Minggu, 12 Mei 2024

Gerakan Muhammadiyah Berbasis Desa

Setelah perhelatan akbar satu abad Muhammadiyah di Yogyakarta, kekaguman muncul tidak hanya di kalangan kader dan pengurus Muhammadiyah, tetapi juga publik secara umum. Sebagai organisasi yang dibangun secara swadaya tidak mudah mempercayai sebuah ouput gerakan yang sagat dahsyat, jika tidak dapat melihat bukti nyatanya. Buah dari ketekunan dan konsistensinya dalam melakukan dakwah, Muhammadiyah telah membuktikan diri dengan gerakan nyatanya berupa amal usaha di berbagai bidang yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.

Kehebatan Muhammadiyah terletak pada pola keseimbangan antara fikir dan amal yang sejak awal telah menjadi tradisi pendirinya KH Ahmad Dahlan. Kepedulian dimulai dari keprihatinan atas kondisi sosial yang timpang pada zamannya. Dengan menggembirakan amal soleh, Muhammadiyah memberikan solusi kongkrit terhadap berbagai persoalan sosial tersebut. Alhasil, sejumlah amal usaha didirikan untuk memfasilitasi masyarakat dalam meningkatkan pendidikan, status sosial, kesehatan, ekonomi dan lain sebagainya.

Numun, dalam pencitraan secara makro, apa yang dilakukan Muhammadiyah saat ini lebih berorientasi pada wilayah kota sehingga kurang menyentuh desa. Karenanya sangat beralasan jika sebagian orang mengidentikan Muhammadiyah sebagai Ormas kotaan, artinya elitis bukan hanya dalam tataran pemikiran, tetapi juga amal sosialnya. Keberadaan amal usaha yang terletak dipelosok desa mungkin hanya dapat dihitung dari sisi angka namun dari aspek kualitas kurang terperhatikan.

Karenanya, program rantingisasi yang dicanangkan juga sebaiknya dibarengi dengan orientasi makro yang dapat diturunkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan riil sehingga dapat direalisasikan di berbagai pelosok desa. Rantingisasi dalam konteks Muhamamdiyah tentu bukan hanya menambah struktur baru, tetapi terlebih dahulu harus memikirkan amal nyata sebelum PR itu ada.

Pada aspek yang lain jauh sebelum ada program rantingisasi, pedesaan sesungguhnya menunggu “sentuhan” Muhammadiyah dalam menghadapi berbagai persoalan, seperti persoalan ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun lingkungan. Pada banyak kasus, persoalan-persoalan di atas kesemuanya bermuara pada krisis aqidah. Terjadinya kristenisasi dakui seringkali terjadi pada masyarakat marginal baik marginal kota terlebih di pedesaan yang jauh dari perhatian aktivitas Muhammadiyah.

Semangat pemberdayaan yang selama ini menjadi icon Muhamamdiyah dalam menggembirakan amal saleh, senantiasa menyentuh akar rumput yang lebih memerlukan perhatian kongkrit. Keberadaan Mubaligh Muhammadiyah yang menyebar di pelosok-pelosok desa sebaiknya didampingi pihak lain untuk menjawab persoalan jangka pendek dan panjangnya. Pada masyarakat miskiin, ceramah saja tentu belum cukup, sebab pada berbagai kasus ceramah bisa kalah dengan hanya makanan yang tak seberapa.

Tentu kehadiran Muhammadiyah di pedesaan bukan untuk membagi-bagikan makanan semata, namun yang paling penting adalah membuat peta kedaerahan kemudian mengidentifikasi persoalan yang ada di desa. Berbagai lembaga dan majelis yang ada senantiasa membuat program yang terintegrasi sehingga dapat menjawab persoalan secara total. Persoalan desa bukan hanya tugas Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus saja (MTDK), tetapi juga majelis dan lembaga lain yang terkait dengan persoalan di desa tersebut.

Dalam melakukan realisasi program-program yang berbasis pedesaan ini, tentu sedikit banyak memiliki perbedaan dengan yang ada di perkotaan. Sehingga dalam hal ini kegiatan harus dimodifikasi sedemikian rupa – tidak melakukan penjiplakan dengan amal usaha yang ada di perkotaan – sehingga kader dan pengurus Muhammadiyah dintuntut lebih kreatifit. Pola-pola yang bersifat alternatif (non formal atau in formal) mungkin lebih cocok diterapkan bagi masyarakat desa dibanding pendekatan kegiatan formal yang rigid dengan aturan.

Hal penting dalam “menggarap” pedesaan adalah icon kemandirian. Bagaimana setiap desa bisa hidup layak secara mandiri, atau bahasa lain bagaimana agar masyarakat desa bisa bangkit dengan sendirinya. Posisi Muhammadiyah adalah menjadi motor dan motivator. Tidak membuat warga desa tergantung pada pihak luar sebab modal sosial sudah cukup bagi mereka.

Modal sosial yang dimiliki warga desa pada umumnya belum tentu ditemukan di perkotaan, seperti pola hidup gotong royong maupun Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. Namun karena era globalisasi, kemudian orang desa pada umumnya termakan oleh matamorgana kota sehingga melakukan urbanisasi besar-besaran, orang desa menjadi tidak sabaran dan lebih cenderung instant.

Dalam merealisasikan program-program yang berbasis pedesaan, penting ditekankan dua hal penting, yaitu terkait dengan pola penyadaran dan pola realisasi program. Pertama, pola penyadaran dilakukan dalam berbagai betuk aktivitas terkait dengan wawasan atau pengetahuan. Membangun kesadaran dengan melakukan rasionalisasi atas potensi yang mereka miliki. Merubah budaya instant dan cara pandang masyarat dalam menilai potensi alam dan lingkuangannya sangat penting agar tidak terjebak pada pandangan “halaman tetangga selalu lebih hijau”. Penting merubah pandangan bahwa potensi daerah sendiri sesungguhnya sangat melimpah tinggal mengolah dan menggalinya secara optimal. Persoalan pendidikan misalnya bukan hanya aspek ekonomi semata, tetapi juga bagaimana merubah cara pandang masyarakat desa tentang pendidikan, yang tadinya cukup dengan lulusan SD ke depan harus lebih tinggi lagi dengan memberikan rasionalitas yang proporsional. Di sinilah motivasi dan mungkin pendampingan itu menjadi sangat vital.

Kedua, dalam merealisasikan program berbasis pedesaan harus dilihat dalam kerangka kebersamaan. Pola gerakan Muhammadiyah sesungguhnya sangat cocok diterapkan di sini. Artinya pola keswadayaan, kebersamaan dan pengorbanan setiap individu menjadi kunci keberhasilan. Pola yang dilakukan kader-kader Muhammadiyah bersifat memberdayakan bukan memanjakan. Bedakan dengan gerakan lembaga-lembaga lain yang senantiasa datang ke daerah atau pelosok dengan membagi-bagikan bantuan, membangun sarana fisik, meminjamkan uang dan lain sebagainya. Pola gerakan kader Muhammadiyah tidak memanjakan masyarakat tetapi membangun sifat berkorban untuk kemajuan dirinya dan daerahnya sendiri. Jika pun kita harus berkorban, itu dalam kerangka memberikan contoh bagi yang lain, sehingga orang lain akan melihat spirit dari pengorganan tersebut. Yang penting tidak berharap pengembalian dari sesuatu yang telah kita korgankan, seperti halnya KH. A. Dahlan membangun sarana pendidikan dan penampungan anak miskin lainnya dengan menggunakan sarana dan harta pribadi tanpa pamrih.

Jika gerakan ini sudah berjalan baik dan merata, maka program rantingisasi Muhammadiyah akan lebih mudah, karena keberdaannya secara de facto sudah dirasakan oleh masyarakat. Jadi struktur hanya sebagai penegasan atas keberadaan peran yang sudah dibangun sebelumnya. Sehingga pembuatan Cabang dan Ranting tidak terkesan dipaksakan dan politis.

Selain itu, gerakan alternatif Muhammadiyah berbasis Desa dihadirkan dapat memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, lingkungan dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural yang ada di wilayah terkecil yaitu pedesaan. Dengan gerakan ini juga diharapkan terbangunnya pencerahan ummat sebagai bentuk praksis Islam yang berkemajuan agar lebih membebaskan, memberdayakan dan memajukan kehidupan sebagaimana tercantum dalam pernyataan pikiran Muhammadiyah abad kedua. Al ilmu minallah

Penulis adalah Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *