Minggu, 05 Mei 2024

KPK Dalam Bayang-Bayang Revisi UU

Jika revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan apa yang menjadi fungsi KPK didirikan, maka tentu semua masyarakat mendukung apa yang menjadi perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat sekarang, yaitu memperbaiki dan memperkuat KPK agar kembali kepada tujuan didirikannya lembaga ini. Namun jika tidak, maka berbahagialah para koruptor di Bulan Ramadhan nan suci ini.

Betapa tidak, hingga kini masih banyak pro-kontra apakah revisi UU KPK ini akan memperkuat lembaga ini atau justru semakin melemahkan. Di pihak DPR sendiri sudah menyepakati revisi UU ini yang mana pada saat itu rapat paripurna dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan revisi ini telah dimasukkan oleh DPR dalam Prolegnas 2015.

KPK adalah salah satu lembaga peradilan, tepatnya peradilan para tersangka korupsi, yang dinamikanya tidak pernah berhenti berhadapan dengan kepentingan para koruptor yang hingga saat ini masih sulit tersentuh hukum dengan “imun” yang sangat kuat. Lembaga Negara ini selalu menjadi sorotan tajam, tajam karena tidak “pandang bulu” dalam menindak dan menangkap para koruptor yang hingga kini masih berkeliaran dan tidak senang dengan lembaga ini.

KPK didirikan sebagai lembaga negara yang memiliki tujuan meningkatkan “dayaguna” dan “hasilguna” terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi). Kelemahan-kelemahan sejak dulu terus diperbaiki dalam rangka mencapai tujuannya. Daya guna dan hasil guna yang semakin baik menjadi ukuran apakah Negara ini sudah semakin baik dalam pemberantasan korupsi ataukah sebaliknya, apakah indeks persepsi korupsi (IPK) ini semakin menurun atau ada peningkatan. 

KPK independen dalam pelaksanaan segala tugasnya dan bebas dari pengaruh kekuasaan. Tidak ada lembaga diluar KPK yang dapat menyetir atau pun menunggangi KPK. Diharapkan KPK dapat berjalan sesuai dengan aturan yang dibuatnya sendiri.

Di tengah idealisme yang dimiliki oleh KPK, terjadi “badai besar” yang menghantam lembaga ini. Ada banyak pihak yang tidak senang dengan lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketidak senangan itu diwujudkan dengan terjadinya kriminalisasi terhadap KPK. Dimulai dengan terjadinya masalah pribadi oleh mantan Ketua KPK, Abraham Samad, juga kasus saksi palsu Bambang Wijayanto yang tidak diduga-duga mencuat di hadapan masyarakat.

Sebelumnya, kasus Budi Gunawan yang akan dilantik sebagai Kapolri karena ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo menjadi headline news media-media nasional. Padahal pada saat yang sama BG telah ditetapkan menjadi tersangka kasus transfer dana mencurigakan dari pejabat negara yang langsung disampaikan oleh Abraham Samad selaku Ketua KPK.

Kedua masalah di atas adalah babak dimulainya KPK versus Polri bagi banyak pihak yang sebetulnya hal itu adalah KPK versus “Oknum Polri”. Ada anggapan bahwa karena BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sehingga Polri lewat Badan Reserse Kriminal juga “membongkar” masalah-masalah masa lalu yang terjadi pada Abraham Samad dan Bambang Wijayanto.

Kedua masalah inilah yang mengawali isu adanya pelemahan terhadap tubuh KPK.  Dijadikannya Abraham Samad dan Bambang Wijayanto sebagai tersangka membuat lemah dan tumpul KPK sebagai lembaga pemberantas tindak pidana korupsi.

Ada beberapa alasan mengapa revisi UU KPK ini digulirkan. Wewenang Penyadapan adalah alas an pertama bagi DPR mengapa hal ini harus dilakukan walaupun penyadapan adalah instrument utama dalam setiap penyidikan. Pembatasan penyadapan harus dilakukan mengingat kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh oknum. Namun sebagian kalangan mengatakan bahwa pembatasan wewenang penyadapan itu karena banyak pejabat yang mencoba “kabur”, sehingga ingin dibuat aturan baru yang justru melemahkan KPK dan jauh dari harapan pemberantasan tindak pidana korupsi.  

Sinergi Wewenang

Wewenang hingga saat ini masih menjadi “sumbu masalah” di setiap lembaga kenegaraan. Tumpang-tindih wewenang selalu saja mewarnai kisah pelaksanaan tugas dan fungsi kelembagaan. Meteri A dan Menteri B sering tidak bersinergi dalam setiap implementasi pembangunan yang menjadi programnya. Program A bertabrakan program B, dan seterusnya.

Begitupun apa yang dipersoalkan oleh DPR sekarang, bahwa ada tumpang tindih wewenang penuntutan antara KPK dan Kejaksaan. Dengan alasan ini maka revisi UU KPK harus segera dilaksanakan. Kejaksaan dan KPK memiliki fungsi yang sama dalam menuntut para koruptor. Bagi DPR, kedepan harus jelas wewenangnya masing-masing.

Perhatian masyarakat harus tertuju pada siapa kedepan yang akan memiliki wewenang penuntutan. Jika memang diberikan ke KPK, maka dalam memilih pimpinan KPK harus tetap berjalan pada koridornya, seperti sebelumnya. Jika diberikan kepada kejaksaan, maka perekrutan pimpinan kejaksaan juga harus dengan ketat dan memilih pimpinan yang memiliki moral-intergritas yang kuat, bukan “titipan” yang jauh dari harapan.

Keputusan pemerintah untuk tidak mau ikut dalam pembahasan revisi UU KPK ini, menunjukkan bahwa pemerintah tidak menyepakati terlaksananya revisi UU KPK tersebut. Hal ini diperkuat dengan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa jika pemerintah tidak bersedia membahas revisi UU maka revisi tidak berjalan. Namun di sisi lain, DPR juga memiliki hak dimana diatur dalam Pasal 21 UUD 1945.

Eksektutif dan legislatif yang “ngotot” untuk menolak dan malakukan revisi UU KPK, bagi penulis, jangan sampai justru mengombang –ngambing fungsi, tugas dan wewenang KPK. KPK harus tetap memperlihatkan kinerja yang baik seperti sebelumnya dan sesuai tugasnya yaitu menindak para koruptor yang masih “berkeliaran”. Kinerja yang baik akan memperlihatkan bahwa KPK tidak terperangkap dua kepentingan lembaga kenegaraan tersebut. Semoga!

Muh Fitrah Yunus

Ketua Lembaga Hukum dan HAM DPP IMM – Staf Ahli DPD RI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *