Senin, 29 April 2024

Mengenal "Midas" Modern

 

Oleh Irvan Shaifullah

(Alumnus dan Pengajar di Panti dan Ponpes Al Mizan Muhammadiyah Lamongan, Penulis 13 buku diantaranya Manusia Manusia Surga)

Memang melelahkan, pemberitaan- pemberitaan yang menghiasi layar kaca kita tak pernah lepas dari  permasalahan seputar kejahatan korupsi. Seakan akan tak pernah ada habisnya, korupsi menjadi wabah yang menjangkiti banyak orang. Banyak diantaranya dihiasi oleh orang -orang yang secara strata pendidikan sangat mumpuni. Dari yang bergelar sarjana, putra putri terpilih bangsa, bahkan yang berhasil meniti karier birokrasi yang tidak semua orang dapat meraihnya.

Andaikan bisa dihitung betapa tahun lamanya  pendidikan dan perjuangan berat yang menyertainya, hal itu menjadi hal yang tabu dilakukan oleh orang orang “terbaik” seperti mereka. Ada yang jadi menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR, pimpinan BUMN bahkan jabatan jabatan strategis yang lain. Jabatan tinggi dengan fasilitas melimpah memang seringkali membuat seseorang berubah perilaku, meninggalkan prinsip-prinsip hidup dan kemanusiaan, bahkan tak segan-segan menyingkirkan “lawannya” secara mengerikan.

Memang diantara kita, ada yang melihat sebagai peluang untuk memperbesar amal, tapi yang banyak memang malah yang “mabuk”. Dengan jabatan tinggi, hidup seakan-akan dikejar kejar waktu , jadwal meeting dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu restoran ke restoran yang lain. Tapi untuk sekedar menikmati makanan dan tidur saja, orang-orang “terbaik” itu kalah nikmat dengan tukang becak yang ketiduran diatas becaknya. 

Kalau saja dapat dimanfaatkan dengan baik, alangkah beruntungnya orang-orang itu diberikan kepercayaan memegang kekuasaan, karena dengannya sebenarnya lebih terbuka segala peluang untuk membantu banyak orang melalui kebijakan -kebijakan yang dibuat. Itulah sebabnya mengapa Allah sangat memuji pemimpin -pemimpin yang adil dan membenci pemimpin yang berbuat dzalim. Pemimpin yang berbuat dzalim, dosa sosialnya amat besar karena banyak orang dibuat sengsara dengan kebijakannya.  Naudzubillah, Semoga kita dijauhkan dengan pemimpin seperti itu.

Berjuang menjadi kaya dan meraih jabatan tinggi itu memang baik dan mulia sepanjang untuk tujuan yang baik dan mulia. Tapi sangat disayangkan, banyak orang yang secara material tercukupi tapi jiwanya gersang, perilakunya tidak menunjukkan  ketinggian budinya. Meminjam istilah Prof Komaruddin Hidayat dalam bukunya Wisdom of life (2014), orang orang seperti ini diibaratkan seperti anak kecil yang membangun  istana pasir (sand castle) di pinggir pantai. Anak anak kecil itu sangat serius, lupa waktu dan lupa makan.  Mereka berimajinasi membangun istana yang bagus, tetapi seketika lenyap dihempas ombak. Bedanya, anak anak ini tertawa dan bergembira ketika istana yang mereka bangun roboh. Dan dengan mudahnya membangun kembali. Sayangnya hal ini tidak terjadi dengan orang orang “terbaik” itu. Ketika istana kejayaan, popularitas, kehormatan, berserta gemerlapnya roboh, mereka ikut tumbang dan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kejayaan dengan membabi buta.

Hal ini mungkin selaras dengan cerita legenda Yunani kuno, disuatu wilayah pedamalan Anatolia, Asia Kecil. Dikisahkan seorang raja dan penguasa yang rakus bernama Midas. Sebagai seorang raja, Midas dikenal sebagai penguasa yang haus dalam menumpuk kekayaan untuk diri dan keluarga. Suatu ketika, Raja Midas datang ke Dionysus, salah satu Dewa Yunani yang dikenal sakti. Kedatangannya bermaksud untuk meminta petunjuk dan mantra agar dia memiliki tangan ajaib sehingga segala apapun barang yang disentuhnya menjadi emas.

Singkat cerita, atas bantuan dewa Dionysus, Midas memiliki tangan ajaib. Segala sesuatu yang  disentuhnya menjadi emas. Pepohonan dan pagar yang dia lewati ketika disentuhnya menjadi emas. Mengetahui kekuatannya yang luar biasa, Midas yang serakah itu mendatangi sungai sebelah istana. Dan tak lama kemudian setelah disentuhnya, sungai itu berubah menjadi emas. Sifat rakus raja midas semakin menjadi jadi, dia pulang kerumah dan menyentuh semua bagian dari istana. Dengan penuh gairah, ia mulai menyentu pagar, kursi, pintu, meja tiang hingga seluruh peralatan istana. Dan semuanya berubah menjadi emas.

Setelah puas dan gembira melihat istananya menjadi emas. Raja midas merasa lapar dan haus. Kemudian dengan santainya dia duduk untuk makan siang. Tapi apa yang terjadi? Midas baru sadar bahwa sentuhan tangannya yang mengubah apa saja menjadi emas mendatangkan tragedi dan malapetaka bagi dirinya. Raja midas tak lagi bisa makan dan minum karena semua yang disentuhnya menjadi emas. Anak dan istrinya yang dia peluk seketika juga berubah menjadi emas dan membeku.

Tak seorang pun berani mendekati raja Midas, khawatir membeku dan berubah jadi emas. Pendeknya, raja Midas gila. Keserakahan membuatnya sengsara dan ia bawa sampai mati.  

Cerita ini begitu melegenda terutama bagi rakyat Anatolia (Ankara, Turki) dan masih diceritakan secara turun temurun oleh orang tua pada anaknya. Walaupun cerita yang disampiakan sudah sedemikian jelas pesannya, bahwa matinya kehidupan akibat keserakahan manusia sendiri.

Ziauddin Sardar memaknai cerita ini dengan mengatakan bahwa tangan Midas tak lain adalah agresivitas sains dan teknologi yang telah berkembang sedemikian pesatnya tanpa disertai kontrol moral sehingga keindahan ekologi dan keharmonisan menjadi rusak.  Dalam The Touch of Midas-Science, Values, and Environment in Islam and The West (1988) yang ditulisnya, Ziauddin Sardar mengatakan bahwa semula sains dikagui oleh manusia karena kesaktiannya mengubah hutan menjadi kota, lautan yang menakutkan bisa ditaklukkan, dan keajaiban lain yang ditampilkan serta dikembangan oleh sains. Keajaiban itu akibatnya  sangat mengerikan, perkembangan sains yang luar biasa itu juga memakan korban. Menurut data empiris yang terjadi di lapangan, telah tejadi kerusakan lingkungan yang luar biasa akibat keserakahan sains dan teknologi.

Hari ini keserakahan menjadi masalah sosial yang menghinggapi hampir seluruh lapisan masyarakat.  Dan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kondisi umat islam hari ini. Prinsip hidup berkah bagi orang beriman menjadi semakin langka dan terbatas. Padahal sebagaimana disampaikan Prof Komaruddin Hidayat, bagi orang beriman, prinsip hidup berkah menjadi salah satu ukuran sukses. Pendeknya, kalau kita menginginkan kesuksekan maka kebekahan adalah kuncinya.  Harapan kebangkitan umat islam dalam segala hal juga harus dilandasi dengan prinsip keberkahan dalam membangunnya.

Barangkali jika agama diharapkan aktif dan mampu mengambil bagian dalam memecahkan masalah sosial ini, yang pertama dan harus perlu dibenahi adalah situasi internal pemeluknya. Antara lain mengembangkan paham keagamaan yang dinamis, tulus dan penuh cinta kasih.

Mari menjaga diri kita, agar tidak menjadi “MidasMidas Modern” dalam kehidupan kita sendiri.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *