Muhammadiyah - Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah
.: Home > Berita > Dahaga Keadilan Bagi Petani Indonesia

Homepage

Dahaga Keadilan Bagi Petani Indonesia

Jum'at, 25-09-2020
Dibaca: 107

MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA -- Setiap tahun, setiap tanggal 24 September, sejak tahun 1963  diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Namun, banyak diantara sesama anak bangsa termasuk juga para pemegang otoritas politik dan kebijakan tidak mampu memahami makna dan tujuan ditetapkannya Hari Tani.

Hal tersebut menurut Nu’man Iskandar, Ketua Buruh Tani dan Nelayan Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, sebagai peringatan seremonial yang direpitisi secara terus menerus. Namun nasib petaninya tetap saja tertindas, terbelakang, dan termarjinalkan di Negara Agraris Indonesia ini.

“Pada saat yang sama, petani harus hidup dengan kesulitan mereka. Dan jika mereka berhasil, hasil karya dan kerjanya akan diklaim sebagai hasil kerja pemilik otoritas politik dan kebijakan itu. Mereka para petani yang berhasil itu kemudian dielu-elukan, disanjung-sanjung. Tapi setelah itu, petani akan dilupakan kembali,” ungkap Nu’man secara tertulis yang diterima tim muhammadiyah.id pada Jum’at (25/9).

Menurutnya, Hari Tani Nasional harus diguyur dengan makna substantif atas maksud diadakannya hari tani tersebut. Sehingga peringatan Hari Tani Nasional bukan sekedar dilakukan untuk mengugurkan agenda tahunan. Serta mengembalikan Hari Tani kepada pemiliknya, yakni para petani Indonesia. Karena nyatanya, Peringatan Hari Tani Nasional lepas dari koridor pemiliknya, dan digunakan sebagai show up para elit.

“Para petani bukan tidak peduli dengan Hari Tani, tapi mereka harus bertarung untuk hidup mereka sendiri dan keluarga. Dan upacara itu, tidak punya dampak apa-apa terhadap kondisi mereka. Mereka masih harus tetap memikirkan nasib dan pertanian mereka sendiri. Sekali lagi, sendiri,” imbuhnya.

Secara serius Nu’man mengajak para pemangku kebijakan untuk kembali menjiwai dokumen dasar ditetapkannya Hari Tani, sebagaimana termaktub dalam Keppres No. 169/1963. Secara substantif, dokumen tersebut menginggatkan bahwa tanggal 24 September sebagai hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hari kemenangan bagi Rakyat Tani Indonesia.

Hari Tani Nasional adalah hari diletakkannya dasar-dasar bagi penyelengaraan Landreform untuk mengikis habis sisa-sia feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakyat Petani dapat membebaskan diri dari macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah. Sehingga melepangkan jalan menuju kearah masyarakat adil dan makmur.

Selanjutnya, bahwa akhir bulan September matahari melintasi garis khatulistiwa kearah selatan, musim labuh (turun ke sawah) hamper datang waktunya. Rakyat Tani perlu bergembira dan bersykur kepada Tuhan karena akan menerima rahmat-Nya yang berupa hujan. Perlu pula digerakkan agar daya kerja dan daya ciptanya berkembang untuk menciptakan produksi yang berlimpah-limpah, sebagai syarat mutlak mencapai masyarakat adil dan makmur.

“Dan yang ketiga bahwa dianggap tepat tanggal 24 September diperigati dan dirayakan oleh segenap kaum tani Indonesia dan diakui sebagai Hari Tani,” kata Nu’man meneruskan dokumen tersebut.

Namun saat ini, keadaan petani menurut Nu’man jauh panggang dari api. Sebab kebijakan semakin timpang, luasan lahan milik petani saat ini mengalami penyempitan karena dibagi dengan anak turunan mereka. Disisi lain, kepemilikan lahan korporasi semakin bertambah dan beranak melalui Hak Guna Usah (HGU).

Ia juga menyoroti keseriusan pemerintah dalam menjalankan UUPA, karena saat ini hanya sebagian saja yang dijalankan. Karena setiap ada masalah petani yang berhadapan dengan korporasi, petani sering kali berada pada pihak yang harus kalah. Dan jika petani melakukan protes, petani acapkali akan dicap melanggar ketertiban umum hingga dianggap berlaku subversif.

“Soal landreform, kita masih menganut feodalisme yang dibalut demokrasi. Baju feodalisme bisa saja berubah menjadi demokrasi, tapi soal isi dalam perilakunya, tetap saja feodalis. Sekali lagi, UUPA sebagai pintu mewujudkan keadilan sosial bagi petani tidak pernah serius dijalankan. UUPA memang sering dijadikan dasar kebijakan, tapi hanya sebagian saja,” urainya.

Masih banyak kebijakan yang menyangkut hajat hidup petani yang perlu dilakukan perbaikan, karena belum lagi menyoal kebijakan pertanian yang di mana selalu menempatkan petani sebagai Liyan, petani ditempatkan sebagai anak bangsa kelas Paria ataupun kelas Sudra. Yang kemudian dari sini profesi petani dianggap sebagai aib.

“Pertanian kita ini bukan melulu soal benih dan obat-obatan yang sebagian besar dihasilkan korporasi asing hasil PMA itu, atau soal pupuk dan traktor. Lebih dari itu, keadilan sosial tentang tanah ini adalah kunci dari kedaulatan pangan. Kalau tanah saja tidak mereka kuasai, dimana petani bisa menanam,” pungkasnya. (a'n)


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website