Kamis, 16 Januari 2025

Asas-Asas Bisnis Islam (1)

Sebagaimana dikemukakan dalam artikel “Prinsip Dasar Fikih Mu’amalah”, bahwa Islam merupakan ajaran Ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup segala aspek kehidupan). Oleh sebab itu Islam harus dilihat dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari hari secara komprenhensif pula. Bekerja (berusaha) dalam Islam harus tetap dalam bingkai akidah dan syari’ah (hukum-hukum agama). Bekerja dalam bingkai akidah maknanya; usaha yang dilakukan oleh seorang muslim harus diniatkan dalam rangka beribadah (ibadah ‘aam) kepada Allah dengan penuh keihklasan, kesabaran dan isti’anah (memohon pertolongan Allah) baik dengan shalat maupun berdo’a. Sehingga segala usaha yang dilakukannya tidak pernah terputus hubungannya dengan Allah swt.

Hal ini selaras dengan firman Allah swt.:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ -١٥٣

“Wahai orang-orang yang beriman, mohon pertolonganlah kamu sekalian dengan penuh kesabaran dan (dengan) shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

Sedangkan bekerja dalam bingkai syari’ah (hukum-hukum agama) maknanya; dalam bekerja seseorang harus melihat sisi kehalalan dan keharamannya. Apakah usaha yang dijalankan sesuai dengan aturan agama ataukah tidak. Sehingga dalam bekerja (berusaha) seorang muslim harus menjauhi sikap-sikap Machivelian yang menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai (al-ghayah tubalighul washilah). Begitu pula halnya, dalam bekerja (berusaha) seorang muslim hendaknya berniat dalam hatinya bahwa apa yang dilakukannya diniatkan sebagai salah satu bentuk kewajiban berikhtiar secara syar’i serta manifestasi (perwujudan) dari fungsi dan misi kekhalifahannya di muka bumi ini.

Dengan kata lain, bisnis atau bekerja yang bertauhid adalah bekerja yang dilakukan dengan niat ibadah serta mentaati aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Menjauhkan diri dari segala praktek yang diharamkan oleh agama. Sebab dalam Islam, aktifitas hidup seorang muslim baik yang bersifat komersial maupun sosial seluruhnya akan dimintai pertanggungan jawab dan menjadi modal di hari kiamat kelak.

Terlebih lagi dalam konsep Islam, persoalan harta (hasil usaha) seseorang akan dimintai pertanggungan jawab baik menyangkut sumber (cara mendapatkan) maupun pendistribusiannya, sebagaimana dijelaskan  dalam hadis Nabi SAW:

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ -رواه الترميذي

“Dari Abu Barzah al-Aslamy berkata; Rasulullah saw bersabda: tidak (bisa) melangkah kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia lakukan (manfaatkan), dan tentang hartanya darimana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan dan tentang fisiknya untuk apa ia pergunakan.” (HR. Tirmidzi: hadis ini termasuk hadis hasan shahih)

Dalam hadis lain yang sangat terkenal juga dijelaskan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ -رواه مسلم

“Dari Abi Hurairah berkata; Rasulullah saw. bersabda: Wahai sekalian manusia sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman (sesuai) dengan apa yang telah diperintahkan kepada para rasul. Lalu Rasulullah saw. bersabda (membaca ayat); Wahai para rasul makanlah kamu sekalian dari sesuatu yang baik-baik dan kerjakanlah perbuatan yang baik, sesungguhnya Aku maha mengetahui apa saja yang kamu sekalian lakukan.” Dan beliau bersabda (membaca ayat): Wahai orang-orang yang beriman makanlah kamu sekalian dari sesuatu yang baik-baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu, lalu beliau menyebutkan (bercerita) tentang seorang laki-laki yang bepergian jauh, kusut lagi berdebu, ia membentangkan tangannya ke langit seraya berdoa’ wahai tuhanku, wahai tuhanku, dan (namun) makanannya haram, dan minumannya haram, dan pakaiannya haram,  dan diberi makan dengan sesuatu yang haram, maka mana mungkin doa’nya diterima karena hal itu.” (HR. Muslim)

Selaras dengan itu pula, patut direnungkan pernyataan ulama’ yang menjelaskan tentang pentingnya niat (motivasi) dan cara yang baik untuk menghasilkan sesuatu yang positif, sebagaimana termuat dalam literatur kitab fikih klasik  yang pernah penulis baca belasan tahun yang lalu;

كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الدُّنْيَا فَيَصِيْرُ مِنْ أَعْمَالِ الآخِرَةِ بِحُسْنِ النِّيَّةِ، وَكَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الآخِرَةِ فَيَصِيْرُ مِنْ أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِّيَّةِ.

 “Betapa banyak dari perbuatan-perbuatan yang sepintas lalu terlihat seperti perbuatan dunia (contoh: bekerja, makan, olah raga dan lainnya), lalu berubah (nilainya) menjadi perbuatan akhirat (perbuatan yang dinilai ibadah dan berpahala) karena niat yang baik. Dan betapa banyak perbuatan yang sepintas terlihat seperti perbuatan akhirat (contoh: shalat, zakat, puasa dan lainnya), kemudian berubah (nilainya) menjadi perbuatan dunia (tidak berpahala) karena niat yang jelek.”

Karena itulah terkait dengan bekerja, berbisnis, berusaha atau apapun istilahnya, dalam Islam harus dilandasi oleh niat atau motivasi yang baik (sesuai aturan agama) serta dibangun di atas pondasi (asas) dan etika bisnis Islam, agar segala usaha yang dijalankan bernilai ibadah dan berpahala.

Adapun yang dimaksud dengan asas berusaha (berbisnis) dalam Islam di sini adalah nilai-nilai dasar yang dijadikan sebagai pondasi dalam membangun dan menegakkan berbagai bentuk bangunan usaha yang dijalankan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.  Sedangkan yang dimaksud dengan etika bisnis (berusaha) adalah; seperangkat norma yang bertumpu pada aqidah, syari’ah dan akhlak yang diambil dari al-qur’an dan as-Sunnah yang digunakan sebagai tolok ukur atau barometer kebolehan atau kehalalan suatu usaha dan berbagai hal yang berhubungan dengannya.

 

Asas-Asas Berusaha (Berbisnis) dalam Islam

Bekerja, berusaha (berbisnis) dalam Islam memiliki pondasi yang sangat jelas dan kokoh sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Hal tersebut dimaksudkan agar umat Islam menjadikannya sebagai pondasi bangunan ekonomi yang digelutinya, dalam rangka melahirkan kemaslahan yang bersifat universal bagi setiap orang. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asas Tauhid (at-Tauhid)

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدُ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدُ -الإخلاص: 1-4

“Katakanlah: Dia-lah Allah yang maha esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya (QS. Al-Ikhlash: 1-4)

 

Dalam konteks berusaha atau bekerja, surat al-Ikhlas dapat memberikan spirit kepada seseorang, bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan manusia harus tetap bergantung kepada Allah swt. dengan cara memaksimalkan ibadah dan do’a, sehingga tertutup peluang untuk menempuh cara-cara yang haram seperti penipuan, kezaliman dan lain sebagainya. Bukankah berikhtiar merupakan sebuah kewajiban, dan menjadikan Allah swt sebagai tempat menggantungkan nasib dan harapan juga sebuah kewajiban. Karena itu, melakukan suatu kewajiban (ikhtiar) tidak boleh dilakukan dengan meninggalkan kewajiban yang lain (ketaatan kepada Allah).

Terlebih lagi, dengan mengimani Allah sebagai tuhan yang wajib disembah, ditaati dan tempat bergantung, maka hal itu sekaligus menunjukkan kepada manusia bahwa segala perbuatan (usaha) yang dilakukannya pasti akan dimintai pertanggungan jawab di hadapan Allah swt.

 

Sikap hidup semacam ini akan melahirkan optimisme dalam menghadapi setiap problem dan hasil dari suatu usaha yang dijalankan. Karena dalam hidup manusia, tidak semua harapan sesuai dengan kenyataan, dan Allah seringkali memberikan apa yang kita butuhkan daripada apa yang kita minta. Karena Allah swt maha tahu dan maha bijaksana dalam setiap keputusannya.

Dengan spirit surat al-Ikhlas, seorang muslim mengalami “kegagalan” dalam usahanya, niscaya ia akan tetap optimis (tidak putus asa) untuk mencari faktor kegagalan seraya mencari solusinya. Begitu pula ketika mengalami kesuksesan ia tetap rendah hati (tidak sombong), karena adanya kesadaran spiritual bahwa semua yang  dimiliki merupakan amanah Allah swt.

2. Asas Amanah (al-Amanah)

Amanah merupakan lawan dari khianat. Amanah melahirkan ketentraman, saling percaya dan keharmonisan. Sedangkan khianat menimbulkan keresahan, saling curiga dan permusuhan. Oleh sebab itu, kemaslahatan dalam hidup bermasyarakat akan terealisir jika mu’amalah (interaksi/transaksi) antar sesama dilakukan dengan penuh amanah dan saling percaya.

Allah swt berfirman:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَر وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى ؤْتُمِنَ أَمَنَتَهُ وَلْيَتَّقِ الله رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوْا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُنَ عَلِيْمٌ. -البقرة: 283

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283)

 

Terkait dengan pentingnya sikap amanah ini pula Rasulullah SAW. bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ -رواه البخاري ومسلم

“Dari Abi Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda; ciri-ciri orang munafik itu ada tiga, apabila berbicara ia berdusta, apabila dipercaya (diberikan kepercayaan) ia khianat, dan apabila berjanji ia mengingkari janjinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Penulis                        : Ruslan Fariadi

Sumber Artikel           : http://tuntunanislam.id/

Halaman Selanjutnya  : Asas-Asas Bisnis Islam (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *