Kamis, 16 Mei 2024

Mahasiswa, Jangan Membeo Dong!

Oleh. Ikhlasul Amal


Saya memang berhak lapar, tapi bukan wewenang saya mengajak orang lain lapar.

~Emha Ainun Nadjib~


Esok, hari minggu, bertepatan dengan tanggal 1 Mei akan diperingati sebagai Hari Buruh Internasional (May Day), dan seperti biasanya, seperti yang halnya ibadah yang menjadi ritual rutin, yang waktunya telah ditentukan, hari buruh juga menuntut sebagian orang atau sekelompok orang untuk memperingati. Sakral juga sih. Iya, memang sakral, sebab pada hari itu, beberapa kelompok masyarakat memandang bahwa, hari buruh sebagai sebuah simbol perlawanan. Hal tersebut kalau mau dilacak, setidaknya berhubungan kuat dengan gerakan marxisme yang diusung oleh Karl Marx.

Dengan banyak meringkas sejarah, pokok pikiran yang dijalankan dalam gerakan marxisme ‒terkait hari buruh‒ adalah politik kelas yang melibatkan buruh (proletar) dengan kaum pemodal (borjuis). Menurut Marx, telah terjadi perlakuan yang tidak adil oleh kaum kapitalis terhadap para buruh. Pemodal memonopoli jam kerja buruh, perlakuan kasar terhadap buruh, dan upah yang begitu rendah. Pemodal menjalankan praktik yang tidak adil dalam rangka memacu produksi, sedang pada sisi lain, kaum buruh yang menciptakan nilai tambah hasil produksi tidak mendapatkan hak yang semestinya.

Ide gerakan awal ‒perjuangan kaum buruh‒ yang seperti itu tidak pernah berubah, bahkan pun sampai sekarang. Sehingga, jangan heran jika persoalan yang selalu dituntut oleh demonstran tidak akan jauh dari persoalan tersebut. Seperti dimuat dalam kolom berita online ‒smeaker.com‒ pada tanggal 30 April 2016, dengan kasus yang diambil dari wilayah Jakarta, dalam peringatan Hari Buruh Internasional, kaum buruh mengajukan empat tuntutan, yakni:

  1. Menolak upah murah, pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, dan menaikkan upah minimum pada 2017 sebesar Rp. 650.000,-

  2. Menghentikan kriminalisasi buruh dan aktivis sosial, serta menghentikan pemutusan hubungan kerja (PHK).

  3. Menolak reklamasi, penggusuran, dan RUU pengampunan pajak (tax amnesty) yang dianggap merugikan kaum buruh.

  4. Deklarasi organisasi masyarakat buruh sebagai kekuatan politik atau kelompok penekan yang terdiri dari kalangan buruh, guru honorer, mahasiswa, dan nelayan.

Buruh yang tak kunjung memperoleh keadilan, dan segala macam perjuangannya memang sudah seharusnya mendapatkan perhatian kita sebagai salah satu kekuatan massa, mahasiswa. Namun demikian, ada baiknya jika kita tidak membeo saja, sebab penyakit ini, sepertinya memang sangat akut menyerang mental manusia. Membeo ini ‒karena dikondisikan atau tidak‒ terus menerus menjadi semacam prosedur yang terus digunakan untuk membenarkan pendapat orang akan sesuatu, sehingga kita menjadi mudah untuk turut mengerjakannya. Saya sering menemukannya, bahkan dalam sebagian besar aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan. Kali ini, kisah yang saya bagikan tentu saja mengenai sudut pandang (berbeda) tentang sikap pemihakan terhadap buruh dan perburuhan. Juga dengan kerendahan hati dan permohonan maaf seandainya kita berselisih paham, atau jangan-jangan anda yang sedang saya bicarakan.

Dunia kampus dalam sejarahnya telah membentuk beragam watak kelompok manusia dengan citra ekspresi yang berbeda. Tetapi, dengan pengamatan kasar, dan untuk menarik kesimpulan sederhana, setidaknya bisa kita pisahkan menjadi dua kategori kelompok mahasiswa. Kelompok pertama, mahasiswa tertentu yang sangat getol menyuarakan pemihakan dan pembebasan atas bentuk-bentuk ketimpangan sosial, ekonomi, hukum, HAM dan lainnya, sebut saja aktivis tulen. Di sisi lain, kelompok kedua diwakili sekelompok mahasiswa yang bersikap biasa saja, yang penting kuliah lancar, jadi anggap saja tidak ada masalah serius, sebut saja sebagai mahasiswa apatis. Dua kelompok ini, dalam pandangan saya, tidaklah memiliki kebenaran mutlak sebagai seorang mahasiswa.

Jika kelompok pertama memiliki kecenderungan untuk tidak memperhatikan kepentingan akademisnya, maka kelompok kedua karena perhatiannya pada aspek akademis justru terpisah dari peran sosialnya. Sintesis dari keduanya adalah kelompok mahasiswa yang sanggup berperan sesuai peran dan fungsinya. Tetapi, di mana kelompok seperti ini dapat ditemukan? Mereka yang tetap memperhatikan kepentingan akademis, tetapi juga memiliki respon yang cepat terhadap persoalan sosial di mana dirinya mampu berkontribusi.

Kembali dalam persoalan buruh dan perburuhan, kelompok mahasiswa ideal (sintesis) harus menjawab deretan pertanyaan agar tidak begitu saja menjadi mahasiswa pembeo dalam melakukan gerakan. Sebagai mahasiswa, analisis dalam persoalan ini tidak mungkin hanya menggunakan kacamata bahwa, buruh tidak boleh tertindas, dan pemodal (pengusaha) tidak boleh menindas, atau apakah kita telah jatuh pada semacam kesadaran yang naif bahwa perburuhan harus dihapuskan? Apakah semata-mata buruh harus dibela dan diperjuangkan, benar maupun salah?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya diperlukan sebuah pendekatan bahasa dalam rangka menemukan definisi yang tepat. Istilah buruh dalam KBBI dijelaskan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah/gaji. Terdapat berbagai macam jenis buruh; buruh harian, buruh musiman, buruh kasar, buruh tani, buruh tambang, dan buruh pabrik. Sebelum membahas lebih tentang buruh, istilah yang juga harus didefinisikan adalah perburuhan, yang merupakan pertalian dengan urusan pekerjaan, keadaan kaum buruh, dan undang-undang. Dengan demikian, jika kita mendefinisikan buruh, maka kita akan jatuh pada definisi buruh yang bekerja secara tersistem, dan memperoleh gaji mingguan atau bulanan. Tepatnya, buruh pabrik adalah bayangan utama yang lahir dalam benak kala mendengar kata buruh.

Supaya lebih mendalam, dibutuhkan pendekatan berikutnya, pendekatan sosial budaya, dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang harus kita jawab, mengapa seseorang memilih menjadi buruh?

Motif seseorang menjadi buruh jika diamati secara kasat mata adalah motif ekonomi, tentu saja demikian. Pasalnya, untuk mendulang rupiah dengan mudah, dan tanpa harus berpikir banyak tentang risiko yang harus ditanggung adalah memilih menjadi buruh (baca: outsourcing, seperti praktik yang sedang berkembang). Mengapa motif ekonomi? Mungkin saja mereka (para buruh) menanggung biaya hidup yang tidak sedikit, misalnya: tanggung jawab anak pertama dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan, karena telah memiliki keluarga yang harus mereka hidupi, ataupun karena ingin naik kelas (berhubungan dengan gaya hidup) sehingga membutuhkan banyak rupiah untuk memenuhi hasrat. Motif yang demikian tidaklah salah, itulah hidup, pilihan, dan konsekuensi yang harus dijalani.

Dalam dimensi ini, saya sering merasa tidak bersepakat jika mahasiswa terlibat arus pemihakan terhadap buruh dengan cara yang arogan (baca: demonstrasi). Bukan mengenai demonstrasi yang saya tolak, memang cara tersebut telah diatur dalam negara demokrasi. Penyesalan saya justru lahir dari sikap mahasiswa yang secara serampangan mengambil jalan tersebut sebagai suatu jalan pemihakan. Bolehlah, jika mahasiswa merasa bahwa dengan berdemo eksistensi mereka terhadap pemihakan buruh akan diperhatikan banyak orang, namun, tak sering juga mahasiswa luput dari yang kita sebut agenda “pembentukan watak”. Begini loh, jika mahasiswa yang saya sebut serampangan tadi, dalam benak batinnya sedang getol menolak aktivitas perburuhan, saya jadi punya pertanyaan menyitir, “memangnya, setelah tamat kuliah gak mau jadi buruh? Gaji buruh lulusan perguruan tinggi cukup besar loh”.

    Merujuk kembali kepada aktivitas mahasiswa yang tengah tergiring dalam hiruk pikuk pemihakan buruh. Mahasiswa, setidaknya harus mulai sadar dengan peran serta dirinya dalam dimensi pembangunan yang lebih luas, agar tidak lucu gitu, sebab kalau sekarang sedang getol berdemo dan setelah lulus memilih menjadi buruh kok sepertinya ‒kalau dipikir-pikir‒ sedang mempersiapkan dirinya agar kelak tidak menjadi buruh yang terzalimi dengan gaji rendah, kerja dengan jam tinggi, dan fasilitas penunjang kemakmuran yang terbatas.

Saya, tentu masih berharap bahwa, ada gerakan pembangunan watak yang diprakarsai oleh mahasiswa, dan tidak sekadar berdemo, tetapi demo itu boleh kok. Sungguh. Cuma ya jangan serampangan, tanpa analisis panjang, apalagi cuma membeo. Dan yang suka berdemo, jangan dong sering-sering mengajak anak orang untuk berdemo, mungkin saja, mereka yang tidak berdemo itu sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih berharga bagi kehidupan dirinya, ya meski memang harus menjadi buruh (dulu). Karena, menjadi buruh itu juga demi kelangsungan hidupnya, jadi, jangan deh, kita yang suka berdemo, seolah sinis memandang mahasiswa yang tidak suka berdemo. Tetapi anda, yang tidak suka berdemo, dan berorganisasi hanya numpang nama, jangan cepat-cepat merasa senang dengan tulisan ini, sebab toh saya juga tidak bersepakat dengan kalian.

Jadi, mungkin ada baiknya seperti ini, kita coba memodifikasi pendapat Cak Nun “saya memang berhak lapar, tapi bukan wewenang saya mengajak orang lain lapar, namun, jika saya melihat orang lapar, disitulah saya merasa punya kewenangan untuk memberi”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *