Kaum yang Rewel
Karena bermaksud akan kembali lagi ke Bukit Thursina, maka Nabi Musa membawa 70 orang yang tidak terlibat dalam penyembahan patung anak sapi itu ke sana. Tapi, ternyata sebagian dari mereka menyatakan tidak akan membenarkan ucapan Nabi Musa, bahwa Taurat itu adalah benar-benar Kitab yang difirmankan Allah dan didengar sendiri oleh Musa, sebelum mereka dapat melihat Allah secara nyata. Mereka menuntut untuk dapat melihat Allah sebagai bukti kebenaran Kitab Taurat yang dikatakan Nabi Musa itu. Mereka meminta sesuatu yang tidak mungkin, sehingga Allah memerintahkan halilintar untuk menyambar mereka, sebagaimana disebutkan dalam ayat 55.
وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَـٰمُوسَىٰ لَن نُّؤۡمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى ٱللَّهَ جَهۡرَةً۬ فَأَخَذَتۡكُمُ ٱلصَّـٰعِقَةُ وَأَنتُمۡ تَنظُرُونَ -٥٥
Dan (ingatlah) ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikan. (Qs. al-Baqarah/2: 55)
Mereka tidak dapat meninggalkan cara berfikir materialismenya, tidak dapat mempercayai sesuatu yang bersifat ghaib. Padahal Allah sudah memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan beberapa mukjizat kepada Nabi Musa, seperti tongkat berubah menjadi ular, laut yang terbelah, sekarang mereka meminta sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi oleh Allah.
Menurut Muhammad Abduh, dalam Tafsir Al-Manar, permintaan Bani Israil untuk melihat Allah ini tidak ada hubungannya dengan penyembahan patung anak sapi. Penyebabnya adalah sifat dengki dari sebagian mereka. Sebagian mereka itu mengatakan, kenapa hanya Musa dan Harun saja yang mendapatkan firman Allah, sedangkan mereka tidak.
Mereka juga menyatakan bahwa nikmat Allah diberikan kepada bangsa Israil adalah lantaran Ibrahim dan Ishaq. Oleh sebab itu harus meliputi seluruh bangsa Israil, bukan hanya Musa dan Harun semata. Mereka juga mengatakan kepada Musa, bahwa Musa tidaklah lebih utama dari mereka, sehingga tidak berhak lebih tinggi dan memimpin kami tanpa keistimewaan. Mereka tidak akan beriman kepada Musa sebelum mereka juga dapat melihat Allah secara nyata.
Untuk memenuhi permintaan itu, lalu Nabi Musa membawa mereka ke suatu tempat. Seketika datanglah api (halilintar) menyambar mereka. Peristiwa ini disaksikan pula oleh kelompok lain yang tidak ikut menuntut melihat Allah. Cerita ini dikutip oleh Muhammad Abduh dari Al-Kitab. Bagaimana persisnya terjadinya peristiwa itu, Allahu a’lam. Yang jelas, Allah menyebutkan bahwa mereka yang menuntut hal yang mustahil itu (melihat Allah) dihukum oleh Allah. (Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, I: hlm. 321).
Melalui ayat-ayat ini, sesungguhnya Allah menyuruh kita mengambil hikmah dari kesombongan Bani Israil, antara lain: pertama, mereka memanggil Nabi Musa tanpa rasa hormat sedikitpun dengan hanya menyebut “hai Musa”, padahal Musa adalah Nabi dan pemimpin yang telah berjasa menyelamatkan mereka dari kekejaman Fir’aun. Kedua, mereka menantang untuk dapat melihat Allah secara nyata. Padahal, jangankan melihat Allah, melihat matahari pun mereka tidak akan sanggup. Betapa banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang sudah diperlihatkan kepada mereka, khususnya dalam perjuangan membebaskan diri dari Fir’aun, tetapi mereka malah melampaui batas, sehingga dijatuhi hukuman: Allah memerintahkan halilintar menyambar mereka.
Bani Israil yang disambar halilintar itu mati semua. Melihat hal itu, menurut As-Saddi sebagaimana dikutip Ibnu Katsir (I: 404), Nabi Musa menangis dan memohon kepada Allah, “Ya Tuhan, apa yang akan saya katakan kepada Bani Israil jika saya kembali nanti menemui mereka, orang-orang pilihan mereka sudah Engkau binasakan”
Dari do’a Nabi Musa itu, dapat dipahami bahwa selain 70 orang itu masih ada Bani Israil yang tersisa. Jadi, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir mengutip As-Saddi, tatkala proses saling bunuh terjadi sebagai bentuk pertobatan, sehingga jasad-jasad bergelimpangan, Nabi Musa dan Harun berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, Engkau telah membinasakan Bani Israil, Ya Tuhan kami, sisakanlah, sisakanlah.” Lalu Allah memerintahkan mereka untuk meletakkan pedang dan menerima taubat mereka (Ibnu Katsir, I: 402)
Manna wa Salwa
ثُمَّ بَعَثۡنَـٰكُم مِّنۢ بَعۡدِ مَوۡتِكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ -٥٦
Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah mati, supaya kamu bersyukur (Qs al-Baqarah/2: 56)
Ayat ini menjelaskan tentang keadaan Bani Israil yang disambar halilintar di atas. Setelah Nabi Musa berdoa, Allah menghidupkan mereka kembali, satu persatu mereka bangun dan saling berpandangan.
Sebagian mufassir memahami kata “mati” dalam ayat ini tidak sebagai mati yang sebenarnya, yakni berpisahnya nyawa dari raga, tetapi dalam arti pingsan. Sebab, keadaan orang tidur disebut dalam hadis sebagai mati juga. Secara bahasa, kedua-duanya bisa dipahami. Namun, jika dipahami sebagai pingsan, maka peristiwa itu menjadi sangat biasa. Sebaliknya, jika mati betul dan kemudian dihidupkan kembali, maka peristiwa itu menjadi luar biasa. Sekiranya orang yang selamat dari hukuman penyembahan patung anak sapi itu mati semua, tentu Bani Israil menjadi punah. Maka beruntunglah, Allah menghidupkan mereka kembali. Inilah yang harus disyukuri oleh Bani Israil.
Lain lagi menurut Muhammad Abduh, yang dimaksud dibangkitkan dalam ayat ini adalah diperbanyaknya anak keturunan Bani Israil. Setelah kematian akibat disambar halilintar dan sebab lain, dikhawatirkan keturunan Bani Israil akan punah. Maka Allah lalu memberi keturunan yang banyak kepada Bani Israil yang tersisa, sehingga dapat membentuk satu bangsa. Hal ini agar mereka dapat bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada nenek moyang mereka, sehingga mereka terlepas dari azab yang ditimpakan Allah karena kekufuran mereka. (M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar I: hlm 267).
وَظَلَّلۡنَا عَلَيۡڪُمُ ٱلۡغَمَامَ وَأَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَنَّ وَٱلسَّلۡوَىٰۖ كُلُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا رَزَقۡنَـٰكُمۡۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَـٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ -٥٧
Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Qs. al-Baqarah/2: 57)
Pada ayat di atas, disebutkan nikmat dari Allah yang lain kepada Bani Israil. Allah menyebutkan memberikan dua nikmat lagi kepada Bani Israil, yaitu lindungan awan dan makanan manna dan salwa. Ketika mereka berada di padang pasir dalam perjalanan melarikan diri dari Mesir atau ketika terkurung di gurun Sinai selama 40 tahun, mereka merasa sangat berat merasakan teriknya panas matahari. Mereka mengadu kepada Nabi Musa. Setelah Nabi Musa berdoa, Allah melindungi mereka dengan awan.
Kemudian, ketika Bani Israil kesulitan makanan, mereka mengadu lagi kepada Nabi Musa. Nabi Musa berdoa lagi kepada Allah, maka Allah mengirimkan makanan yang disebut manna dan salwa. Menurut Ash-Shabuni dalam Shafwah at-Tafsir, manna adalah sejenis madu yang dijadikan minuman setelah dicampur air. (Shafwah at-Tafsir I: 60). Menurut Quraish Shihab, manna adalah butiran-butiran berwarna merah yang terhimpun pada dedaunan, yang biasanya turun saat fajar menjelang terbitnya matahari. Menurut Thahir bin Asyur, yang dikutip Quraish Shihab, manna adalah satu bahan semacam lem dari udara yang hinggap di dedaunan mirip dengan gandum yang basah. Rasanya manis bercampur asam, berwarna kekuningan. Banyak ditemukan di wilayah Turkishtan dan beberapa tempat lain. Ia baru ditemukan di Sinai sejak Bani Israil tersesat di sana (Tafsir Al-Misbah, I: hlm. 196)
Sedangkan salwa, menurut Ash-Shabuni, adalah sejenis burung mirip as-samani yang lezat dagingnya (Shafwat at-Tafsir, I: hlm. 60). Menurut Quraish Shihab, salwa adalah sejenis burung puyuh yang datang berbondong-bondong, yang berhijrah dari satu tempat, yang dengan mudah ditangkap untuk disembelih dan dimakan. Burung itu mati apabila mendengar suara guntur, karena itu mereka berhijrah mencari daerah-daerah bebas hujan (Tafsir al-Misbah, I: hlm 196).
Allah menyuruh mereka memakan makanan yang baik-baik dari rezeki yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, dan mengingatkan mereka untuk tidak lagi berbuat dlalim. Setiap makanan yang dikonsumsi, disamping halal harus memenuhi kriteria baik (thayyibah), sebagaimana firman Allah berikut.
وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَـٰلاً۬ طَيِّبً۬اۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ -٨٨-
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (Qs. al-Maidah/5: 88)
Baik buruknya suatu makanan (dan minuman) ditentukan oleh hiegenisnya makanan tersebut. Selain itu, kesesuaian dengan keadaan fisik orang yang memakannya. Dalam konteks manna dan salwa, Allah telah menegaskan bahwa kedua jenis makanan itu termasuk dalam kategori thayyibat.
Apakah Bani Israil puas dan kemudian mensyukuri nikmat itu? Rupanya tidak. Mereka tidak bersyukur dan tetap membangkang terhadap Nabi Musa. Pada ayat 61 surat al-Baqarah, dinyatakan bahwa mereka merasa bosan dengan makanan manna dan salwa. Mereka meminta yang lain berupa sayuran, ketimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah yang bisa dikonsumsi sewaktu mereka berada di Mesir.
وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَـٰمُوسَىٰ لَن نَّصۡبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ۬ وَٲحِدٍ۬ فَٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُخۡرِجۡ لَنَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۢ بَقۡلِهَا وَقِثَّآٮِٕهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِہَا وَبَصَلِهَاۖ
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, mami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah”. (Qs. Al-Baqarah/2: 61)
Allah tidak pernah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang dengan segala dosa, pembangkangan dan kesombongan serta tidak dapat bersyukur, yang semuanya itu membuat mereka menganiaya diri sendiri. Wallahu a’lam.
Penulis : Tafsir At-Tanwir MTT-PPM
Sumber : http://tuntunanislam.id/
Halaman Sebelumnya: Ingkar Hukuman Bani Israil (1)………