan Akal Pikiran inilah yang diyakini Muhammadiyah bisa membawa kepada kemajuan.

Pemahaman seperti yang disinggung di atas bisa diperiksa melaluiManhaj Tarjih Muhammadiyah yang mengakomodir tiga pendekatan: yakni “bayani”, “Ta’lili”dan “Istishlahi.”Bayani adalah memahami nash secara apa adanya sesuai dengan yang dituliskan. Ta’lili adalah menarik kesimpulan hukum berdasarkan ‘illat suatu hal. Misalnya kita tidak akan menemukan nash mengenai keharaman narkoba. Namun narkoba mempunyai ‘illatyang sama dengan Khamr, yakni memabukkan. Maka hukum narkoba menjadi haram karena serupa dengan Khamr. Istishlahi adalah mengambil hukum terhadap sesuatu yang tak ada dalilnya namun mengandung maslahat yang tak bertentangan dengan syara’. Contohnya mentaati lampu lalu lintas itu wajib, walaupun tidak ada nash yang tegas dari al-Quran dan as-Sunnah.

Manhaj Tarjih kemudian berkembang dari “bayani”, “ta’lili”dan “istishlahi”menjadi “bayani”, “burhani”dan “irfani.”Dalam Manhaj yang terkini, selain akal pikiran, hati suci atau intuisi diadopsi sebagai bagian dari manhaj pemikiran Muhammadiyah. Walaupun antara “bayani”(nash), “burhani”(Akal Pikiran) dan “irfani”(intuisi) tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Lantas bolehkah seorang kader Muhammadiyah mempunyai paham sendiri di luar paham agama Muhammadiyah? Majelis Tarjih terbuka untuk menerima usulan dari kader mengenai pemikiran keagamaan. Hanya saja, untuk menjadi sebuah keputusan resmi, perlu melalui prosedur tertentu. Adapun jika ada kader yang tidak sepakat dengan keputusan tarjih, hendaknya tidak menggembar-gemborkannya bahkan menghasut kader Muhammadiyah lainnya. Kalau mau diamalkan sendiri silahkan, ini bagian dari etika dalam berorganisasi.

Editor: Fauzan AS


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website