Macam-Macam Akad
Dasar hukum dari mu’amalah adalah kemubahan (kebolehan), selama hal tersebut selaras dan tidak bertentangan dengan syari’at dan tujuan disyari’atkan sesuatu (maqashid al-Syari’ah). Sebagaimana kaidah yang berbunyi;
اَلأَصْلُ فىِ الْمُعَامَلاَتِ الإِبَاحَةِ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
“Pada dasarnya segala sesuatu dalam mu’amalah hukumnya boleh (mubah), kecuali terdapat dalil yang menunjjukkan arti sebaliknya (keharamannya)”.
Atas dasar itulah, berbagai bentuk transaksi atau akad yang selaras dengan hukum agama dapat diakomodir menjadi alternatif dalam melakukan transaksi mu’amalah. Ditinjau dari klasifikasinya, akad dalam sistem mu’amalah Islam sangat beragam sesuai dengan sudut pandang orang yang mengkajinya.
Jika ditinjau dari sifatnya, akad terbagi menjadi:
- Akad Shahih yaitu; Akad yang sempurna dan sah menurut pandangan syari’at. Akad ini terbagi menjadi: Pertama: Akad Lazim yaitu; Akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah seorang yang berakad tanpa kerelaan pihak lain yang berakad , seperti akad jual-beli, ijarah, dan lainnya. Dalam kaidah fikih disebutkan:
اَلْأَصْلُ فِي الْعُقُوْدِ اَللُّزُوْمُ
“ Pada dasarnya akad itu adalah Luzum ( mengikat para pihak ).”
Kedua: Akad Ghairu Lazim (tidak mengikat), pada kedua belah pihak, pada akad ini para pihak mempunyai hak untuk membatalkan akad, misalnya pada hiyar fi al-Buyu’ (hak memilih antara penjual dan pembeli antara melanjutkan akad jual beli atau membatalkannya kkarena adanya perjanjian atau kecacatan pada barang).
- Akad Ghairu Shahih yaitu; akad yang tidak sah (cacat) menurut pandangan syari’at.
Sedangkan jika ditinjau dari cara atau bentuknya, para ulama membagi akad menjadi beberapa bentuk, yaitu:
- Aqad Al-Mu’athah Saling Memberi)
Akad Mu’athah adalah akad saling menukar dengan perbuatan yang menunjukkan keredaan tanpa ucapan ijab dan qabul. Praktek semacam ini sering ditemukan dalam praktek jual beli dengan sistem swalayan. Seorang pembeli memilih sendiri barang yang dibeli sesuai dengan bentuk, jenis, kualitas dan harga barang yang diinginkannya. Lalu barang-barang yang telah dipilih tersebut diserahkan kepada kasir (terkadang) tanpa ucapan sedikitpun. Sementara sang kasir sibuk dengan layar monitor (komputer) untuk mengecek harga barang yang akan dijual. Pada akhirnya sang pembeli mengeluarkan sejumalah uang sesuai dengan nominal yang tertera pada layar monitor. Praktek semacam ini sah menurut fikih Islam dan termasuk bagian dari thasharruf bil fi’li (trnasaksi dengan perbuatan)
- Aqad bi Al-Kitabah (Akad dengan Tulisan )
Akad bi al-kitabah merupakan jenis transaksi (akad) dengan tulisan (seperti; nota, surat pesanan dan atau bahkan lewat SMS, email, dan sejenisnya) yang dapat dipastikan akurasi dan kepastiannya. Akad semacam ini sah untuk dilakukan, oleh dua orang yang berakad baik keduanya mampu berbicara maupun tidak (bisu), keduanya hadir pada waktu akad ataupun tidak hadir ( dititipkan lewat orang kepercayaannya), dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua orang yang berakad. Hal ini selaras dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
اَلْكِتَبا بَةُ كَا لْخِطَا بِ
“ Tulisan sama kekuatan hukumnya dengan ucapan”.
- Akad b Al-Isyarat (Akal dengan Isyarat)
Bahasa isyarat yang digunakan oleh orang bisu untuk menyampaikan kehendaknya dapat diterima sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi, dengan catatan bahasa isyarat tersebut dapat dimengerti dan difahami oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Jika seseorang tidak mampu berbicara maupun menulis, maka bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak sama nilainya dengan lisan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para fukaha’ dan sesuai dengan kaedah fiqhiyah ang berbunyi:
اَلْإِشَارَاتُ الْعُهُوْدَةُ لِلْلأَخْرَسِ كَالْبَيَانِ بِالِّلسَانِ
” Isyarat perjanjian (akad) dari orang bisu seperti penjelasan dengan lisan.”
Perbedaan antara Akad, Tasharruf dan Ilzam
Thasharruf menurut istilah ulama fikih adalah; setiap yang keluar dari seseorang yang mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’ menetapkan beberapa konsekwensi, baik berupa ucapan, atau yang setingkat dengan ucapan berupa perbuatan atau isyarat. Dengan pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa thasharruf lebih umum cakupannya dibandingkkan akad. Akad merupakan bagian dari thasharruf yang bersifat ucapan (Thasharruf Qauli), sedangkan thasharruf masuk di dalamnya berbagai macam bentuk perjanjian, komitmen, mengembalikan barang yang dijual dengan khiyar syarat, khiyar ‘Aib maupun khiyar Majlis (akan dibahas dalam tema tersendiri dalam kaitannya dengan jual-beli). Dengan kata lain, semua akad dapat dinamakan thasharruf, namun tidak semua thasharrf dinamakan akad.
Sedangkan iltizam adalah; sebuah thasharruf (perbuatan) yang mengandung keinginan untuk melahirkan satu hak atau mengakhiri satu hak atau menggugukannya baik datang dari satu pihak seperti thalak atau datang dari kedua belah pihak seperti akad jual beli dan sewa menyewa.
Dari uraian panjang di atas dapat disimpulkan dalam tiga hal, yaitu:
Pertama: Bahwa akad merupakan salah satu syarat sahnya berbagai transaksi mu’amalah dalam Islam.
Kedua:Akad dapat dilakukan baik dengan ucapan, perbuatan, tulisan dan isyarat yang dapat dipahami dan memberikan kepastian terhadap sesuatu yang diakadkan.
Ketiga:Akad yang berbentuk ucapan (Thasharruf Qauli) tidak diharuskan dengan redaksi tertentu dan bahasa tertentu, namun dapat dilakukan dengan berbagai redaksi yang dapat dipahami n menunjukkan sesuatu yang diakadkan. (Wallahu a’lam bi al-Shawab)
Penulis : Ruslan Fariadi
Sumber Artikel : http://tuntunanislam.id/
Halaman Sebelumnya : Akad (Transaksi) dalam Islam(1)