Haedar : Dibutuhkan Ketulusan dalam Membangun Bangsa
Dibaca: 306
MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA - Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki modal sejarah, modal ruhaniah dan modal intelektual yang dapat dikatakan cukup serta dianugerahi oleh Tuhan, disamping kemerdekaan yang luar biasa dan juga kekayaan alam.
Hal itu disampaikan Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat hadir dalam Hut 9 tahun tvOne bertajuk Merekatkan Bangsa di Jakarta, Selasa (14/2). Ia juga menjelaskan bahwa dalam titik sejarah yang paling kritis sesungguhnya bangsa ini juga diberi khazanah oleh para pendiri bangsa tentang makna pengorbanan.
“Ketika tokoh islam yang terlibat dalam merumuskan pancasila, pada akhirnya harus mencoret tujuh kata dan kunci terakhir ada di Ki Bagus Hadikusumo - Ketua Umum PP Muhamamdiyah waktu itu – mereka bukan tanpa berkorban, bahkan bung Karno sebagai penggagas jalan tengah itu sampai menangis,” ungkap Haedar lirih.
Pada proses perjalanan yang panjang, menurut Haedar, ada sesuatu yang hilang di tubuh bangsa ini dan jika dikatakan adakah keretakan pada bangsa ini, pihaknya mengatakan bahwa terdapat gejala retak pada bangsa ini, dan mungkin saja ada musibah besar yang menimpa bangsa ini, karena tidak mungkin ada bangsa besar yang tanpa masalah.
“Saya merujuk pada Al-Quran surat Al-Isra ayat 16, ini bisa jadi filosofi kita dalam berbangsa, jika Allah menghendaki sebuah bangsa itu hancur maka Ia biarkan para elit bangsa itu untuk berbuat sekehendaknya, lalu diingatkan oleh mereka yang membawa kebenaran, dia tetap tebal muka, ugal-ugalan dan dia tetap gegabah bahkan terus berjalan dengan kesalahan dan keserakahannya lalu bangsa pun jadi hancur,” terang Haedar
Menurut Haedar, ada tiga hal yang bisa membuat bangsa ini retak. Pertama adalah sifat sembrono dari warga bangsa atau elit bangsa yang kemudian menjadi culture dan dibenarkan oleh publik. Kedua adalah sistem yang lemah yang tidak lagi menggunakan sistem hukum, sistem politik dan tidak bisa lagi menegakan diri diantara posisi yang benar atau salah.
“Ketiga adalah value, nilai-nilai kebangsaan yang tidak dipahami, tidak dihayati, hanya dihafal. Pembukaan UUD 1945, pancasila, kemudian semangat para pendiri bangsa itu lewat hanya sekedar hafalan, tidak menjadi value,” imbuh Haedar.
Tapi Haedar menyatakan bahwa pihaknya masih optimis, karena arus besar kita ini sebenarnya masih ada dalam sebuah semangat untuk bersama, sebagaimana dikatakan Bung Karno, Indonesia ini akan tetap tegak ketika ada gotong royong, sementara Bung Hatta mengatakan ketika kolektifitas itu menjadi nafas gerakan hidup kita.
“Hampir semua tokoh bangsa yang punya jiwa negarawan mewariskan nilai-nilai itu, tinggal maukah kita semua termasuk yang hadir disini untuk menyerap nilai itu dan mempraktikannya dalam kata bukan retorika. Maka itu berpulang pada hati nurani masing-masing,” pungkas Haedar.
Di akhir, Haedar menyampaikan bahwa Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan semua kekuatan-kekuatan agama di sudut negeri ini memiliki semangat yang sama bahwa keretakan itu sesuatu yang wajar namun semua harus terus berkomunikasi, berdialog, terus mencari jalan dan kuncinya adalah ketulusan. (raipan)
Tags: muhammadiyah, bangsa, membangun, ketulusan
Arsip Berita