Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Jalan Pancasila Muhammadiyah (Bagian II)

Homepage

Jalan Pancasila Muhammadiyah (Bagian II)

Senin, 07-09-2020
Dibaca: 134

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Politik Kebangsaan Muhammadiyah

Kekecewaan pemimpin organisasi Islam dan politisi muslim pada penghapusan Piagam Jakarta tidak serta merta surut sepanjang dekade 1940an hingga 1950an. Meski Muhammadiyah telah menerima dengan sangat lapang dada pada penghapusan “tujuh kata”, pergolakan politik ideologis masih berlangsung selama kepemimpinan Soekarno. Contohnya sebagaimana dicatat oleh Sajoeti Melik dalam Demokrasi Pantja Sila dan Perdjoangan Ideologis Didalamnja (1953) reaksi keras dari Front Mubaligh Islam Sumatera Utara, Partai Islam, Nahdlatul Ulama, GPII, seorang anggota parlemen bernama Isa Anshary dan seorang penulis bernama Saleh Suaidy terhadap pidato Soekarno di Amuntai yang mengatakan bahwa “Indonesia adalah negara nasional jang berdasarkan Pantjasila, dan bukannja Negara Islam!” pada bulan Februari 1953.

Sebelum itu, pidato wejangan Soekarno pada 8 Mei 1951 juga mengundang reaksi keras karena dianggap menyindir “kelompok Islam” sebagai kelompok yang hanya mau memakai sila pertama saja. Beruntung pada waktu itu Hamka berhasil meredam ketegangan dengan menjelaskan bahwa perjuangan melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung misi yang sangat luas sebagaimana tercantum pada empat butir Pancasila yang lain. Dalam bukunya berjudul Urat Tunggang Pantjasial (1951), Hamka menulis:

“Maka saja sama andjurkan dengan beliau, marilah kita kaum Muslimin berdjuang dalam urat tunggangnja Pantja Sila. Sila Ketuhanan Jang Maha Esa sadja, ja’ni dengan artinja jang penuh. Karena bilamana berdjuang dengan Sila ke Tuhanan Jang Maha Esa sadja, didjamin, akan terperliharalah Sila Jang Empat lagi. Dan mana tahu, suatu waktu dikurangi satu, misalnja kebangsaan. Atau dihilangkan sama sekali, namun Ketuhanan Jang Maha Esa akan tetap dalam sadjanja, jang meliputi segala matjam Sila.” (hlm. 34)

Kegaduhan politik antara kelompok Islam (partai dan ormas) dan kelompok nasionalis-sekuler terus melebar hingga tragedi 1965. Apalagi sepeninggal wafat Ki Bagoes Hadikoesoemo pada September 1954, relasi antara Soekarno dan kelompok Islam makin melebar (bdk. Djarnawi Hadikusuma, 1979). Akan tetapi persoalan ketegangan ideologis antara “Islam” dan “nasionalis-sekuler” hanya salah satu episode sejarah. Ada banyak cara menafsir bagaimana respon-respon organisasi Islam terhadap Pancasila. Termasuk sikap kompromistik organisasi Muhammadiyah berhadapan dengan dinamika politik pada masa konsolidasi kebangsaan 1945.

Keberadaan Ki Bagoes Hadikoesoemo sangat penting bagi Soekarno. Hal itu jelas karena mereka berdua merupakan orang pertama yang ditunjuk sebagai perwakilan “tokoh bangsa” pergi ke Tokyo. Ada pun keikutsertaan Mohammad Hatta ke Tokyo adalah sebagai utusan Gunseikan supaya dirinya bisa mempelajari “Nippon Sheishin” (bdk. Hatta, 1982:427). Sejak awal, Soekarno sangat membutuhkan dukungan Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan merasa bahwa dukungan Ki Bagoes teramat penting untuk memastikan bahwa cita-cita kebangsaannya bisa menemukan jembatan pada kelompok Islam. Simak kutipan teks pidato lisan Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK (Badan Penjelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) berikut:

“Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanja, banjak pikiran telah dekemukakan [dikemukakan], — matjam-matjam —, tetapi alangkah benarnja perkatan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mentjari persetudjuan faham. Kita bersama-sama mentjari persatuan philogophische grondslag, mentjari satu ‘Weltanschauung’ jang kita semua setudju. Saja katakan lagi setudju! Jang saudara Yamin setudjui, jang Ki Bagoes setudjui, jang Ki Hadjar setudjui, jang Ki Hadjar setudjui, jang saudara Sanoesi setudjui, jang sdr. Abikoesno setudjui, jang sdr. Lim Koen Hian setudjui, pendeknja ktia semua mentjari satu modus.” (hlm. 10-11)

Pidato lisan itu menjadi buku dengan judul Lahirnja Pantjasila (1953). Pertanyaannya mengapa nama Ki Bagoes sampai disebut dua kali pada kutipan pidato di atas? Mengapa nama Ki Bagoes harus tampil pada banyak tempat dalam pidato Soekarno (hlm. 10, 11, 12, 17, 18)? Pertama, Ki Bagoes adalah orang penting aktivis muslim di Jawa dan seluruh Cabang Muhammadiyah lainnya di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pada tahun 1927 saja Muhammadiyah sudah punya 176 Cabang dan Grup di seluruh Hindia Timur. Jumlah tersebut meningkat pesat pada dekade 1930an. Jadi posisi kepemimpinan Ki Bagoes pada dekade 1940an bahkan lebih luas dari kepemimpinan yang diterima oleh elit nasionalis yang tinggal di Jawa seperti Soekarno dan bahkan Hatta. Apalagi Ki Bagoes turut membidani zaman emas kedua “Islam politik” dengan lahirnya Partai Islam Indonesia tahun 1938. Pendirian partai itu memang menimbulkan gejolak besar pada banyak anggota Muhammadiyah.

Kedua, posisi Muhammadiyah entah bagaimana bisa terhubung baik dengan pemerintah Jepang. Pada 1937, KH. Ahmad Dahlan dan Mas Mansur menginisiasi berdirinya Madjlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Dua tahun berikutnya pada bulan November, organisasi ini menerima undangan pertemuan The Islamic Exhibition yang diselenggarakan oleh The Tokyo Moslem Community and the Dai Nippon Kaikyo Kyokai. Ada lima orang yang diutus MIAI, dua di antaranya adalah aktivis Muhammadiyah yakni Farid Ma’roef dan Abdul Kahar Moezakir. Berikutnya adalah keterlibatan aktivis Muhammadiyah dalam Pembela Tanah Air (Peta) yakni Kasman Singodimejo, Junus Anis dan Sudirman sebagai Kapten. Relasi semacam ini memberi dampak besar pada kelompok nasionalis dalam melihat kelompok Islam. Tentu hubungan antara tokoh Muhammadiyah dan Jepang sendiri tidak selalu berjalan baik. Misalnya Ki Bagoes tidak pernah mau menerima perintah Kolonel Tsuda supaya menginstruksikan kelompok Islam melakukan Saikirei.

Bagi seorang nasionalis seperti Soekarno, posisi Ki Bagoes dengan demikian selain mewakili representasi Muhammadiyah juga adalah pemimpin keagamaan yang diterima secara layak oleh pemerintah dan tentara Jepang. Menurut Djarnawi Hadikusuma (1979:28), penyebutan berulang kali nama Ki Bagoes oleh Soekarno adalah sebagai cara melunakkan hati Ki Bagoes. Anekdot yang didengar Djarnawi bahkan menyebutkan jika Soekarno sampai menangis karena Ki Bagoes kekeuh supaya posisi sila Ketuhanan harus diletakkan pada posisi pertama. Di kemudian hari, urutan sila ini masih menimbulkan perdebatan terus menerus.

Menarik bahwa kelompok Islam seperti Muhammadiyah tidak pernah menolak gagasan Soekarno mengenai philogophische grondslag yang kemudian dirumuskan sebagai Pancasila. Jadi sejak awal mula tokoh Muhammadiyah tidak pernah mempersoalkan gagasan untuk menemukan sebuah ideologi dan filsafat negara-bangsa yang sangat khas bagi negara baru yang akan lahir itu. Mereka hanya mempersoalkan dua hal yakni: urutan sila (“kebangsaan” atau “ketuhanan” yang lebih dulu) dan posisi determinan politik (apakah politik mempengaruhi agama, atau sebaliknya). Hanya dalam dua konteks itu saja posisi Ki Bagoes sering berhadap-hadapan dengan Soekarno dan nasionalis lainnya. Selebihnya, ia menyerahkan urusan teknis kekuasaan dan politik kebangsaan kepada Soekarno dan Hatta. Tidak jarang Ki Bagoes justru menjadi penengah perdebatan Soekarno dan Hatta.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website