Jalan Pancasila Muhammadiyah (Bagian III)
Dibaca: 169
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Muhammadiyah dan Darul Ahdi Wasyahadah
Di balik gemerlap perhelatan Ganefo 1963, Kasman Singodimejo mendekam di penjara yang dingin di Desa Tjiloto Tjianjur. Di sana ia mulai menulis buku berjudul Renungan dari Balik Penjara (1967) sebagai cara mengisi waktu luang menunggu kejelasan penahanan dirinya yang disebut melanggar pasal 169 KUHP. Setelah Masyumi dibubarkan oleh Soekarno, aktivitas politik kelompok muslim menjadi sangat terbatas. Ini kali kedua Kasman ditahan, pertama oleh Belanda pada Mei 1940, dan kini oleh pemerintah negara yang diperjuangkannya. Dalam buku Renungan Kasman banyak menulis mengenai refleksi kebangsaan, mulai dari strategi kelompok Islam mengisi kemerdekaan, tafsir Pancasila, kajian Manipol-Usdek, poros Nasakom hingga perjuangan Islam. Penting diperhatikan, meski berada di dalam penjara, aktivis Muhammadiyah ini dengan sangat jernih menuliskan visi kebangsaannya. Kasman menulis:
“Kaum Muslimin sebagai bagian dari Rakjat Indonesia—bagian jang terbesar—saja umpamakan kini bersama dengan bagian-bagian Rakjat Indonesia jang lain berada di-kapal. Kapal itu namanja R.I. dan kini dengan penuh semangat sedag berevolusi-berlajar [..] di samudera luas menudju Pulau Tudjuan jang namanja ‘Keadilan Sosial’ dimana akan terdapat kemakmuran/kebahagiaan bersama jang merata adil, tanpa penindasan berupa apapun. Nachoda kapal tersebut kini namanja Bung Karno, Landasa kapal itu terbuat dari badja buatan Indonesia jang namanja Ketuhanan J.M.E., sumber Pantjasila. Kompas dan haluan dari kapal tersebut kini adalah Manipol Usdek. Bendera jang berkibar dari kapal tiu ialah Merah Putih (bukan Putih Merah). Nah kita kaum Muslimin berada di kapal itu. Itulah keadaan dan faktanja jang senjata-njatanja.” (hlm. 13)
Sebagaimana termaktub pada kutipan di atas, Kasman mengatakan bahwa umat Islam berada di atas “Kapal” bernama Republik Indonesia bersama-sama kelompok lainnya sebagai “rakyat.” Perhatikan bagaimana Kasman memperluas posisi “kaum Muslimin” sebagai “rakyat” yang ditegaskan sebagai “fakta yang senyata-nyatanya.” Mengherankan bahwa Kasman masih menulis dengan jernih dan lurus mengenai tafsirnya atas Pancasila. Tidak muncul nada dalam tulisan Kasman yang menyindir Soekarno dan Pancasila yang mulai berwujud politik represif.
Fakta bahwa ia dipenjarakan sama sekali tidak mengubah sikapnya atas nilai-nilai luhur Pancasila. Bahkan Kasman percaya bahwa Islam harus terlibat dalam revolusi bangsa yang belum selesai selama kesejahteraan dan keadilan sosial belum terpenuhi. Membaca buku Renungan Kasman, pembaca dihadapkan pada sikap teguh seseorang yang mencintai masa depan bangsanya. Apalagi, dia menyempatkan untuk menulis suatu interpretasi yang cukup panjang (nyaris 100 halaman) mengenai makna butir-butir Pancasila. Penderitaan Kasman mirip sebagaimana yang dialami oleh Buya Hamka ketika dipenjarakan Soekarno. Mereka bersikap objektif terhadap penahanan sebagai pengorbanan atas situasi bangsa yang dengan segala kekurangannya hendak menapaki jejak baru.
Kebanyakan tokoh-tokoh Islam modernis termasuk sebagian besarnya dari Muhammadiyah merasakan pahitnya situasi politik selama masa kebangkitan republik. KH. Mas Mansur meninggal di dalam tahanan NICA pada 1946. Kasman ditahan pemerintah rezim Soekarno pada 1963, setahun berikutnya Buya Hamka pada 1964. Pengorbanan yang tidak kecil bagi bangsa Indonesia. Pergantian dari rezim ke rezim pun tidak selalu berarti baik bagi Muhammadiyah. Pada masa Soeharto, posisi Muhammadiyah sama sulitnya. Berikutnya ketika era reformasi Muhammadiyah masih harus berhadapan dengan (lagi) tuduhan sebagai “perpanjangan tangan” kaum Wahhabi.
Jalan Pancasila Muhammadiyah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa lenyapnya riwayat politik nasionalisme Islam modernis mempengaruhi perdebatan kebangsaan Indonesia kontemporer. Termasuk di dalamnya adalah peningkatan sentimentalitas dalam perbincangan ideologi kebangsaan akhir-akhir ini. Muhammadiyah berada di seberang jalan yang jauh lebih terjal karena dianggap kurang mempromosikan gerakan melawan Islam transnasional yang seringkali dianggap sebagai indikator penting patriotisme pasca reformasi. Jika kita menarik benang lebih jauh lagi asumsi itu terlampau keliru dan mengada-ada.
Kedatangan Jepang ke Indonesia pada 1942 berpengaruh langsung pada posisi kelompok Islam. Pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda, kelompok Islam tidak bisa berbuat banyak dalam bidang politik, kebudayaan dan organisasi. Memang Muhammadiyah termasuk satu-satunya organisasi Islam yang mampu berkembang luas hingga ke luar Jawa. Tapi kondisi secara umum di bawah pemerintahan Belanda tidak menguntungkan sama sekali. Sebaliknya, kelas priyayi Jawa menempati posisi bagus pada masa Belanda. Membaca sejarah nasionalisme tanpa memperhatikan pengaruh kebijakan Belanda pada eksistensi Islam modernis berakibat buruk pada polarisasi perdebatan nasionalisme pada masa kini. Contohnya bukan saja pada kontribusi aktivis, ulama dan tokoh laki-laki, tapi juga peran aktivis perempuan dari organisasi Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah) jadi seolah-olah tanpa pijakan historis.
Ada tiga “jalan Pancasila” Muhammadiyah. Pertama, sebagai penggagas perumusan Pancasila melalui keterlibatan Ki Bagoes Hadikoesoemo (BPUPKI dan PPKI) dan Abdul Kahar Moezakir (BPUPKI dan Panitia Sembilan). Kedua, sebagai inisiator pertama tafsir teologis dan politik atas butir-butir Pancasila, contohnya oleh Buya Hamka Urat Tunggang Pantjasila (1951) dan Kasman Singodimedjo Renungan dari Balik Penjara (1967). Ketiga, sebagai komunitas epistemik, Muhammadiyah menggunakan Pancasila dan UUD 1945 sebagai tonggak moral dan etika dalam setiap rumusan hidup berbangsa dan bernegara.
Meski sejarah Pancasila sendiri mengandung proses yang mengecewakan bagi kelompok Islam modernis seperti Muhammadiyah, bukan berarti bahwa komitmen teologis dan politik mereka berbelok arah. Sebaliknya, pasca perumusan, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang sangat terikat dengan cita-cita moral Pancasila. Pada teks sambutan Muktamar Pimpinan Pusat Aisyiyah di Bandung tahun 1965 tertulis:
“Aisjijah harus menghadapi tantangan zamannja, dengan bersendjatakan pedoman2 [..] pedoman kita adalah, Pantjasila dan Manipol serta segala pedoman pelaksanaannja, dan anggaran dasar Muhammadijah, qoidah2nja, Chittah Muhammadijah dan kepribadiannja.”
Penegasan keterikatan antara Muhammadiyah dan visi Kebangsaan berlangsung sepanjang waktu. Pada 2012 di kota yang sama yakni Bandung Muhammadiyah memformulasikan keterikatan itu dengan memproklamirkan konsep Dar al-Ahdi wa Dar al-Syahadah (bdk. Nashir, 2014:116). Tidak diragukan lagi bagi Muhammadiyah Pancasila adalah keyakinan dan cita-cita keadilan sosial. Suatu penemuan jati diri kebangsaan yang historis dan penuh pengorbanan.
Tags:
Arsip Berita