Kamis, 28 Maret 2024

Aqidah Islam

Orang Beriman Mengawal Kekuasaan Allah
Mohammad Damami


Menurut Al-Qur’an, kesadaran tentang “kekuasaan” itu tidak dapat dilepaskan dari diri manusia. Dikatakan dalam Al-Qur’an, bahwa sekalipun kedudukan manusia itu ditegaskan sebagai “hamba” (Adz-Dzaariyaat [51]: 56), namun manusia dianugerahi peranan sebagai “khalifah” Allah SwT, yaitu sebagai wakil atau pengemban amanah Allah SwT di planet bumi yang  atu-satunya ini (Al-Baqarah [2]: 30) yang memiliki tugas sebagai “musta’mir” atau pemakmur di planet bumi itu sendiri (Hud [11]:  61). Sebab, segala isi planet bumi itu memang disediakan Allah SwT untuk manusia seluruhnya, bukan untuk makhluk  yang lain (Al-Baqarah [3]: 29), makhluk jin misalnya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau manusia memiliki naluri mengejar, ingin memiliki, dan ingin menikmati “kekuasaan” di atas planet bumi ini ketika mereka masih hidup.

Sungguhpun manusia dianugerahi Allah SwT naluri ingin berkuasa di atas, namun hakikat dan operasionalisasi kekuasaan yang  dianugerahkan tersebut perlu dipahami dan disadari sepenuhnya oleh manusia. Sebab, kalau tidak demikian, justru kekuasaan yang ingin dikejarnya, dimilikinya, dan dinikmatinya itu akan menyerang balik kepada dirinya sendiri yang sifatnya kontra produktif. Misalnya jatuh dari kursi kekuasaan dalam keadaan malu dan terhina, akan menjadi cacat hidup selamalamanya,  akan menjadi pemusnah manusia, akan membuat penderitaan tak terperikan bagi berjuta-juta manusia yang lain, dan bahkan menjadi penyebab rusaknya lingkungan hidup dan keseimbangan diplanet bumi yang sekali lagi, satu-satunya ini. Ungkapan tersebut dapat dibuktikan kalau orang mau membuka lembaran-lembaran catatan sejarah yang telah dipublikasikan selama ini.

Apa hakikat “kekuasaan“ yang dianugerahkan Allah SwT  kepada manusia itu? Kekuasaan yang dimiliki manusia adalah kekuasaan yang diwakilkan oleh Allah SwT yang dalam kekuasaan tersebut dipenuhi rasa tanggungjawab yang sangat berat yang meliputi wajib memakmurkan kehidupan di planet bumi, menjaga hukum-hukum keseimbangan alam (Ar-Rahman [55]: 7- 9), dan menjaga dari kerusakan lingkungan (Ar-Ruum [30]: 41). Perlu ditegaskan di sini, yang dimaksud “kekuasaan” di sini bukan  sekedar kekuasaan karena sistem aturan politik (seperti kekuasaan yang melekat pada jabatan selaku Presiden,  Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan semacamnya), organisasi ekonomi (seperti selaku Komisaris, Direktur, dan semacamnya), organisasi militer (seperti selaku Panglima, Komandan Peleton, dan semacamnya), organisasi sosial pada umumnya (seperti Ketua, Sekretaris, Bendahara, Koordinator Seksi, dan semacamnya), melainkan juga kekuasaan yang melekat  setiap individu, seperti kebebasan usaha untuk “memiliki” (baca: nafsu memiliki), untuk “menikmati” (baca: nafsu menikmati), dan  nafsu “mengatur”.

Selanjutnya, bagaimana operasionalisasi “kekuasaan” itu mengingat batasan (definisi) “kekuasaan” yang terumus di atas? Bahwa betapapun besar dan kuatnya kekuasaan yang dimiliki, apakah itu kekuasaan yang melekat pada setiap diri individu manusia, atau kekuasaan karena aturan sistem, menurut Al-Qur’an, tetaplah kekuasaan tersebut titipan Allah SwT, Sang Maha Penguasa Alam Semesta ini. Karena itu, untuk mengoperasionalkan kekuasaan yang dimiliki, maka manusia tetap  terikat oleh koridor aturan dan petunjuk dari Allah SwT, Tuhan yang telah memberikan wewenang (kekhalifahan) kepada manusia. Jadi, pengoperasionalan kekuasaan tidakuntuk memuaskan nafsu-kuasa/ mengatur, nafsu memiliki, dan nafsu menikmati, selainkan sebagai wujud rasa tanggungjawab yang besar terhadap pemilik kekuasaan yang sebenarnya, yang sejatinya, yaitu Allah SwT. Oleh karena itu, siapa pun orangnya kalau ingin disebut pemegang “kekuasaan” dalam arti yang  sesungguh-sungguhnya adalah orang yang benar-benar menyadari bahwa dirinya hanyalah selaku pelaksana kekuasaan Allah  SwT di planet bumi ini dan tidak pernah terbersit sedikit pun dalam hatinya bahwa dirinya memiliki kekuasaan yang sepenuh-penuhnya, sebebasnya. Atau dengan lain perkataan, pemegang “kekuasaan” yang dalam arti yang sesungguh-sungguhnya adalah pemegang kekuasaan yang beriman. Sebab, sifat dan kebiasaan orang yang benar-benar beriman (Mukmin) adalah senantiasa berkonsultasi dan melaporkan segala  tindakan dan perbuatannya kepada Allah SwT misalnya lewat dzikir  (mengingat secara fungsional atas Kekuasaan Allah dan hasilnya kalau taat kepada-Nya serta akibatnya  kalau melenceng dari aturan-Nya),  doa, dan disiplin shalat dengan khusyu’.

Berdasar uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa hanya orang  berimanlah yang tahu persis dalam memahami hakikat kekuasaan dan bagaimana pemanfaatan kekuasaan dalam proses-proses  operasionalisasinya. Oleh karena itu, sejajar dengan posisi orang yang beriraan tersebut, maka orang beriman juga  merasa bertugas untuk mengawal “kekuasaan” yang telah dianugerahkan Allah SwT kepada manusia tersebut agar dipegang  dan dijalankan sebagaimana mestinya, sesuai dengan koridor aturan Allah SwT. Siapa pun yang memegang kekuasaan, maka orang beriman yang lain ada kewajiban untuk mengontrol apakah kekuasaan tersebut dijalankan secara benar menurut koridor aturan Allah SwT. Seperti berbuat adil, menyejahterakan orang/rakyat yang dipimpin, menepati janji-janji yang telah  diucapkan, dan sebagainya. ataukah belum atau bahkan tidak. Itulah pekerti orang yang beriman. Wallaahu a’lam bishshawaab.

Menu Terkait