Sabtu, 18 Mei 2024

Gerakan Islam dan Bangsa Berkemajuan

Penulis: David Efendi

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah

 

Hampir setiap jelang 1 Juni, muncul ketidakpuasan kalangan masyarakat tertentu akan peran kebangsaannya. Katakanlah ummat Islam. Ada satu tokoh sentral yang ditinggi-unggulkan dan di saat yang sama terkesan mengecilkan peranan ummat Islam. Wajar jika Max Lane (2015) memperkuat kembali gambaran situasi kehidupan berbangsa di Indonesia dengan mengatakan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang belum selesai (unfinished nation) sehingga perlu terobosan besar untuk melakukan akselerasi pembangunan bangsa ini. Bahkan solusi radikal perlu dilakukan untuk memutus siklus ketidakjujuran sejarah. Jelas, perlu obyektifikasi dalam melihat sejarah bangsa ini agar tidak menjadi penghambat bangsa ini untuk move on atau mengalami gerak maju (progressive).

Dua dari enam pokok pikiran hasil Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB) sangat penting untuk digarisbawahi untuk menyelesaikan sengketa sejarah tak berkesudahan ini yaitu, pertama, Indonesia adalah rumah bersama yang dibangun di atas nilai-nilai dan cita-cita luhur konstitusi 1945. Dengan demikian, negara sebagai ‘fasilitator’ perlu secara obyektif memberikan makna bagi kontribusi tegaknya nation Indonesia dan juga membuka ruang seluas-luasnya bagi elemen bangsa untuk bersinergi dan berkolaborasi untuk menggerakkan bangsa ini keaarah yang berkeadilan dan berkelanjutan sebagaimana amanah para pendiri bangsa.

Kedua, bangsa Indonesia memerlukan tatanan kehidupan sosial dan politik yang lebih kuat berlandaskan spirit persatuan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika dan visi bersama untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan bermartabat. Bangsa yang kuat di manapun berada adalah bangsa yang selesai dengan sejarahnya dan tidak terus menerus dilanda kekalutan sejarah yang berujung pada stigma negatif baik yang terjadi antar warga negara, atau polemik antara negara dengan masyarakat. Negara demokratis seharusnya menjadi bagian dari solusi dan bukan menjadi bagian dari persoalan.

Dengan membangun kebersamaan yang tulus dan menempatkan persatuan serta pancasila sebagai konsep yang final maka pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana kekuatan sosial, politik, budaya ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk membangun bangsa ini mempunyai kedaulatan di bidang politik, kepribadian dalam bidang budaya, dan kemandirian di bidang ekonomi sebagai fondasi membangun bangsa.

Sebagian besar kelompok Islam di Indonesia adalah kelompok Islam yang moderat dan tidak mempersoalkan konsepsi pembangunan para pendiri bangsa sebagaimana yang sedang diemban oleh pemerintahan hari ini, juga jujur harus kita sampaikan bahwa tidak ada oposisi untuk cita-cita pembangunan negara sejahtera, baldatun thoyibatun warabbun ghaffur sebagiamana yang diharapkan ummat Islam. Maka sebetulnya, kelompok islam, nasionalis, dan anak cicitnya dan negara tidak punya alasan mendasar untuk tidak berdamai dengan sejarah dan mengelola serta merencanakan masa depan bangsa ini.

Sangat nampak bahwa di republik ini masih belum selesai dalam masalah klaim peran sejarah. Ada yang mengaku 100% Indonesia sehingga terkesan menegasikan peran komunitas lain serta loyalitas warga lain dalam membela pancasila dan NKRI. Juga antara kelompok ‘kiri’, ‘nasionalis-sekuler’, dan kelompok kanan yang sangatlah rentan dipolitisir. Kita bisa lihat isu terorisme, isu seputar Piagam Jakarta, isu komunisme yang memunculkan kebingungan publik—bahkan muncul tidak sedikit tuduhan bahwa segala isu ini sebagai manifestasi praktik state terrorism—di mana negara terlibat di dalam pengarusutamaan isu kekerasan ini. Dengan demikian, kita belum berdamai dengan sejarah bangsa kita, pelajaran sejarah kita mengalami involusi bahkan sangat mungkin situasi ini adalah situasi kemunduran.

Salah satu cara dalam menghentikan perang klaim tersebut adalah dengan mempercepat konsolidasi kekuatan masyarakat sipil islam untuk menghentikan perdebatan historis ini, setidaknya tak berupaya mengecilkan peran komunitas lain. Ini agenda yang sangat mendesak karena biar bagaimanapun, centeng perenang bangsa ini juga sangat dipengeruhi kehidupan masyarakat sipil. Ini juga yang bisa kita harapkan untuk melakukan kehidupan demokrasi yang subtantif.

Bangsa ini harus mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan daya saing yang berkelanjutan. Pekerjaan rumah mengenai sejarah pembentukan Bangsa tak boleh menjadi hambatan untuk merespon masa depan. Artinya, sebisa mungkin negara mengapresiasi peran kebangsaan kelompok Islam yang merasa kurang puas dengan minimalnya pengakuan negara. Pekerjaan rumah ini seharusnya telah selasai puluhan tahun lalu sehingga hari ini Bangsa dapat lebih leluasa mengarahkan kiblat menuju Bangsa yang berkemajuan, berkeadilan, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Dalam pembentukan ide kasadaran Negara-Bangsa (nation-state building)  yang merdeka, kita melihat banyak sekali komunitas yang terlibat pergumulan dalam dinamika kesejarahan ini seperti organisasi islam modern Muhammadiyah, Taman Siswa dan kelompok teosofi. Organisasi buruh yang beragam tak lepas juga dari peranan ini sebagaimana dikutip John Ingleson (2016) dalam bukunya Buruh, Serikat, dan politik. Hal ini penting untuk mengakui beragam elemen gerakan yang memang punya andil membangun kesadaran berbangsa, anti-kolonialisme, dan membangun kesatuan dengan cara dan metode yang beragam. (ind)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *