Agenda bersama
Siapa yang mampu mengendalikan kekuasan oligarki? Apa RUU HIP dan sejumlah RUU yang bermasalah akan bisa dihentikan? Siapa yang mampu menghentikan utang luar negeri yang terus bertambah?
Banyak pihak pesimistis. Mungkin suara Tuhan pun —dalam wujud gerakan moral— tidak akan begitu didengar. Praktiknya, jika kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah berkehendak, siapa yang mampu menghalangi? Berlakulah hukum Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Bagaimana peran civil society? Normatif dapat ikut mengontrol. Ormas, LSM, dan kelompok kebangsaan lainnya dapat menjalankan fungsinya sebagai kelompok penekan (pressure groups) dan kelompok kepentingan (interest groups). Tapi seberapa kuat?
Berbagai RUU dan Perppu yang ditolak kelompok-kelompok masyarakat madani akhirnya dilegislasi parlemen. Pindah Ibu Kota yang sangat vital dan bersejarah pun dengan mudah menjadi keputusan politik.
Beban kelompok civil society sangat berat menghadapi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan saat ini. Ormas dan civil society tidak lebih dari ornamen demokrasi. Sekuat apapun masyarakat madani, secara politik berat hadapi tembok politik oligarki.
Posisi ormas lama kelamaan akan mengalami floating-mass seperti di era Orba. Jangan pula terus berharap pada aksi dan gerakan massa, risiko dan eskalasi politiknya besar. Indonesia akan terus gaduh dan berpeluang pecah, serta tidak produktif untuk kemajuan. Apa memang aksi massa itu yang dikehendaki?
Bagaimana ormas keagamaan? Sebenarnya tugas utama ormas keagamaan mencerahkan masyarakat agar hidup beragama dan bermoral utama. Ada panggilan amar maruf nahi munkar, tapi bukan berarti harus mengambil alih fungsi politik dan menanggung beban setiap masalah bangsa.
Jangan ada pihak yang memanfaatkan dan memanaskan mesin ormas sebagai gerakan politik massa. Elite ormas pun perlu paham posisi ini agar tidak salah kaprah dalam memposisikan dan memerankan organisasi kemasyarakatan di negeri ini.
Semua pihak harus bertanggung jawab. Para aktor yang terlibat dalam amendemen UUD 1945 jangan lepas tangan, sebagai pemantik masalah utama. MPR, Pemerintah, DPR, Mahkamah Konstituti, lembaga yudikatif, semua harus bertanggung jawab.
Segenap komponen bangsa harus ikut bertanggung jawab. Bagaimana mencari jalan keluar dari permasalahan sistem ketatanegaraan dan cara mengelola negara yang sudah telanjur berubah akibat amendemen UUD 1945 ini agar tidak bertambah rumit. Penyelenggaraan negara jangan dibiarkan serbaboleh, serbabebas, dan serbapragmatis. Harus ada koridor yang tegas mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemerintahan negara!
Indonesia mau dibawa ke mana? Semua pihak di Republik ini harus berkomitmen tinggi untuk tidak saling memaksakan kehendak dalam suasana centang-perenang. Institusi negara memang dapat melakukan apa saja karena kekuasaannya.
Namun untuk apa kekuasaan itu bila menyebabkan negeri ini terus gaduh dan di ambang pecah. Indonesia tidak akan maju dan terlalu mahal harganya untuk dipertaruhkan bila keadaan negeri memanas terus.
Berhentilah angkuh diri dan belajar rendah hati. Jika negeri ini jatuh, rakyat dan seluruh komponen bangsa harus menanggung akibatnya.
Jika ingin perubahan dan perbaikan yang menyeluruh maka dengarkan suara kebenaran dan bukalah pintu dialog. Berpikirlah kolektif dengan segala kebesaran jiwa dan pandangan yang luas, mendalam, dan autentik.
Berhentilah memproduksi perundang-undangan dan kebijakan negara yang kontroversial dan dapat menyeret Indonesia ke jurang perpecahan dan kehancuran. Bagaimana menata kembali sistem ketetanegaraan yang telanjur salah-kaprah ini ke jalur yang benar sejalan jiwa, pikiran, dan cita-cita kenegaraan pada 18 Agustus 1945.
MPR dapat menjadi mediator dialog nasional yang strategis ini. Bila perlu bangun konsensus nasional baru!
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di halaman Republika pada Sabtu 27 Juni 2020
Halaman Sebelumnya: Bermula dari Amandemen (1)