Kamis, 25 April 2024

Aqidah Islam

Keterasahan Batin Lewat Puasa Ramadhan (1)
Mohammad Damami


Rasa-rasanya apa yang disebut “kesadaran diri” seperti jarang dapat ditemukan dan seolaholah makin lama makin hilang.

Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan kenyataan bahwa makin langka orang cepat menyatakan legowo (rela dengan penuh keikhlasan) mengakui kesalahan yang memang benar diperbuat sekalipun harus terasa pahit dalam hati, atau cepat menyatakan legowo mengakui kekalahan dalam sebuah perjuangan yang melibatkan banyak orang seperti dalam proses pemilihan (dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah misalnya), atau dalam permainan olah raga (sepak bola misalnya). Karena itu apa yang disebut “kesadaran diri” tersebut menjadi nampak begitu mahal kelihatannya.

Agama Islam, lewat firman-firman Allah SwT dalam Al-Qur’an, memang banyak memfokuskan diri untuk menggarap tentang “kesadaran diri” dari umat manusia ini. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari penghargaan Allah SwT terhadap makhluk manusia yang diangkat oleh-Nya menjadi “khalifah”-Nya, menjadi “wakil”-Nya, di planet bumi agar mereka aktif memakmurkan kehidupan di planet bumi secara benar menurut garis-garis ketentuan dari Allah SwT. Sebab, kalau manusia yang sudah mendapat mandat begitu tinggi lalu dibiarkan, diberi kebebasan tak terbatas, tanpa rambu-rambu, tanpa peringatanperingatan, tanpa pelatihan-pelatihan untuk mendisiplin diri, dan sebagainya, maka tidak akan dapat dibayangkan betapa kerusakan akan terjadi di planet bumi ini. Sementara Al-Qur’an telah begitu penuh dengan segala rambu-rambu, peringatan-peringatan dan pelajaran-pelajaran (yang diwujudkan dalam bentuk kisah dan perumpamaan), dan pelatihan-pelatihan saja umat manusia masih banyak yang berbuat melampaui batas, apalagi kalau sampai tidak ada semuanya itu.

Salah satu bentuk pelatihan yang mau tidak mau dikerjakan oleh manusia adalah shiyaam, atau dalam alihan kata lain adalah puasa, yaitu puasa Ramadlan. Puasa Ramadlan ini menjadi salah satu unsur dalam Rukun Islam yang 5 (lima) banyaknya: syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadlan, dan haji. Pertanyaannya sekarang adalah sampai di mana nilai tinggi dari pelatihan yang termuat dalam ibadah puasa Ramadlan yang akan berpengaruh besar terhadap “kesadaran diri” dalam batin manusia? Marilah kita telusuri hal ini lebih lanjut.

Dalam Al-Qur’an Allah SwT berfirman (Q.s. Al-Qur’an [2]: 183-184): Yaa ayyuha- ’l-ladziina aamanuu kutiba ‘alaikumu- ‘shshiyaamu kamaa kutiba  ‘ala-’l-ladziina min qablikum la’allakum tattaquuna ayyaaman ma’duudatan = Hai orangorang yang beriman, diwajibkan atas kamu (mengerjakan) puasa sebagaimana telah diwajibkan (pula) atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. ayat tersebut terdapat kata “kutiba ‘alaa” yang menurut DR. Muhammad At- Tonji dalam kitabnya yang berjudul Al-Mu’jam al-Mufashshal fii Tafsiiri Ghariibi al-Qur’aani al-Kariimi (2003: 415) berarti: furidla = difardlukan, diwajibkan. Kata “fardlu” (wajib) inilah yang kemudian dipopulerkan dan dibakukan dalam kitabkitab fikih ketika membicarakan bab puasa Ramadlan, dengan pengertian wajib menurut “hukum”, yaitu: perintah yang mesti harus dikerjakan, dengan ketentuan jika perintah tersebut dipatuhi atau dikerjakan, maka yang  mengerjakannya mendapat pahala; dan jika tidak dipatuhi atau tidak dikerjakannya, maka dia akan mendapat dosa ( H Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, 1990: 17). Dalam tatanan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih dan makbul, datangnya perintah memang dari atas, dari bunyi teks, dan bersifat normatif. Sungguh pun begitu dalam menanggapi terhadap “kewajiban” tersebut bisa dari 2 (dua) arah. Arah pertama, orang Mukmin menanggapinya dengan melatih diri untuk patuh, walaupun pada mulanya merasa begitu berat dan pahit dalam proses mengerjakannya, terhadap kewajiban puasa Ramadlan tersebut. Lama-lama, karena secara berturut-turut, hari ke hari,  apalagi sampai lunas 29 atau 30 hari puasa Ramadlan, maka kepatuhan tersebut menjadi terasa ringan dan mungkin telah hilang rasa pahitnya.

Dengan kata lain, puasa Ramadlan telah menjadi hal yang telah “membiasa”, dalam arti: daya menolak dalam batin untuk tidak  mengerjakan menjadi menipis, rasa lapar dan rasa haus berkurang bahkan mungkin sudah tidak terasa lagi, dan telah terjadi adaptasi tubuh ketika pada siang hari tidak makan dan tidak minum. “Kepatuhan yang bersifat membiasa” inilah yang disebut kemudian dengan istilah  “kesadaran diri”.

Munculnya adalah dengan cara dipaksa lebih dahulu, senang atau tidak senang, pahit terasa. atau tidak, batin ingin memberontak/melawan atau tidak. Lamalama terlatih dan akhirnya luluhlah daya berontak/daya tolak batin, hilang rasa tak senang, dan  hilang pula rasa pahit yang semula dirasakan dalam batin. Memang, salah satu sifat manusia itu adalah sering kali perlu dipaksa dahulu untuk awal pengerjaan sesuatu, apalagi pengerjaan sesuatu yang benar, baik, dan luhur serta indah. Mengapa harus dipaksa? Sebab manusia itu memiliki kesadaran “aku” (ego). “Aku” ini mesti harus nomor “satu”. Karena itu maunya “diikuti”, bukan “mengikuti”; maunya “memerintah” bukan diperintah”; maunya “menerima yang menyenangkan” bukan “dibebani yang merasa tidak menyenangkan”, dan sebagainya. Pelatihan yang bernuansa paksaan tersebut pada hakikatnya untuk mengalahkan “aku” yang disadari pada setiap diri manusia, siapa pun dia. Jika sang “aku” telah mampu dikalahkan, maka kepatuhan yang bersifat membiasa akan muncul pelan-pelan dan menguat. Itulah yang disebut “kesadaran diri”.

Cukupkah kepatuhan membiasa atau kesadaran diri seperti itu ketika seseorang Mukmin menghadapi kewajiban mengerjakan puasa Ramadlan? Rasa-rasanya belum cukup. Sebab, kalau dianggap cukup, maka tidak kecil kemungkinan kesadaran diri dalam mengerjakan ibadah puasa, hanya bermuara pada kesadaran mekanisformalistik. Ya, asal telah menjalankan kewajiban. Titik. Kalau sudah menjalankan berarti merasa sudah “bebas dari tanggungan kewajiban”. Kepatuhan dan kesadaran semacam ini a.kan cenderung pasif dampaknya. Seseorang pelaku puasa Ramadlan tidak akan dapat menangkap spirit (semangat), tenaga, manfaat langsung (hikmah), dan dorongan positif selaku seorang yang ahli ibadah. Masih perlu cara tanggap terhadap “kewajiban” puasa Ramadlan tersebut seperti diuraikan di bawah ini.

Arah kedua, orang menanggapi kewajiban puasa Ramadlan dengan memahami secara lebih mendalam apa hakikat di alik ibadah puasa Ramadlan tersebut. Seperti telah disebut di atas, apa yang disebut puasa Ramadlan ini adalah mengandung arti “shiyaam”. Menurut TM Hasbi Ash- Shiddieqy dalam bukunya Pedoman Puasa (1987: 53), kata “shiyaam” sederivasi kata “shaum” yang berarti menahan diri (Q.s. Maryam [19]: 26). Masih menurut TM Hasbi Ash-Shiddieqy, para ulama syara’ memaknai “shiyaam” adalah sepadan dengan kata “imsaak” yang kalau diterjemahkan juga sebagai: menahan diri, mengekang diri (1987: 53-54). Menurut istilah penulis,  abungan kata “shaum” dan “imsaak” ini dapat diartikan: membuat jarak sementara (terhadap sesuatu). Pembuatan jarak tersebut ada batas-batas waktunya dan ada cara-caranya yang sesuai dengan kemampuan dan daya tahan manusia normal.

Apa saja yang perlu “dibuat jarak sementara” selama shiyaam? Pertama, adalah keinginan perut. Dari segi fisik, perut adalah tempat untuk mencerna makanan dan minuman yang masuk ke dalamnya. Hasil cernaan tersebut untuk keperluan kesehatan tubuh dan untuk mengganti bagian-bagian tubuh yang mengalami keausan (sel-selnya mati dan perlu tergantikan). Kerja perut perlu seimbang. Dalam arti, perut tidak boleh kelaparan, namun juga tidak sepantasnya kekenyangan, apalagi berlebih-lebihan.
(BERSAMBUNG)

Menu Terkait