Banyak hadits dan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang sifat dan keutamaan-keutamaan kedermawanan, serta akibat dari kekikiran. Mari kita cermati salah satu hadits berikut:
السَّخِيُّ قَرِيْبٌ مِنَ اللهِ، قَرِيْبٌ مِنَ النَّاسِ، قَرِيْبٌ مِنَ الْجَنَّةِ بَعِيْدٌ مِنَ النَّارِ، وَالْبَخِيْلُ بَعِيْدٌ مِنَ اللهِ، بَعِيْدٌ مِنَ النَّاسِ، بَعِيْدٌ مِنَ الْجَنَّةِ، قَرِيْبٌ مِنَ النَّارِ، وَالْجَاهِلُ السَّخِيُّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ عَابِدٍ بِخَيْلٍ. – رواه الترمذى
“Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Orang jahil yang dermawan lebih disukai Allah daripada ahli ibadah yang kikir” [HR. Tirmidzi].
Hadits tersebut membedakan keistimewaan para dermawan dan keburukan orang-orang yang kikir. Perbedaan ini berhubungan langsung dengan kedudukan mereka di hadapan Allah SWT, beserta konsekuensi kehidupannya masing-masing, baik ketika di dunia maupun di akhirat kelak. Secara tersirat, hadits tersebut mengandung perintah kepada kita untuk menjadi dermawan dan menjauhi kekikiran.
Menjaga Kehormatan Diri
Masih mengenai perintah serta keutamaan lain dari berderma. Di dalam suatu hadits disebutkan:
ذُبُّوْا عَنْ اَعْرَاضِكُمْ بِأَمْوَالِكُمْ. – رواه الخطيب
“Lindungilah kehormatan kalian dengan harta benda kalian” [HR. al-Khathib].
Kedermawanan ternyata juga merupakan upaya menjaga kehormatan diri. Kehormatan diri memang harus dijaga, termasuk dari kemungkinan adanya harta haram yang kita belanjakan. Harta menjadi haram apabila di dalam harta yang kita peroleh terdapat hak orang lain, tetapi semua dibelanjakan untuk kepentingan diri dan keluarga. Harta haram inilah yang menodai dan merusak kehormatan seorang muslim. Hubungan kedermawanan dengan menjaga kehormatan diri seseorang sesungguhnya terletak pada sikap kasih sayang yang ditunjukkan dengan keikhlasan berbagi dengan orang lain.
Orang yang menjaga kehormatan diri tidak mungkin berkata: “masak setelah susah payah mengumpulkan harta, aku harus membaginya dengan orang lain. Enak saja…” Berbeda dengan orang yang memahami pentingnya makna kehormatan diri. Dia akan berkata: “tidak mungkin aku bersikap kikir dan memakan harta yang bukan hakku. Tidak mungkin! Malah, aku harus menunjukkan kepedulian dan berbagi kepada sesama, terutama kepada orang-orang lemah, karena mereka adalah saudaraku seiman.”
Pernyataan orang yang memahami pentingnya makna kehormatan diri di atas sesungguhnya sejalan dengan firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW. Dalam QS. al-Hujurat ayat 10, Allah berfirman “sesungguhnya kaum mukminin itu adalah bersaudara.” Sedangkan, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda: “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim)….”
Melipatgandakan Rezeki
Banyak orang kikir karena mereka takut hartanya berkurang. Tidak sedikit di antara mereka yang bahkan takut berderma karena akan menjadi miskin. Padahal anggapan ini sebenarnya bersumber dari bisikan dan tipu daya setan. Allah SWT berfirman:
ٱلشَّيۡطَـٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُڪُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةً۬ مِّنۡهُ وَفَضۡلاً۬ۗ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ۬
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui” [QS. al-Baqarah: 268].
Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa kedermawanan sama sekali tidak menyebabkan berkurangnya harta, apalagi sampai membuat miskin seseorang. Justru kedermawanan akan dibalas dengan limpahan rezeki/karunia yang berlipat ganda. Penegasan tersebut dapat kita jumpai dalam QS. al-Baqarah ayat 261 dan 245 berikut:
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٲلَهُمۡ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ۬ مِّاْئَةُ حَبَّةٍ۬ۗ وَٱللَّهُ يُضَـٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. al- Baqarah: 261].
مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنً۬ا فَيُضَـٰعِفَهُ ۥ لَهُ ۥۤ أَضۡعَافً۬ا ڪَثِيرَةً۬ۚ وَٱللَّهُ يَقۡبِضُ وَيَبۡصُۜطُ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan berlipatganda. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” [QS. al-Baqarah: 245]
Mengacu pada ayat di atas, berderma, terutama kepada orang-orang miskin, sebenarnya adalah upaya memperbesar potensi datangnya rezeki dari Allah. Berderma, misalnya dengan uang, ternyata merupakan cara “meminjamkan” uang tersebut kepada Allah. Kenapa disebut “meminjamkan” uang kepada Allah? Karena Allah menyebutnya sebagai “pinjaman”, yaitu “meminjamkan kepada Allah” seperti yang disebutkan pada ayat tersebut.
Allah Mahakaya (al-Ghaniy). Dia pasti membayar “utang” yang kita pinjamkan kepada-Nya. Dalam proses pembayaran “utang” tersebut, ada yang secara langsung “dibayar” melalui datangnya “rezeki” yang tidak diduga-duga (tidak selalu berupa uang). Sebelum “membayar”, Allah seringkali menguji umatnya terlebih dahulu. Di antara ujiannya yaitu Dia tidak langsung membayar “utang” itu.
Maksud Allah menguji umat-Nya adalah untuk mengetahui apakah hamba-Nya akan terus berderma/bersedekah atau hanya seketika saja. Selain itu, Allah sengaja menangguhkan “pembayaran” juga untuk menguji keikhlasan dan kesabaran seseorang, sampai pada saatnya nanti Dia “membayar” dalam bentuk yang bisa beragam. Ada yang “dibayar” melalui kenaikan gaji atau penghasilan dari usahanya, mendapatkan kepercayaan tertentu dalam karir dan bisnis, diberikan suatu fasilitas dari kantor, memperoleh tawaran pinjaman lunak yang bagi orang lain sangat sulit mendapatkannya, dihindarkan dari kemungkinan bencana/musibah/penyakit tertentu, dimudahkan memperoleh jodoh atau dikaruniai anak, serta beragam bentuk “rezeki” lain yang tidak diduga-duga.
Mengapa bisa demikian? Karena kedermawanan adalah salah satu perwujudan dari hamba yang bertakwa.
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُ ۥ مَخۡرَجً۬ا (٢) وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ
“….Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya diadakan-Nya jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak diduga-duga…..” [QS. ath-Thalaq: 2-3].
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَىۡءٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ۬
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mendermakan) sebagian harta yang kamu cintai…” [QS. Ali-Imran: 92].
Untuk merasionalkan korelasi antara senang berderma (“memberi pinjaman kepada Allah”) dengan berlipatgandanya “pembayaran” dari-Nya (seperti disebutkan QS. al-Baqarah: 245), setidaknya kita dapat memahaminya dari dua tinjauan logis, yaitu: pertama, orang yang senang memberi adalah orang yang membuktikan dirinya pantas untuk diberi (oleh-Nya). Pemahaman ini sejalan dengan firman Allah SWT; “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian infakkan apa yang kalian cintai” (QS. Ali-Imran: 92). Kebaikan itu banyak sekali wujudnya, termasuk berupa balasan limpahan rezeki bagi orang yang senang berderma.
Kedua, orang yang memberi (berderma), terutama kepada orang-orang yang sangat membutuhkan, menjadi “penjawab” dari doa-doa mereka. Melalui si dermawan itulah Allah “menjawab” doa orang-orang tersebut yang sebelumnya memohon rezeki kepada-Nya. Rezeki yang mereka terima tetap berasal dari Allah, sedangkan orang yang berderma secara ikhlas adalah “juru bayar-Nya”.
Orang-orang yang mendapatkan bantuan materi (misalnya sedekah dan hibah) merasa amat senang menerimanya, sehingga mereka mendoakan kebaikan bagi si penderma, termasuk mendoakan agar dia diberi kesuksesan dalam jodoh, anak, karier, bisnis, dan/atau ekonomi. Jika semakin banyak orang yang diberi (dibantu) lalu semuanya mendoakan kebaikan bagi si dermawan tadi, maka logikanya, Tuhan semakin terdorong untuk segera mengabulkan dengan “pembayaran” yang lebih banyak.
Penulis : Buya Muhammada Alfis Chaniago
Sumber Artikel : tuntunanislam.id
Halaman Selanjutnya : Berderma Menjaga Marwah (2)