Berhaji, Untuk Apa?
Muhsin Hariyanto
Dosen Tetap FAI UMY dan Dosen Tidak Tetap STIKES AISYIYAH Yogyakarta
Banyak orang berhaji, tetapi banyak juga orang korupsi. Inilah ungkapan sinis orang terhadap realitas social di negeri kita tercinta. Padahal, hamper setiap calon jamaah haji yang berpamitan kepada komunitasnya selalu ditamui oleh banyak orang dan sekailgus banyak tetangga dan sanak saudara mereka yang sejak menjelang keberangkatan para calon jamaah haji itu mendoakan dalam beragam doa yang antara lain bahkan berbentuk seperti paduan suara: "Semoga menjadi haji yang mabrur . Haji yang mabrur yang diharapkan hadir ke tengah masyarakat kita adalah haji yang magbul, yang pahalanya diterima Allah SwT.
Mereka, para jamaah haji itu, ditengarai, atau minimal sangat diharapkan benar-benar sadar dan memahami makna firman Aliah SwT berfirman: "Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan (hari raya haji dan hari tasyriq, tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) atas rezki yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka berupa binatang ternak (binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri). Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan oleh orang- orang yang songsara dan fakir."(Os. Al- Hajj{22]:28)
Ayat di atas -bila benar-benar direnungkanmengisyaratkan bahwa setiap jamaah haji harus berupaya untuk menggapai kemabruran haji mereka, dengan salah satu indikator pentingnya: adanya kesadaran untuk menggapai keshalihan multidimensi: "keshallhan vertikal dan horisontal, baik yang bersifat individual dan kolektif" Menjadi yang terbaik ketika berinteraksi dengan Allah, dan sekaligus ketika berinteraksi dengan sesama makhluk Allah. Mereka yang disebut haji yang mabrur ialah mereka yug berkemauan dan berkemampuan untuk membangun keseimbangan secara proporsional antara menjadi shalih secara vertikal dan horisontal, baik yang bersifat individual dan kolektif, tanpa adanya sikap dikotomis.
Merekalah yang pada akhirnya mau dan mampu untuk mempersembahkan yang terbaik untuk Allah dan sesama makhluk Allah secara simultan. Kita perlu selalu ingat terhadap sabda Rasulukah saw, ketika beliau menegaskan: barangsiapa yang berniat haji karena Allah, kemudian la tidak berkata kotor dan berbuat jahat, maka dirinya akan mendapatkan sebuah keberadaan faktual seolah-olah dirinya teiah komball menjadi bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya. (HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam kaitannya dengan sejumlah pertanyaan tentang tanda-tanda kemabrúran haji seseorang, para ulama melakukan simplifikasi penjelasan dengan merujuk pada tuntunan Rasulullah saw bahwa indikator haji yang mabrur ada tiga: Pertama, haji yang mabrur adalah seseorang yang secara terus menerus berkesadaran untuk memberi makan kepada setiap orang yang membutuhkan. Artinya seseorang yang memperoleh kemabruran hajiharusmampu membuktikan dirinya dalam wujud dan perilaku keseharian yang humanis, hidup sederhana, penuh kebersamaan, amat peduli terhadap keadaan dan nasib orang lain, terutama kaum dhaafa'(lemah) dan mustadh'afin (terlemahkan).
Kedua, haji yang mabrur adatah seseorang yang secara terus menerus berkesadaran untuk bertutur kata lemah-lembut dan sopan. Berkemampuan untuk menjaga lisannya, karena ia sadar bahwa akibat yang akan ditimbulkannya. Dalam banyak hal, baik-buruk, positif-negatif, untung-rugi seseorang banyak ditentukan oleh ucapan lisannya. Seorang haji yang mabrur tentu saja dari lisannya, akan keluarkalimah thayyibah, kata-kata yang baik, bijak, santun dan bermanfaat, taushiyah atau nasihat yang berguna dan penuh pesona.
Ketiga, haji yang mabrur adalah seseorang yang secara terus-menerus berkesadaran untuk menebar salam (perdamaian). Haji yang mabrur akan senantiasa berkesadaran untuk merajut silaturrahimdan mempereratukhuwwah, memperkokoh jalinan persaudaraan, utamanya jalinan persaudaraan antar-Muslim, dan kemudian diderivasi menjadi jalinan persaudaraan antarumat manusia, dengan spirit Ukhuwwah Islamiyyah, semangat persaudaraan yang menawarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain, dalam diri mereka para haji yang mabrur terkandung misi dan tanggungjawab menebar salam dan rahmat. Berjumpa dan berpisah dengan salam. Semangat yang tumbuh dalam dirinya adalah berbuat baik dengan ruh perdamaian, sebagaimana adagium yang mereka pahami: "peace for all".
Akhirnya, setiap Muslim harus memahami dengan benar bahwa ibadah haji seharusnya menjadi wahana pengayaan pengalaman spiritual (ruhani) yang dapat memberikan inspirasi atau jalan terang kepada nilai-nilai kemanusiaan. Setiap Muslim yang telah beribadah haji sepulang dari Tanah Sucidiharapkan menjadi orang yang senantiasa berkemauan dan berkemampuan untuk membimbing umat Islam dalam merenungi dan meresapi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan sosialnya.
Selamat berhaji ke Tanah Suci dengan niat karena Allah, dan pulang (kembali) ke Tanah Air menjadi haji (yang) mabrur"