Minggu, 19 Mei 2024

Dilarang Bergunjing atau Ghibah (1)

Ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu  yang terdapat pada saudaranya ketika ia tidak hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya

 

-يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرً۬ا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬ۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُڪُمۡ أَن يَأۡڪُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتً۬ا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ۬ رَّحِيمٌ۬ -١٢

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan prasangka karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sekalian berghibah( menggunjing) satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu sekalian yang suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.” [QS: 49 (al Hujurat) ayat 12.]

 

Pengertian Ghibah

Ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu  yang terdapat pada saudaranya ketika ia tidak hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya, seperti menggambarkannya dengan apa yang dianggap sebagai kekurangan menurut umum untuk meremehkan dan menjelekkan. Maksud saudaranya di sini adalah sesama muslim. Termasuk sebagai ghibah adalah menarik perhatian seseorang terhadap sesuatu dimana orang yang dibicarakan tidak suka untuk dikenali seperti itu.

Pengertian ini didasarkan  dari penjelasan Rasulullah berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah SAW bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘  Beliau berkata: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’[1]

Sesuatu yang tidak disukai oleh saudara atau orang lain biasanya menyangkut aib berupa kekurangan atau hal-hal negatif yang ada pada dirinya. Tak seorangpun senang aibnya diketahui orang lain. Membeberkan aib seseorang sama halnya mempermalukannya. Semua perbuatan yang membentuk kesan buruk tentang seseorang dan membiarkan orang lain berkesan buruk kepadanya termasuk dalam kategori ghibah. Aisyah pernah menceritakan seorang isteri nabi lainnya di sisi Nabi SAW dan menyebut-nyebut kekurangannya. Kontan beliau bersabda: “Sungguh engkau telah mengghibahnya.”[2]

Pada umumnya manusia tidak suka kekurangan atau hal-hal negatif yang ada pada dirinya menjadi bahan perbincangan publik. An Nawawi memberikan penjelasan tentang hal-hal yang disebut antara lain: keadaan tubuhnya, agamanya, dunianya, dirinya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, isterinya, pembantunya, pakaiannya, gerak-geriknya, raut mukanya, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya.[3] Imam al Ghazali dalam ihya ulumuddin juga berpendapat serupa. Perbincangan pada obyek-obyek tersebut menjadi ghibah bila orang yang diperbicangkan merasa tidak suka.  Perbuatan ghibah bisa dilakukan melalui pembicaraan lisan, tulisan, isyarat, atau dengan bahasa tubuh.

Ghibah dengan pembicaraan lisan bisa terjadi saat berbicara dengan seseorang, sekelompok orang, atau dalam majlis. Ghibah dengan tulisan bisa dilakukan dalam bentuk surat kepada seseorang, tulisan publikasi dalam koran, tabloid, majalah, buku, website, facebook, twitter,  brosur, dll. Ghibah melalui bahasa tubuh bisa dilakukan dengan isyarat, ekspresi wajah, gerakan tubuh tertentu, atau menirukan tingkah laku dan gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-olok.

Dalam kehidupan masyarakat saat ini, ghibah juga dilakukan dengan dukungan media masa sehingga mempunyai efek yang sangat luas. Kita menyaksikan banyak stasiun radio dan televisi menyajikan acara ghibah yang dikemas dengan cara yang menarik, mendapat apresiasi luas dari masyarakat yang dibuktikan dengan rating jumlah penonton yang banyak. Kita juga mudah mendapatkan koran, tabloid, majalah, brosur yang tulisan-tulisannya mengandung ghibah mempunyai tiras besar,  yang berarti banyak dibeli dan dibaca masyarakat. Ghibah kini telah didukung oleh teknologi informasi lainnya yang canggih seperti handphone,  telekonferen, audiostreaming, videostreaming, jejaring sosial facebook, twitter,  dll.

Bagaimana halnya dengan orang yang hanya mendengarkan orang lain ber-ghibah? Mau mendengarnya berarti membiarkan orang lain berbuat mungkar, yakni melanggar larangan Allah ber-ghibah. Rasulullah memerintahkan kita bila melihat kemungkaran hendaknya merubah dengan kekuasaan, lisan, atau hatinya. Yang paling utama dengan kekuasaan. Bila hanya mampu dengan hati, imannya dalam  kondisi yang selemah-lemahnya.

Mampu menghentikan pembicaraan ghibah berarti telah merubah kemungkaran dengan kekuasaan. Menyampaikan bahwa pembicaraan yang terjadi adalah ghibah tetapi tidak bisa menghentikannya adalah merubah dengan lisan. Berlalu dan meninggalkannya adalah bentuk merubah dengan hati. Ikut terlibat di dalamnya meskipun hanya sebagai pendengar berarti ia setuju terhadapnya dan membiarkannya terus berlangsung. Imannya berada dalam kondisi yang lebih buruk dari selemah-lemah iman. Apalagi bila mendengarkannya dilakukan dengan antusias, ia telah berperan dalam menghidupsuburkan ghibah.

Mendengar,  menonton dan membaca  acara maupun tulisan ghibah apalagi sampai  menggemarinya, termasuk pendukung ghibah. Semakin banyak didengar, ditonton dan dibaca orang acara ghibah menjadi semakin subur. Salah satu ciri orang-orang mukmin yang beruntung adalah kemampuannya meninggalkan perbuatan yang sia-sia.[4] Ber-ghibah bukan saja sia-sia, tetapi termasuk perbuatan mungkar yang wajib dihindari dan ditinggalkan.

Allah menggambarkan orang yang ber-ghibah seperti makan bangkai saudaranya yang telah mati. Membicarakan aib, kekurangan, hal-hal negatif pada orang lain berakibat pada matinya karakter seseorang. Sering disebut sebagai “character assasination”. Citra  dirinya menjadi hancur dan mati seperti bangkai akibat ghibah.

 

Bahan Ghibah

Hal-hal yang disebutkan dalam ghibah antara lain: keadaan jasmani, yang dipakainya, nasab dan keluarganya, perangai, pekerjaan,  perbuatan, ibadah,  dan hal-hal lain menyangkut cacat, kekurangan atau hal-hal yang bersifat negatif.

Ghibah tentang keadaan jasmani misalnya: menyebut mukanya seperti muka monyet, kepalanya botak,  matanya juling, dahinya nonong, kupingnya perung, tangannya pendek atau panjang, punggungnya bungkuk, perutnya besar, kulitnya hitam atau kuning, belang, kakinya pincang, jalannya menyeret kaki, bicaranya cedal, gagu,  dan segala hal mengenai jasmaninya dimana ia tidak suka disebutkan begitu.

Ghibah tentang yang dipakaiannya: bajunya compang-camping dan banyak tambalannya,  celananya kedodoran, sarungnya terseret-seret, sepatunya pinjaman, kopiahnya bau apek, perhiasannya imitasi,  dll.

Ghibah tentang nasabnya misalnya: ayahnya bermoral rendah, jahat, hina, pedagang asongan, pengemis, bodoh, gembel, atau predikat apapun yang tidak disukainya.

Ghibah tentang keluarganya antara lain dengan mengatakan: isterinya jelek, suaminya pendek, anaknya ediot, kakaknya perampok, adiknya lintah darat, keluarganya berantakan, pamannya hanya tukang sapu, dll.

Ghibah tentang perangainya antara lain dengan mengatakan: orangnya sombong, pelit, rakus, pemarahan, pengecut, licik, pembual, lemah hati,  pengkhianat, penindas, pendurhaka, tidak sopan, tidak adil, gampang meremehkan, menyepelekan orang karena penampilannya, dll.

Ghibah tentang pekerjaannya: menyebut bahwa pekerjaannya hanya tukang sapu, tukang sol sepatu, babu, dll.

Ghibah tentang perbuatannya: menyebut bahwa ia tidak berbakti kepada orang tuanya, banyak bicara, banyak makan, pernah mencuri, senang mabuk, bicaranya ngelantur, terlalu banyak tidur, melawan atasannya, dll.

Ghibah tentang  ibadahnya: suka meremehkan shalat dan zakat, tidak sempurna ruku’ dan sujudnya, tidak berhati-hati terhadap najis, tidak menyerahkan zakat kepada yang berhak, tidak memelihara puasanya dari perkataan cabul atau ghibah, dan lain-lainnya.

Pendeknya, banyak hal bisa menjadi bahan ghibah bila dimaksudkan untuk memperlihatkan sisi jeleknya.

 

 

Penulis              :Agus Sukaca

 

Sumber Artikel  : http://tuntunanislam.id/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *