Selasa, 07 Mei 2024

Adil Dalam Kehidupan Pribadi

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan bahwa Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ajaran adil. Dengan ajaran ini, misi Allah menurunkan ajaran Islam untuk menciptakan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan lahir dan batin dapat terwujud.

Dewasa ini kita saksikan kehidupan umat manusia, khususnya di Indonesia, penuh dengan kekacauan dan kesengsaraan, hal ini karena nilai-nilai keadilan yang menjadi pokok ajaran Islam telah diabaikan. Berbagai kerusuhan dan tindak kekerasan, sebagian besar disebabkan oleh nilai keadilan yang telah hilang. Jika kita cermati kehidupan rumahtangga, apabila tanpa dilandasi nilai keadilan, dipastikan akan terjadi berbagai persoalan dan prahara, mulai dari kenakalan anak bahkan sampai perceraian.

Umat Islam sengaja dipilih oleh Allah SWT, sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk memimpin manusia dalm memperoleh kemaslahatan mereka.

Allah swt berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ  – آل عمران : 110

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran, 3: 110)

Memperhatikan ayat tersebut, maka umat Islam harus berada di posisi terdepan dalam menerapkan ajaran adil di tengah-tengah masyarakat.  Dengan demikian, umat Islam akan mampu melaksanakan misi mereka sebagai umat terbaik. Sebaliknya, tanpa penerapan ajaran adil tersebut, umat Islam tidak layak diperhitungkan sebagai umat terbaik.

 

Penerapan Sikap dan Perilaku  Adil

Seorang muslim menyadari bahwa ajaran sikap dan perilaku adil adalah perintah Allah yang  harus diterapkan dalam kehidupannya, meliputi: kehidupan pribadinya, kehidupan keluarganya, kehidupan masyarakatnya dan kehidupan negaranya.

Adil dalam Kehidupan Pribadi

Pertama. Seorang muslim harus memiliki pandangan yang adil dalam melihat  hukum-hukum Allah yang tampak berbeda antara dua jenis yang berlainan, khususnya antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam hal perannya dalam rumahtangga, pembagian warisan dan lain-lain. Artinya, seorang muslim  harus melihat perbedaan hukum tersebut dalam perspektif keharusan adanya keseimbangan (tawazun) yang justru akan melahirkan kemaslahatan bagi manusia. Dia meyakini bahwa Allah swt adalah Maha Adil. Dia menciptakan alam semesta di-dasarkan kepada adanya keseimbangan antara satu dengan yang lain. Maka dengan adanya keseimbangan inilah segala sesuatu di alam raya ini dapat berjalan dengan baik dan teratur. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ – الانفطار : 6 ، 7

Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.(QS al-Infithar, 82: 6-7)

Dengan demikian seorang muslim akan menerima hukum-hukum Islam dengan hati yang ikhlas dan penuh kerelaan hati. Dia terhindar dari pemahaman keagamaan yang cenderung lebih mengedepankan kebebasan akal dan nafsu daripada keimanannya, seperti paham liberalisme, feminisme, dan lain-lain.

Kelompok feminisme, misalnya, dalam berbagai kesempatan menuduh ajaran Islam bersifat diskriminatif karena tidak memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, seorang istri dapat menjadi kepala rumahtangga seperti halnya seorang suami. Begitu pula ia dapat menjalankan pekerjaan-pekerjaan apa pun seperti yang dilakukan oleh laki-laki seperti menarik becak, sopir dan lain-lain.

Sebenarnya, inilah awal dari adanya prahara rumahtangga dan  kenakalan anak yang dewasa ini banyak terjadi, yaitu ketika dalam kehidupan rumah-tangga tak ada lagi tawazun antara peran suami dan istri.

Kedua. Seorang Muslim harus adil dalam menempatkan kepentingan duniawiyah nya dan ukhrawiyah, dalam pengertian mampu memenuhi keseimbangan antara amaliah-amaliah ukhrawiyah dengan duniawiyah. Yang dimaksud amaliah ukhrawiah adalah setiap perbuatan yang dilakukan untuk maksud memperoleh bekal di akhirat seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Sedangkan amaliah duniawiah adalah setiap usaha yang dilakukan seseorang guna memperoleh kesenangan dunia. Seperti: bekerja, makan, olahraga, dan lain-lain.

Dalam hal ini Allah swt berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ – القصص : 77

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS al-Qashash, 28: 77)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  – الجمعة : 10

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS al-Jumuah, 62: 6-7)

Ayat di atas secara tegas memerintahkan seorang Muslim agar memenuhi keseimbangan (tawazun) antara kepentingan ukhrawiyah dengan menegakkan shalat dan kepentingan duniawiyah dengan bekerja untuk mencari karunia Allah di muka bumi.

Selanjutnya, Allah swt berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا – البقرة : 143

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS al-Baqarah, 2: 143)

Rasyid Ridla, dalam Kitab Tafsir al-Manar, menafsirkan kalimat ummatan wasathan dengan mengemukakan, bahwa sebelum kedatangan Islam  umat manusia terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama, yang berlebih-lebihan dalam memperturutkan kepentingan materi, seperti orang-orang Yahudi dan musyrikin. Kelompok kedua, yang berlebih-lebihan dalam memperturutkan kepentingan spiritual, seperti kaum Nasrani, Shabi’in dan para penyembah patung dari kalangan Hindu. Sedangkan umat Islam, sesuai ajaran agamanya, mempertemukan antara keduanya.

Umat Islam disebut ummatan wasathan karena mereka mampu menempatkan hak-hak pada keduanya (hak-hak yang bersifat materi dan hak-hak yang bersifat spiritual) secara adil dalam pengertian adanya keseimbangan antara keduanya. Keseimbangan ini bukan berarti sama persis ukurannya, tetapi harus dengan mempertimbangkan aspek prioritas dan kepentingannya. Kepentingan ukhrawiyah jauh lebih penting daripada kepentingan duniawiyah, karena itu ia harus diprioritaskan melebihi kepentingan duniawiyah.

Allah swt berfirman:

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى – الأعلى : 16 ، 17

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS al-A’la: 16-17)

Ketiga. Seorang muslim harus berlaku adil dalam pengertian mampu memberikan keseimbangan  antara memenuhi  hak pribadinya, hak Tuhannya dan hak keluarga serta masyarakat. Hak-hak pribadi misalnya: makan, minum, istirahat, berolahraga, dan lain-lain. Hak-hak Tuhannya misalnya menegakkan shalat, berdzikir, berpuasa, menunaikan haji, dan lain-lain. Hak-hak keluarga misalnya memberi nafkah, pendidikan, kasih sayang, dan lain-lain. Sedangkan hak-hak masyarakat misalnya: berdakwah, tolong-menolong, berinteraksi sosial, dan lain.

Seorang muslim harus berlaku adil, dalam pengertian selalu menjaga keseimbangan antara usahanya dalam mencari kepuasan batiniyah dengan  kebutuhan orang lain yang menginginkan ketenangan. Seorang muslim diperintahkan Allah untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an sebanyak-banyaknya, agar mendapatkan ketenangan batin. Namun, perlu diingat, ia tidak boleh berdzikir dengan suara keras, sebab dapat mengganggu orang lain yang juga membutuhkan ketenangan.

Rasulullah pernah menegur orang yang membaca al-Qur’an dengan suara keras sementara di dekatnya ada orang sedang shalat. Maka, dalam konteks ini, seorang muslim yang sedang berdzikir di masjid, membaca al-Qur’an atau mengalunkan syair tertentu, hendaknya dengan suara pelan yang hanya bisa didengar sendiri agar tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau berdzikir.

Seorang Muslim haruslah mencontoh Rasulullah SAW  dalam hal keseimbangan yang dilakukan oleh beliau dalam  pemenuhan hak-hak di atas. Sebaliknya, seorang Muslim tidak boleh terjebak kepada pemenuhan hak-hak tertentu dengan meninggalkan hak-hak lainnya, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Rasulullah. Dalam suatu Hadits disebutkan:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ آكُلُ اللَّحْمَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ. فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. فَقَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّى أُصَلِّى وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى ». رواه مسلم

Artinya : “Dari Anas ra, bahwa beberapa orang sahabat Nabi SAW bertanya secara diam-diam kepada istri-istri Nabi tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan: Aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata: Aku tidak akan memakan daging. Dan yang lain lagi mengatakan: Aku tidak akan tidur dengan alas. Mendengar itu, Nabi memuji Allah dan bersabda: “Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [HR. Muslim]

 

Kasus yang pernah terjadi pada masa Rasulullah di atas  haruslah menjadi perhatian bagi setiap Muslim, karena  umat Islam pada umumnya belum mampu memberikan keseimbangan (tawazun) dalam memenuhi hak-haknya. Sebagian umat Islam ada yang lebih mementingkan  memenuhi hak-hak pribadinya, hak-hak keluarga dan masyarakat namun ia mengabaikan hak-hak Tuhannya. Mereka sangat senang makan yang enak-enak, rajin berolahraga, giat bekerja, peduli anak dan istri dan aktif berorganisasi, namun mereka jarang menghadiri shalat jamaah ke Masjid, jarang membaca al-Qur’an apalagi shalat malam.

Sebaliknya, sebagian yang lain ada yang lebih mementingkan hak-hak Tuhannya dan mengabaikan hak-hak yang lain. Mereka rajin menghadiri shalat jamaah di Masjid, rajin mengikuti majlis-majlis dzikir, rajin berpuasa Senin-Kamis, namun dalam hal makan, minum, berpakaian serba kekurangan dan acapkali  mereka tidak memberikan nafkah dan perhatian yang cukup terhadap keluarganya. Tidak jarang pula dewasa ini kita saksikan sebagian umat Islam sangat besar perhatian dan kepeduliannya kepada hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakatnya, mereka sibuk mengadakan rapat-rapat dan bakti sosial, namun di sisi lain mereka kurang tidur, kurang makan dan acapkali kurang peduli terhadap kepentingan anak-anak dan istrinya.

Inilah contoh-contoh ketidakseimbangan hidup yang pada gilirannya akan melahirkan ketidakharmonisan yang   akan menimbulkan  kehidupan seorang muslim menjadi oleng dan tidak sehat.

 

Penulis                 : Zaini Munir Fadloli

 

Artikel terkait      : Adil yang Patut dan Standar

Sumber Artikel  : http://tuntunanislam.id/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *