Jum'at, 29 Maret 2024

Aqidah Islam

Khusyu’
Mohammad Damami


Salah satu tanda keberuntungan orang beriman adalah jika dalam shalatnya dapat dilaksanakan dengan khusyu’. Dalam  Al-Qur’an ditegaskan (Q.s. Al-Mu’minun [23]: 1-2): qad aflaha-‘l-mu’minuuna alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uuna = Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka. Lalu banyak orang  bertanya, apa dan bagaimana yang disebut khusyu’ dalam shalat? Jawabannya memang bisa beragam. Salah satunya seperti yang dituliskan di bawah ini.

Dari segi bahasa, kata “khusyu’” berarti “tunduk” atau “merendah diri”. Artinya, perlakuan tunduk dan merendah diri tersebut didasarkan pada kesadaran bahwa  dirinya memang dalam posisi lebih lemah dan lebih banyak kekurangan, sedangkan yang dihadapi adalah pihak yang kuat dan jauh lebih sempurna. Dalam Al-Qur’an kata “khusyu’” ini selalu dikaitkan dengan masalah ketuhanan. Karena itu arti dari “khusyu’” adalah tunduk dan merendah diri secara penuh kesadaran. Sebab yang dihadapi adalah Tuhan Yang Maha Kuat dan Maha Sempurna.

Bagaimana seseorang dapat mencapai derajat khusyu’ dalam shalatnya? Ada beberapa syarat yang bersifat teknis yang perlu dilakukan kalau seseorang ingin mencapai derajat khusyu’ dalam shalat. Pertama, sadar peka-waktu. Artinya, shalat segera dikerjakan kalau memang waktu shalat telah masuk dan diusahakan awal waktu. Dalam sebuah Hadits dituliskan sebagai berikut: ‘an ‘abdillaahi-’bni mas’uudin radliya-’llaahu ‘anhu qaala saaltu rasuula-’llaahi alla-’llaahu ‘alaihi wa sal-lama ayyu-’l-’amali ahabbu ila-‘llaahi qaala ash-shalaatu ’alaa waqtihaa qultu tsumma ayyun qaala  al-jihaadu fii sabiili- ‘lllahi = Dari Abdullah bin Mas’ud ra (diceritakan bahwa) dia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw:  Amal apa yang paling disukai Allah?” Rasulullah saw menjawab: “Shalat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Rasulullah saw menjawab: “Berbuat kebajikan kepada kedua orangtua”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Rasulullah saw menjawab: “Berjuang di jalan Allah”,  (Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Secara psikologis dapat ditebak, bahwa siapa saja peka-waktu terhadap  pekerjaan yang dihadapi, maka berarti dia menampakkan kesungguh-sungguhannya dan menunjukkan penghargaan terhadap apa yang akan dikerjakannya itu. Karena itu, rumah dekat masjid/musholla/langgar, kalender waktu shalat, alarm HP waktu shalat, dan membawa arloji sungguh diutamakan bagi seorang Mukmin.

Kedua, berjamaah. Kata orang-orang bijak, bahwa  beras menjadi putih karena antara butir-butir beras tersebut saling bergesekan satu dengan lain secara intensif ketika ditumbuk  atau ketika dimasukkan ke dalam mesin slep beras. Kondisi berjamaah demikian juga. Dalam berjamaah diatur shaf/ baris dan  kerekatannya. Setiap imam shalat sebelum takbir mulai shalat selalu mengatakan “shawwuu shufuufakum fa inna tashfiyata-’sh- shufuufi min tamaami- ’sh-shalaah” = Luruskan shaf-shafmu karena sesungguhnya lurusnya shaf-shaf itu dari tanda kesempurnaan  shalat. Dengan berjamaah, satu orang; Mukmin dengan Mukmin lainnya bisa saling belajar dan meniru tentang  kefasihan bacaan, ketenangan shalat, ketertiban shalat, kerapihan pakaian shalat, disiplin waktu shalat, dan sebagainya.  Dengan demikian, setiap orang Mukmin akan dapat menutup kekurangannya dalam melaksanakan shalat. Itulah antara lain  sebabnya pahala shalat berjamaah berlipat 27 (dua puluh tujuh) kali.

Ketiga, thuma’ninah. Artinya, shalat dilakukan dengan  penuh ketenangan, tidak tergesa-gesa, tidak terburu-buru. Cukup waktu. Khususnya, ketika ruku’, sujud, dan duduk di antara dua  sujud. Seperti diketahui, muatan shalat pada hakikatnya adalah doa yang memerlukan penghayatan.

Keempat, paham terjemahan bacaan. Bacaan dalam shalat bagian terbesar adalah pujian  dan doa. Semuanya dalam bahasa Arab. Karena itu, agar orang yang melakukan shalat memahami apa isi dari pujian dan doa  tersebut, maka perlu dipahami apa terjemahan dari ucapan pujian dan doa tersebut. Dengan memahami muatan bacaan, maka  makin mantaplah shalat seseorang.

Sebab, bacaan dalam shalat bukanlah pengucapan yang bersifat mekanis tanpa pesan, makna, dan tujuan yang jelas. Melainkan sebuah pengungkapan batin yang bersifat fungsional dan dihayati secara mendalam. Karena itu, apa saja yang dibaca seharusnya sudah dipahami isinya. Keharusan membaca teks yang berbahasa  Arab dalam shalat tidak seharusnya menipiskan keinginan untuk memahami isi bacaannya.

Kelima, hadir hati. Artinya, hati  perlu dikonsentrasikan penuh dalam menghayati gerakan dan bacaan shalat seluruhnya. Bahwa antara gerak shalat dan bacaan shalat ada ikatan yang saling menali (talitemali). Isi bacaan sangat mungkin dapat lebih ditangkap dengan pemahaman simbolik terhadap gerak shalat. Bacaan ruku’, misalnya, dapat lebih dipahami dan dihayati kalau orang makin mendalami makna simbolik dari gerak ruku’ yang dilakukannya. Di situlah hati akan hadir dan hati tidak akan terganggu oleh faktor-faktor lainnya.

Jadi, khusyu’ itu merupakan kondisi atau derajat batin yang disuasanai rasa tunduk dan merendah diri di hadapan Allah  SwT. Untuk meraihnya dapat dipakai cara-cara yang bersifat teknis yang 5 (lima) macamnya di atas. Insya Allah, kalau  kelima macam cara tersebut sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya, rasa khusyu’ akan sangat mungkin diraih. Wallaahu a’lam bishshawaab.

Menu Terkait