Masalah Merapi, Pemerintah Harus Dengarkan Suara Rakyat Bawah
Dibaca: 2924
Yogyakarta- Kebijakan yang diterapkan pemerintah baik pusat maupun daerah, ditengarai kurang memasukkan kearifan lokal masyarakat, sehingga masyarakat masih kesulitan untuk menerima solusi dari pemerintah yang terkesan memaksa.
Hal tersebut mengemuka dalam Sarasehan dan penyerahan hadiah lomba fotografi yang diselenggarakan Lazismu dan Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah di gedung PP Muhammadiyah Jl. Cik Di Tiro No. 23 Yogyakarta (18/06/2011). Hadir sebagai pembicara dalam Sarasehan tersebut, Muhammad Nashir dari Jalin Merapi, Arif Nurkholis dari Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah, dan Eko Prasetyo dari PUSHAM UII. Arif Nurkholis dar Muhammadiyah mengungkapkan, saat ini pemerintah daerah melalui BPBD mengalami kesulitan untuk mensosialisasikan mengenai relokasi warga dari wilayah rawan bencana, padahal relokasi tersebut jelas sangat diperlukan demi keselamatan jiwa dan harta benda warga sekitar. “Pemerintah kesulitan untuk menjelaskan dengan bahasa lokal mengenai pentingnya relokasi bagi masyarakat yang menempati daerah rawan bencana, hal tersebut menyiratkan bahwa pemerintah masih perlu menggali dan mendengar masyarakat bawah, serta tidak menjunjung tinggi teori-teori kebencanaan,” jelasnya.
Muhammad Nashir dari Jalin Merapi menceritakan, selama keadaan darurat meletusnya gunung Merapi, khususnya di daerah seperti Klaten, masyarakat telah siap dengan perangkat pengungsian. “Masyarakat di beberapa desa telah mempersiapkan diri untuk mempersiapkan pengungsian yang sewaktu-waktu akan dipergunakan bagi warga desa tetangga yang harus mengungsi. Warga terbukti telah mempunyai kearifan lokal dalam menanggulangi bencana tanpa mempuyai SOP yang baku dari pemerintah, sehingga pemerintah seharusnya juga banyak melihat dan menerima masukan sebagai formula untuk mengambil kebijakan,” ungkapnya.
Sementara itu Eko Prasetyo dari PUSHAM UII mengatakan mengenai pentingnya figur Kepemimpinan dan kesabaran dalam berkomunikasi pada masyarakat yang terkena bencana. Eko mencontohkan, beberapa walikota baik Jogja maupun Solo pernah mengalami susahnya merelokasi pasar yang telah lama ditinggali sebagai penghasilan utama. “Taman Pintar di Yogyakarta berhasil memindahkan begitu banyak pedagang baik buku maupun buah, dengan tanpa gejolak yang berarti, dari pengalaman tersebut dapat diambil pelajaran untuk kasus di bencana,” jelasnya. Figur pemimpin menurut Eko, tak kalah penting, hal tersebut bisa dilihat dari figur seperti Mahmoud Ahmadinejad yang berasil sampai tampuk presiden salah satu faktornya adalah karena baerhasil dalam memanagemen bencana saat menjadi walikota Teheran.
Dalam diskusi tersebut Muhammad Nashir menengarai mulai munculnya konflik diantara warga Merapi mengenai batas-batas tanah yang saat ini sudah hilang karena letusan Merapi, hal tersebut masih ditambah pekerjaan rumah pemerintah mengenai Jatah Hidup korban Merapi yang baru sekali diterima yang berbeda dari janji sebelumnya, serta tidak jelasnya uang rekonstruksi rumah yang rusak yang saat ini bertambah simpangsiur. Menurut Nashir, apabila pemerintah terkesan ingkar janji, maka jangan salahkan masyarakat yang tidak mempercayai segala alasan logis yang dibangun pemerintah untuk merelokasi warga.
Tags: merapi, relokasi, pemberdayaan, bencana alam, Lazismu, MDMC
Arsip Berita