Umat Islam Selalu Menjadi Penentu di Saat Paling Krusial
Dibaca: 115
MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, tidak mungkin umat Islam yang mayoritas di negeri ini bisa merdekajika dia tidak berdaya.
“Tidak mungkin umat Islam nanti setelah Indonesia merdeka kala itu (dalam Pidatonya Kiyai Dahlan) akan berdaya jika umatnya tidak berilmu, tetapi juga tidak kuat secara fisik, mental dan kesejahteraan,” tutur Haedar dalam acara webinar Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI) pada Ahad (19/10).
Haedar menuturkan, maka dari situlah kemudian lahir berbagai gerakan Muhammadiyah seperti bisa disaksikan seperti sekarang ini.
“Alhamdulillah untuk Rumah Sakit diera pandemi ini ada 89 Rumah Sakit yang aktif menangani pandemi Covid-19 dengan berbagai macam kesulitannya. Sehingga kalau dihitung nilai nominal uang itu sudahsetengah triliunrupiahlebih kita (Muhammadiyah) berbuat untuk pandemi ini,” tutur Haedar.
Bagaimanalangkah Muhammadiyah dalammembangun negara dan bangsa? Haedar menjelaskan bahwa Muhammadiyah tidak terlalu muluk-muluk mengkonsepkan tentang bangsa, tentang negara, tapi Kiai Dahlan mencoba melakukan usaha-usaha bahwa bangsa dan negara ini bisa merdeka jika ia mempunyai kekuatan mandiri dan pilar-pilar kemerdekaan itu juga harus dibangun di atas pendidikan.
“Nah satu diantaranya yang juga penting adalah kekuatan perempuan. Maka Kiai Dahlan bersama Nyi Walidah mendirikan ‘Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah yang mengikuti jejak Siti ‘Aisyah RA, yaitu istri yang cerdas dan berperan dalam membangun umat,” ucapnya.
Maka dari ‘Aisyiyah itulah lahir berbagai Amal Usaha, seperti PAUD, TK, dan pendidikan dasar hingga atas.
“Alhamdulillah sekarang TK ABA berjumlah 23.000 lebih, dan bahkan sekarang sudah punya Universitas di Yogyakarta, Surakarta dan yang terbaru Unisa Bandung,” papar Haedar.
Apa yang dilakukan ‘Aisyiyah menurut Haedar telah menunjukan bahwa Islam itu memuliakan kaum perempuan sama mulianya dengan laki-laki dan memuliakan laki-laki sama dengan memuliakan perempuan.
“Fi ahsani taqwimdan juga perempuan juga berhak untuk masuk surga dengan peran-peran amal salihnya dan peran amaliyahnya,” ucap Haedar.
Di tahun 1918 bahkan Muhammadiyah mendirikan Hizbul Wathan Kepanduan Tanah Air dan dari Hizbul Wathan itu lahir Jendral Sudirman yang merupakan tokoh dan Bapak TNI bahkan tokoh Perang Gerilya yang mengguncang dunia.
“Ini bentuk wathaniah atau muwathoniah, bentuk kesadaran kebangsaan Muhammadiyah dan kesadaran tentang kewargaan Muhammadiyah. Bahwa bangsa dan negara yang merdeka itu kewargaanya harus kuat tetapi pada saat yang sama nationnya atau sistem negara bangsanya harus kuat,” tegas Haedar.
Bahkan pada titik yang paling krusial ketika ada deadlock Pancasila 1 Juni dengan Piagam Jakarta keberatan dari Kelompok Indonesia Timur, demi bangsa dan negara Ki Bagus Hadikusumo, Ketua PP Muhammadiyahsaat itu bersama Mr Kasman Singodimedjo lalu juga dimediasi oleh Bung Hatta dan Teuku Hasan dan tokoh-tokoh Islam yang lain. Kemudian ada titik temu, lalu lahirlah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menjadi Sila Pertama.
“Dan akhirnya kodifikasi bahwa Pancasila yang resmi adalah 18 Agustus 1945. Kompromi itu demi bangsa dan negara dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam dengan penentu terakhir Ki Bagus Hadikusumo, bukti bahwa umat Islam Indonesia sejak belum Indonesia merdeka pada titik krusial satu hari setelah Indonesia merdeka memberi sumbangan terbesar untuk berdirinya NKRI,” tutur Haedar.
Haedar menyimpulkan bahwa lewat Muhammadiyah dan gerakan-gerakan Islam dan tokoh Islam yang lain, kecintaan dan integrasi antara Islam dan Indonesia itu sudah menyatu dalam denyut nadi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
“Tidak ada keraguan, jadi kalau ada yang meragukan sikap wathaniah atau mu-wathaniah umat Islam mereka tidak paham atau tidak belajar sejarah. Dan tidak paham bagaimana umat Islam berkontribusi untuk bangsa dan negara disaat paling krusial,” tutup Haedar.
Tags:
Arsip Berita